Dia, Anne.

Si gadis tersenyum kala ayahnya memberikan satu lembar tiket ke negara impiannya sejak kecil. Matanya memancar ke sekitar ruang tamu mewah di rumahnya. Namun seketika senyumnya luntur saat mendapati sang Mama sedang sibuk dengan iPadnya dan berjalan dengan cepat ke pintu utama.

“Mau ke mana, Anne?” Papanya menahan pergerakan Anne, membuat si gadis tidak lagi ingin beranjak lalu kembali duduk— memandangi tiket kepergiannya besok pagi.

“Anne dengar Papa,” Dimas menahan bahu puteri semata wayangnya. Mengunci pergerakan gadis iti agar tidak lagi menatap Mamanya yang bahkan sekarang sudah pergi meninggalkan rumah karena urusan bisnisnya.

Anne mengangguk, lalu membenarkan posisi duduknya.

“Anne nggak cuma liburan, ya? Papa kasih waktu Anne berdua sama Kak Mars sekalian berobat di Toronto ya, sayang? Bisa janji sama Papa kalau kalian pulang ke Indo bawa kabar yang baik?” kata pria paruh baya berjas hitam itu. Di pergelangan tangannya melingkar jam mewah dari brand ternama.

Anne mendengus kecil, “pa, kenapa nggak Papa yang nemenin Anne untuk berobat? Uang masih di atas segalanya dari pada anak, iya?”

Tatapan lembut Dimas berubah menjadi tajam. Pria itu dengan segera memalingkan wajahnya dari sang puteri. Tangannya terkepal kuat— menyalurkan emosinya di dalam dada.

“Papa tidak boleh diam aja sedangkan Mamamu bekerja dan maju dengan bisnisnya. Kita harus sama-sama menguntungkan.” Dimas menghela napasnya, ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangannya terangkat untuk melepaskan kacamata yang selalu bertengger di pangkal hidungnya.

Anne berdiri, menatap Papanya nanar dan penuh permohonan. “Kalau gitu kenapa nggak Mama aja yang berhenti kerja dan temani Anne di rumah?”

Dimas ikut berdiri, menatap puterinya tajam— padahal gadis itu tengah menahan isak tangisnya mati-matian. Anne tidak pernah merasakan punya teman. Anne yang malang, tidak pernah tau apa itu bahagia. Anne juga tidak pernah menemukan apa itu definisi keluarga.

Untuk sebagian orang, harta yang paling berharga bukan lagi keluarga— melainkan diri sendiri.

Anne sendiri. Itu sebabnya ia lebih memilih ketergantungan kepada Mars— orang satu-satunya yang menyelamatkan gadis itu setiap ingin mengakhiri hidup.

“Anne, tetap hidup. Nikmati semua perjalanan yang diberikan oleh Semesta. Karena semuanya terjadi bukan tanpa alasan. Kalau kamu nggak mau hidup untuk Papa atau Mama, setidaknya hidup untuk diri sendiri. Hidup untuk hal-hal yang Anne sukai. Hidup untuk memakan sate padang— misalnya?” Itu kata Mars dua tahun lalu ketika Anne dengan nekat ingin terjun dari rooftop hotel saat menemani Dimas bertemu dengan koleganya.

Mama dan Papanya akan berhubungan baik kalau di depan kolega juga kamera. Mereka hanya berpura-pura atau tepatnya membohongi Semesta tanpa mempedulikan gadis malang yang diberikan oleh Tuhan.

“Mama-mu itu workaholic, Anne! Mana bisa Papa menghentikannya?! Karena dengan cara apapun, ia akan tetap bekerja!” Dimas membanting ponselnya ke belakang Anne. Ia masih menatap puterinya tajam.

“Terus kenapa Papa sama Mama minta Anne untuk lahir ke dunia?!” Ia sudah tidak lagi kuat menahan genangan air di pelupuknya. Matanya berkedip untuk mengalirkan airnya.

“Kamu itu kesalahan, Anne! Kamu terbuat karena kecelakaan! Papa sama Mama bahkan sedang mabuk waktu itu!” Dengan teganya Dimas mengucapkan kalimat menusuk puteri satu-satunya itu.

Terkadang yang paling menyakitkan adalah kalimat orangtua sendiri.

“Jadi.... Anne adalah anak yang nggak diinginkan?” Suaranya bergetar di akhir kalimat. Matanya menatap sang Papa tidak percaya. Ia bahkn mengangkat tangan untuk menutupi mulutnya, agar erangan dari dalam diri tidak terdengar begitu mengenaskan.

“Papa... makasih... makasih karena Anne jadi tau kenapa dunia nggak pernah berpihak sama Anne. Kenapa semua orang benci sama Anne... kenapa semua orang menyalahkan Anne dalam ceritanya...” Anne berjalan mundur perlahan, kakinya tidak lagi kuat bahkan hanya untuk menahan diri sendiri.

“Anne!” Suara Dimas kembali menggema, “maafin Papa...”

Gadis itu berjalan pelan untuk menaiki tangga, berusaha mencapai kamar dengan segera. Lalu kembali menenggelamkan diri di bawah tebalnya selimut abunya. “Kak Mars.... Anne takut...”