Jakarta Kota, 30 April.
Matanya memperhatikan selembar kertas di tangan— kertas yang selama ini ia perjuangkan mati-matian di depan Papanya. Tanpa disadari, kedua sudut bibir gadis itu terangkat hampir sempurna.
Beberapa tahun lalu, tepatnya Desember. Kedua orangtuanya menyerah dan berakhir pisah. Ekonomilah yang menjadi alasan utamanya. Miris. Tapi itu benar-benar terjadi.
Semua berkas dibawa oleh sang Papa ke rumah orangtuanya di Surabaya. Seminggu lalu ia sampai di sana— Surabaya, hanya untuk mengambil akta kelahiran yang akan ia gunakan sebagai identitas yang tentu saja selain Kartu Tanda Penduduk.
“Aws, Shit!” Kata kasar itu lolos begitu saja saat seorang pria dengan ransel hitam besarnya menabrak tubuh si gadis cukup keras. “Gila kali itu orang, ya?”
Masih dengan posisi duduk di atas lantai. Ia membenahi dirinya sendiri juga kertas di depan yang sepertinya bukan hanya miliknya. Dan ternyata bukan hanya ia yang jatuh, tapi pria yang menabrak juga.
“Maaf, mbak. Saya buru-buru, mau ke minimarket, lagi kepedesan soalnya.” katanya yang lalu berdiri.
Si gadis berdecak tidak peduli dan memilih kembali membenahi dirinya sendiri. Jatuh di keramaian itu bukan tentang rasa sakitnya, tapi rasa malunya. Mata si gadis menyapu sekitar, ramai. Dan setelahnya ia menghela napas malas. “Lain kali hati-hati. Kalau bukan saya yang ditabrak pasti udah marah-marah, Mas.”
Ia mengangguk, “iya, Mbak. Saya duluan, ya.” Selanjutnya melenggang pergi, masuk ke dalam minimarket di samping pintu keluar.
Sudah setengah jam gadis itu di sini, menunggu ketidakpastian yang tidak kunjung datang. Adiknya, daritadi tidak juga menunjukkan batang hidung. Terakhir ia meminta untuk bertemu di peron sembilan. Ia kembali membuka ponsel, membaca kembali pesan dari adiknya yang dikirim duapuluh menit yang lalu. Helaan napas terdengar setelahnya.
“Sekala Pelangi Bening?”
Gadis itu menoleh cepat saat seorang pria di depan minimarket meneriaki namanya. Kepalanya menoleh ke sana kemari seperti sedang mencari seseorang. Tidak tau apa yang membuatnya langsung melihat kertas di tangan, kemudian ia membola saat membaca tulisan,
Investasi Saham Milik Samudera Adinata.
“LAH KETUKER?!” Ia histeris sendiri. Untuk kedua kalinya ia menjadi pusat perhatian hari ini karena satu orang yang sama. Si pria aneh dengan ransel besar yang menabraknya di tengah hari begini. Sial.
Tidak peduli dengan adiknya yang mungkin akan mencari di peron sembilan, ia berlari ke minimarket untuk menemui pria yang kemungkinan besar memiliki nama Samudera.
“Mbak Sekala?” tanyanya sembari tersenyum sampai satu lubang di pipinya tercetak dengan sempurna.
Si gadis tidak menjawab, ia hanya mengangguk sambil menyodorkan selembar kertas putih di tangan. “Ketuker, nih. Aku nggak pernah investasi atau apalah itu.”
Dia terkekeh, “iya. Ini juga bukan akta kelahiran saya. Nama saya bukan Sekala tapi Samudera— barang kali mau berkenalan.”
Si pemilik nama Sekala Pelangi Bening itu mengangguk. “Pelangi aja, jangan Sekala apalagi Mbak. Agak aneh.” katanya. Ia mengambil Akta Kelahiran miliknya di tangan Samudera. “Thank's ya. Untung kamu nggak buang Akta Kelahiranku. Kalau itu terjadi kayanya aku bisa gila.”
Tidak ada yang lucu, tapi si pria tertawa— bahkan matanya hampir menyerupai sabit yang sempurna. “Apalagi saya. Kalau misalnya kamu buang surat itu, bisa nggak makan selama dua tahun.”
Getaran ponsel Pelangi menghentikan tawa Samudera. Lalu dia mengangguk saat Pelangi menatapnya seolah meminta izin untuk membalas pesan.
Nama si adik tertera di sana.
Nanti sorean aja lo ke rumah, Mbak. Gue ada kelas dadakan.
Walaupun agak malas, ia tetap membalas pesan lalu kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana setelahnya. “Yaudah. Aku duluan ya, Mas.”
Langkahnya baru tiga, tapi sudah bertenti lagi kala si pria bertanya, “Pelangi, mau makan bakso di depan Kota Tua?”