TetehnyaaJisung

Dia, Anne.

Si gadis tersenyum kala ayahnya memberikan satu lembar tiket ke negara impiannya sejak kecil. Matanya memancar ke sekitar ruang tamu mewah dirumahnya. Namun seketika senyumnya luntur saat mendapati sang Mama sedang sibuk dengan iPadnya dan berjalan dengan cepat ke pintu utama.

“Mau ke mana, Anne?” Papanya menahan pergerakan Anne, membuat si gadis tidak lagi ingin beranjak lalu kembali duduk— memandangi tiket kepergiannya besok pagi.

“Anne dengar Papa,” Dimas menahan bahu puteri semata wayangnya. Mengunci pergerakan gadis iti agar tidak lagi menatap Mamanya yang bahkan sekarang sudah pergi meninggalkan rumah karena urusan bisnisnya.

Anne mengangguk, lalu membenarkan posisi duduknya.

“Anne nggak cuma liburan, ya? Papa kasih waktu Anne berdua sama Kak Mars sekalian berobat di Toronto ya, sayang? Bisa janji sama Papa kalau kalian pulang ke Indo bawa kabar yang baik?” kata pria paruh baya berjas hitam itu. Di pergelangan tangannya melingkar jam mewah dari brand ternama.

Anne mendengus kecil, “pa, kenapa nggak Papa yang nemenin Anne untuk berobat? Uang masih di atas segalanya dari pada anak, iya?”

Tatapan lembut Dimas berubah menjadi tajam. Pria itu dengan segera memalingkan wajahnya dari sang puteri. Tangannya terkepal kuat— menyalurkan emosinya di dalam dada.

“Papa tidak boleh diam aja sedangkan Mamamu bekerja dan maju dengan bisnisnya. Kita harus sama-sama menguntungkan.” Dimas menghela napasnya, ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangannya terangkat untuk melepaskan kacamata yang selalu bertengger di pangkal hidungnya.

Anne berdiri, menatap Papanya nanar dan penuh permohonan. “Kalau gitu kenapa nggak Mama aja yang berhenti kerja dan temani Anne di rumah?”

Dimas ikut berdiri, menatap puterinya tajam— padahal gadis itu tengah menahan isak tangisnya mati-matian. Anne tidak pernah merasakan punya teman. Anne yang malang, tidak pernah tau apa itu bahagia. Anne juga tidak pernah menemukan apa itu definisi keluarga.

Untuk sebagian orang, harta yang paling berharga bukan lagi keluarga— melainkan diri sendiri.

Anne sendiri. Itu sebabnya ia lebih memilih ketergantungan kepada Mars— orang satu-satunya yang menyelamatkan gadis itu setiap ingin mengakhiri hidup.

“Anne, tetap hidup. Nikmati semua perjalanan yang diberikan oleh Semesta. Karena semuanya terjadi bukan tanpa alasan. Kalau kamu nggak mau hidup untuk Papa atau Mama, setidaknya hidup untuk diri sendiri. Hidup untuk hal-hal yang Anne sukai. Hidup untuk memakan sate padang— misalnya?” Itu kata Mars dua tahun lalu ketika Anne dengan nekat ingin terjun dari rooftop hotel saat menemani Dimas bertemu dengan koleganya.

Mama dan Papanya akan berhubungan baik kalau di depan kolega juga kamera. Mereka hanya berpura-pura atau tepatnya membohongi Semesta tanpa mempedulikan gadis malang yang diberikan oleh Tuhan.

“Mama-mu itu workaholic, Anne! Mana bisa Papa menghentikannya?! Karena dengan cara apapun, ia akan tetap bekerja!” Dimas membanting ponselnya ke belakang Anne. Ia masih menatap puterinya tajam.

“Terus kenapa Papa sama Mama minta Anne untuk lahir ke dunia?!” Ia sudah tidak lagi kuat menahan genangan air di pelupuknya. Matanya berkedip untuk mengalirkan airnya.

“Kamu itu kesalahan, Anne! Kamu terbuat karena kecelakaan! Papa sama Mama bahkan sedang mabuk waktu itu!” Dengan teganya Dimas mengucapkan kalimat menusuk puteri satu-satunya itu.

Terkadang yang paling menyakitkan adalah kalimat orangtua sendiri.

“Jadi.... Anne adalah anak yang nggak diinginkan?” Suaranya bergetar di akhir kalimat. Matanya menatap sang Papa tidak percaya. Ia bahkn mengangkat tangan untuk menutupi mulutnya, agar erangan dari dalam diri tidak terdengar begitu mengenaskan.

“Papa... makasih... makasih karena Anne jadi tau kenapa dunia nggak pernah berpihak sama Anne. Kenapa semua orang benci sama Anne... kenapa semua orang menyalahkan Anne dalam ceritanya...” Anne berjalan mundur perlahan, kakinya tidak lagi kuat bahkan hanya untuk menahan diri sendiri.

“Anne!” Suara Dimas kembali menggema, “maafin Papa...”

Gadis itu berjalan pelan untuk menaiki tangga, berusaha mencapai kamar dengan segera. Lalu kembali menenggelamkan diri di bawah tebalnya selimut abunya. “Kak Mars.... Anne takut...”

Untuk Bumi.

Jakarta, 2020. 11.58 PM.

Bumi, apa kamu baik-baik saja?

Apa kamu hidup dengan baik di Canada sana?

Apa Canada lebih baik dari pada Jakarta?

Apa kamu melupakanku?

Semoga tidak.

Semoga.

Semoga.

Semoga.

Empat tahun tanpamu rasanya hampa. Rasanya seperti aku menanggung bebanku sendiri, Bumi. Aku tidak lagi mau memintamu untuk kembali. Karena aku menghargai segala keputusanmu. Aku menghargai kamu.

Di setiap pukul duabelas malam dan seterusnya aku akan selalu mendengar suaramu lewat type recorder yang terakhir kali kamu berikan di depan taman. Ketika aku merindukanmu, aku selalu membaca ulang kisah kita yang selalu kamu tulis di buku diarymu. Lembaran yang bahkan hari ini sudah usang itu masih dan akan selalu menemaniku, Bumi.

Bagian tengah bukunya sudah banyak yang rusak, beberapa halamanpun sudah berpisah dari tempatnya. Tapi kamu tenang saja, aku masih dan akan selalu bisa membaca tulisanmu itu.

Empat tahun bukanlah waktu yang cukup untukku berdamai dengan Semesta, Bumi. Dan hal yang paling menakutkan di muka bumi bukan lagi hantu tidak berkepala,

melainkan manusia.

Manusia hanya bisa berbicara dan mengambil kesimpulan dari sati sudut pandang tanpa mempedulikan sudut pandang lainnya.

Manusia terlalu fokus sama kehidupan orang lain sehingga hidupnya sendiri tidak mampu mereka pikiri.

Bumi...

Kamu adalah satu-satunya manusia yang aku tunggu kepulangannya. Di sana, jauh di negara kelahiramu— kamu sudah menjadi kebanggaan keluargamu.

Terimakasih atas kerja kerasmu. Terimakasih karena tidak mengeluh. Terimakasih telah tumbuh menjadi Bumi yang hebat.

Bumi, sekarang semua impiau terwujud satu-persatu. Kamu sudah dikenal banyak orang walau bukan sebagai author— seperti apa yang menjadi impianmu waktu kecil. Kamu dikenal oleh jutaan jiwa lewat lagu juga tarianmu, Bumi.

Kamu hebat.

Walau cita-citamu untuk jadi pembuat cerita tidak tercapat— tidak apa-apa, Bumi. Aku yang akan mewujudkannya menjadi seorang Author. Ketika buku pertamaku lahir nanti, aku akan mengirimkan beberapa untukmu lewat perusahaan yang menaungimu.

Aku tidak yakin kalau kamu mengingatku. Kala, si gadis kecil yang sering sekali menangis karena diganggu oleh Raja. Dulu kamu selalu bilang, “Kala dan Jakarta adalah satu hal yang selalu aku sukai.”

Dan kalau ditanya apa alasannya kamu selalu menggeleng dan menjawab, “nggak tau. Aku menyukai kamu dan Jakarta tanpa alasan tapi semua yang terjadi dengan Jakarta dan kamu itu pasti ada alasannya, Kala.”

Bumi..

Terimakasih telah mengajarkanku untuk menjadi dewasa. Untuk menikmati segala proses yang diberikan Semesta untuk kehidupanku.

Terimakasih telah mengajarkanku untuk tidak selalu mengeluh. Karena apapun yang terjadi di muka bumi tidak akan pernah bisa diubah.

Bumi...

lagi-lagi catatan ini ditulis ketika aku merindukanmu dengan sangat. Lagi-lagi aku menginginkan seseorang yang bahkan mungkin tidak pernah menginginkanku untuk ada di hidupnya.

Bumi,

di halaman ini...

aku memilih pergi dan mulai mencintai seseorang yang lain.

Maaf karena tidak bisa menjaga cinta untuk satu hati. Tapi menunggu yang tidak pasti rasanya terlalu sulit untuk kujalani. Di belahan dunia yang lain, semoga kamu menemukan apapun yang kamu cari.

Termasuk dia yang akan menjadi kesayanganmu.

Bumi, Sekala pamit dari hatimu.

Dear, You.

Jakarta, 2020. 11.58 PM.

Bumi, apa kamu baik-baik saja?

Apa kamu hidup dengan baik di Canada sana?

Apa Canada lebih baik dari pada Jakarta?

Apa kamu melupakanku?

Semoga tidak.

Semoga.

Semoga.

Semoga.

Empat tahun tanpamu rasanya hampa. Rasanya seperti aku menanggung bebanku sendiri, Bumi. Aku tidak lagi mau memintamu untuk kembali. Karena aku menghargai segala keputusanmu. Aku menghargai kamu.

Di setiap pukul duabelas malam dan seterusnya aku akan selalu mendengar suaramu lewat type recorder yang terakhir kali kamu berikan di depan taman. Ketika aku merindukanmu, aku selalu membaca ulang kisah kita yang selalu kamu tulis di buku diarymu. Lembaran yang bahkan hari ini sudah usang itu masih dan akan selalu menemaniku, Bumi.

Bagian tengah bukunya sudah banyak yang rusak, beberapa halamanpun sudah berpisah dari tempatnya. Tapi kamu tenang saja, aku masih dan akan selalu bisa membaca tulisanmu itu.

Empat tahun bukanlah waktu yang cukup untukku berdamai dengan Semesta, Bumi. Dan hal yang paling menakutkan di muka bumi bukan lagi hantu tidak berkepala,

melainkan manusia.

Manusia hanya bisa berbicara dan mengambil kesimpulan dari sati sudut pandang tanpa mempedulikan sudut pandang lainnya.

Manusia terlalu fokus sama kehidupan orang lain sehingga hidupnya sendiri tidak mampu mereka pikiri.

Bumi...

Kamu adalah satu-satunya manusia yang aku tunggu kepulangannya. Di sana, jauh di negara kelahiramu— kamu sudah menjadi kebanggaan keluargamu.

Terimakasih atas kerja kerasmu. Terimakasih karena tidak mengeluh. Terimakasih telah tumbuh menjadi Bumi yang hebat.

Bumi, sekarang semua impiau terwujud satu-persatu. Kamu sudah dikenal banyak orang walau bukan sebagai author— seperti apa yang menjadi impianmu waktu kecil. Kamu dikenal oleh jutaan jiwa lewat lagu juga tarianmu, Bumi.

Kamu hebat.

Walau cita-citamu untuk jadi pembuat cerita tidak tercapat— tidak apa-apa, Bumi. Aku yang akan mewujudkannya menjadi seorang Author. Ketika buku pertamaku lahir nanti, aku akan mengirimkan beberapa untukmu lewat perusahaan yang menaungimu.

Aku tidak yakin kalau kamu mengingatku. Kala, si gadis kecil yang sering sekali menangis karena diganggu oleh Raja. Dulu kamu selalu bilang, “Kala dan Jakarta adalah satu hal yang selalu aku sukai.”

Dan kalau ditanya apa alasannya kamu selalu menggeleng dan menjawab, “nggak tau. Aku menyukai kamu dan Jakarta tanpa alasan tapi semua yang terjadi dengan Jakarta dan kamu itu pasti ada alasannya, Kala.”

Bumi..

Terimakasih telah mengajarkanku untuk menjadi dewasa. Untuk menikmati segala proses yang diberikan Semesta untuk kehidupanku.

Terimakasih telah mengajarkanku untuk tidak selalu mengeluh. Karena apapun yang terjadi di muka bumi tidak akan pernah bisa diubah.

Bumi...

lagi-lagi catatan ini ditulis ketika aku merindukanmu dengan sangat. Lagi-lagi aku menginginkan seseorang yang bahkan mungkin tidak pernah menginginkanku untuk ada di hidupnya.

Bumi,

di halaman ini...

aku memilih pergi dan mulai mencintai seseorang yang lain.

Maaf karena tidak bisa menjaga cinta untuk satu hati. Tapi menunggu yang tidak pasti rasanya terlalu sulit untuk kujalani. Di belahan dunia yang lain, semoga kamu menemukan apapun yang kamu cari.

Termasuk dia yang akan menjadi kesayanganmu.

Bumi, Sekala pamit dari hatimu.

Aku dan perasaan untuknya.

Sudah tujuh hari Sea menetap di rumah Mamanya. Dan sudah tujuh hari pula keadaannya lebih membaik. Mars tidak lagi mementingkan Anne yang sejauh ini keadaannya sudah lebih stabil.

Hari ini tepat hari ke delapan setelah kepergian Mamanya Sea, dan ini waktunya Mars membawa wanitanya kembali ke rumah mereka. Ah, Mars bahkan sudah membeli apartment baru yang jauh lebih rapi dan besar dari pada rumah yang mereka sewa kemarin. Pria itu bahkan sudah membeli mobil fortuner hitam untuknya juga sang isteri. Walaupun begitu, terkadang Mars lebih memilih untuk naik kendaaan roda dua yang sudah lama menemaninya ke manapun.

“Ini kita mau ke tempat siapa, Mars?” Sea mengerinyit kebingungan saat Mars mengajaknya untuk masuk ke dalam salah-satu gedung dan masuk ke dalam lift.

Mars tersenyum, jemarinya menyisir surai legam milik sang isteri. “Pulang, sayang...”

Setelah kejadian malam itu, Sea marah sama Mars. Marah sekali. Tapi setelah mendengarkan beberapa kalimat yang diutarakan Arnav, ia menjadi luluh dan memberi kesempatan kepada pria itu.

Tentang wartawan di malam selanjutnya, semuanya jelas. Mamanya Sea terlibat dalam penggelapan dana perusahaan di mana tempatnya bekerja. Semua itu diungkap oleh pemilik perusahaan di artikel resminya sehingga membuat beberapa puluh wartawan berbondong datang ke rumah Mamanya Sea. Mereka semua tidak peduli kalau keadaannya sedang berduka. Media memang semenakutkan itu terkadang.

“Mars... sekarang aku nggak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi di dunia...” Sea mendudukkan dirinya di ruang tamu. Menyandarkan daksa yang lelah itu di sofa.

Mars yang sedang membuka jaket hitam dan topi hitamnya tersenyum kecil. Langkahnya membawa pria itu untuk duduk di samping isterinya. “Aku di sini untuk menjadi apa-apa dan siapa-siapa kamu, Sea... jangan takut, ya?”

Sea mengangguk kemudian tersenyum kecil. Ia berjalan untuk menyusuri setiap sudut unit apartmeny barunya. Tidak terlalu besar, tapi lebih dari cukup. Ada dua kamar tidur yang dilengkapi dengan kamar mandi dan dressroom di dalamnya— persis seperti kamar Sea di rumah Mamanya.

“Suka?” Mars melingkarkan tangannya di pinggang sang isteri, lalu menyandarkam dagunya di bahu wanita itu.

“Mars... jangan gitu, geli..” Sea menumpukan tangannya pada besi putih di balkon. Matanya menatap ke arah langit yang berhambur banyak bintang.

Bukannya melepaskan pelukan itu, si pria justru makin mengeratkan pelukannya seolah melindungi Sea dari embusan angin malam. Sesekali ia juga mengecup rahang wanitanya.

“Mars... aku mau minum kopi...” Sea melepaskan tangan Mars perlahan. Ia memutar balik tubuhnya untuk menghadap ke arah pria itu, lalu mengalungkan tangannya sediri di leher Mars.

Suaminya menggeleng sambil memejamkan mata, menyatukan dahi dengan miliknya. “Kamu udah seminggu ini tidur nggak nyenyak sayang... Jangan siksa diri sendiri, ya?”

“Buka matanya, Mars...” Sea memundurkan wajah, sehingga dahi juga hidungnya tidak lagi menempel pada Mars.

Si pria menggeleng, “nggak. Nanti aku malah nurutin permintaan kamu kalau buka mata.”

Sea tertawa. Niatnya memang ingin membujuk Mars agar diizinkan untuk membuat kopi. Tapi setelah melihat lingkar hitam di mata suaminya, Sea jadi kepikiran satu hal.

Tentang Anne.

Jauh sebelum mengenal Mars, ia sudah lebih dulu mengenal Anne. Ketika Sea duduk di kursi kelas tiga menengah pertama, dan di saat itulah Anne— si gadis periang masuk ke sekolah yang sama dengan Sea menjadi murid kelas satu. Sejak saat itu keduanya dekat— terlebih saat sama sama tau kalau ternyata rumah mereka berhadapan.

Sea bukan tipikal gadis yang sering menongkrong di luar rumah, karena Mama selalu melarangnya untuk bergaul dengan anak-anak nakal. Jadi, Sea memilih untuk menengelamkan diri di dalam kamarnya sembari melakukan apa-apa yang bisa ia lakukan.

Mendengarkan musik, membaca buku atau menonton serial drama mingguan. Kalau sudah merasa bosan di rumah, ia akan meminta izin untuk pergi kerja kelompok kepada Mamanya— padahal ia pergi bermain bersama sang kekasih juga temannya yang lain.

“Kamu kenapa selalu larang aku untuk pergi ke rumah Mama sih, Mars?”

Kalimat tanya Sea membuat pria itu seketika membula kelopaknya, menatap manik mata milik Sea dalam. Ia bingung bagaimana harus menjelaskannya kepada si gadis manis kesayangannya.

“Aku...”

Sea memokuskan dirinya untuk kalimat Mars. Tidak peduli angin yang semakin malam semakin dingin seolah menusuk ke tulangnya. Sedangkan pria itu kembali memejam, menetralkan napasnya agar tidak berembus terlalu cepat.

“Aku berusaha buat lindungin kamu, Sea...” katanya dengan nada terahan. Mars menahan emosi yang bergejolak di dalam dada kala ia mengingat kalimat yang diucapkan Mamanya Sea waktu beliau meminta Mars untuk menjaga puteri satu-satunya itu.

Sea melepaskan tangannya yang melingkar di leher prianya. Matanya menatap dalam wajah Mars yang kian lama kian memerah seperti ada yang disembunyikan di balik kelopak yang tertutup itu. “Lindungi?”

“Perusahaan Papanya Anne berusaha untuk jatuhin perusahaan Mama kamu. Mereka saingan sejak tiga tahun yang lalu perusahaan Mama kamu meningkat pesat, Sea.” Ia beribu-ribu kali meminta maaf dalam hatinya kepada mendiang Mamanya Sea karena sudah memberitau hal ini kepada puterinya.

“Mama punya perusahaan?” Sea mengerinyit kebingunan. “Eh—!” Ia membulat kala Mars dengan tiba-tiba membawanya dalam gendongan untuk masuk ke dalam kamar. Cuaca malam ini sedang tidak baik walau banyak bintang yang berhamburan di sana.

Mars meletakkan tubuh gadis manisnya dengan hati-hati di atas ranjang, lalu ia duduk di bagian tepinya. Sudut bibirnya terangkat penuh sedetik setelah ia mematikan lampu ruangan dan mengecup puncak kepala isterinya.

“Mars, mau ke mana?” Sea menarik tangan suaminya kala pria itu bangun dari posisinya, hendak pergi meninggalkan.

Mars menoleh, “aku mandi dulu sebentar.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mars.” Sea bangun dari posisinya menjadi setengah duduk. Banyak pertanyaan yang harus ia utarakan kepada suaminya itu.

Mars mengangguk, mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri. Ia ikut menenggelamkan dirinya di bawah selimut tebal bersama Sea. Tangannya terangkat untuk mengikis jaraknya dengan sang isteri.

“Aku kasih tau karena besok aku udah harus berangkat ke Toronto.” Mars menyelipkan rambut wanitanya ke belakang daun telinga. “Kamu jaga diri selama nggak ada aku, ya?”

Sea mengangguk pasti. “Iya, Mars...”

“Begini, Sea...” Mars menarik napasnya, tangannya menggenggam tangan milik Sea di bawah selimut tebal itu— seolah bersiap untuk menceritakan hal berat yang selama ini menjadi tanggungannya. Mars sudah percaya untuk menceritakan semuanya pada Sea karena bagaimanapun, ia adalah isterinya. Kesayangannya.

“Abigail's Corp itu punya Mama kamu—”

“Perusahaan penghasil tas terbesar di asia?” Matanya membulat lalu menatap Mars tidak percaya.

Pria itu menangguk, “iya. Itu punya Mama kamu. Mama sengaja jadi salah-satu seketaris di anak perusahaan ANTR CORP untuk memata-matai rencana Papanya Anne.”

“Tapi... Pemilik Abigail's bukannya orang Jepang?” Sea menerinyit, masih mencerna seluruh kalimat Mars barusan. Ia cukup tidak percaya juga sebenarnya.

Mars tertawa kecil, “papamu orang mana?”

“Jep— loh, iya juga...”

Ia menggigit pipi wanitanya gemas. Semakin mengikis jarak di antara keduanya. Bahkan kaki kiri milik Mars kini sudah mengapit tubuh Sea.

“Itu namanya tak-tik, Sea.” Mars memejamkan matanya untuk mengingat-ingat kejadian tiga tahun yang lalu. “Kamu pasti nanya, kenapa aku malah kerja di perusahaan Papanya Anne, kan?”

Sea mengangguk lugu.

“Karena ANTR CORP itu perusahaan Papaku yang diambil secara paksa sama Papanya Anne.” Mars masih memejamkan mata seolah menahan air mataya untuk turun dan membasahi pipi. Mars ingat betul bagaimana orangtuanya mendirikan ANTR CORP dengan susah payah lalu ditipu habis oleh Papanya Anne yang memang licik.

Hal itu membuat kedua orangtua Mars meninggal karena frustasi. Mereka tidak lagi punya harta untuk membiayai Mars juga kakak laki-lakinya.

“Mars...” Sea menarik Mars untuk masuk ke dalam pelukan seolah untuk menyalurkan ketenangannya.

“Papa dan Mamaku meninggal karena orang-orang yang gila harta itu, Sea...” Ia menarik napasnya, menenggelamkan wajah di ceruk leher sang isteri yang sekarang sibuk mengelus punggung Mars. “Sampai kapanpun aku nggak akan bikin ANTR bangkrut... aku cuma mau perusahaan itu kembali ke tangan keluargaku.”

Sea mengangguk mengerti. Walaupun masih terbilang dini, Sea tau bagaimana sulitnya membangun perusahaan. Mempromosikan produk, meyakinkan konsumen dan menjalin hubungan dengan kolega. “Jadi itu sebabnya kenapa kamu selalu ngelakuin apapun yang diminta sama Papanya Anne?”

Ia mengangguk lalu menangis di pelukan wanita yang berhasil ia pinang satu bulan yang lalu. “Bukan semata-mata karna harta, Sea... Tapi itu satu-satunya yang ditinggali orangtuaku...”

Tangan Sea mengelus pelan punggung pria di pelukannya, lalu mengecup kedua pipi Mars penuh kasih. “Jangan nangis...”

“Aku yakin, kecelakaan Mama kamu juga bukan hal yang murni, Sea.” Mars menengadahkan wajahnya, menatap isterinya dengan mata yang masih memerah. “Dunia bisnis yang besar memang semenyeramkan itu, Sea...”

Sea mengangguk, makin mengeratkan pelukannya dengan Mars. Ia mulai menyukai semua yang ada di dalam diri Mars. Mulai dari sifatnya sampai dengan ketulusan pria itu.

“Nasib dua perusahaan besar yang saling berlomba sekarang ada di tangan aku, Sea.” Ia menghela napasnya, “ANTR dan Abigail's.”

Aku kehilangan aku.

Sudah tujuh hari Sea menetap di rumah Mamanya. Dan sudah tujuh hari pula keadaannya lebih membaik. Mars tidak lagi mementingkan Anne yang sejauh ini keadaannya sudah lebih stabil.

Hari ini tepat hari ke delapan setelah kepergian Mamanya Sea, dan ini waktunya Mars membawa wanitanya kembali ke rumah mereka. Ah, Mars bahkan sudah membeli apartment baru yang jauh lebih rapi dan besar dari pada rumah yang mereka sewa kemarin. Pria itu bahkan sudah membeli mobil fortuner hitam untuknya juga sang isteri. Walaupun begitu, terkadang Mars lebih memilih untuk naik kendaaan roda dua yang sudah lama menemaninya ke manapun.

“Ini kita mau ke tempat siapa, Mars?” Sea mengerinyit kebingungan saat Mars mengajaknya untuk masuk ke dalam salah-satu gedung dan masuk ke dalam lift.

Mars tersenyum, jemarinya menyisir surai legam milik sang isteri. “Pulang, sayang...”

Setelah kejadian malam itu, Sea marah sama Mars. Marah sekali. Tapi setelah mendengarkan beberapa kalimat yang diutarakan Arnav, ia menjadi luluh dan memberi kesempatan kepada pria itu.

Tentang wartawan di malam selanjutnya, semuanya jelas. Mamanya Sea terlibat dalam penggelapan dana perusahaan di mana tempatnya bekerja. Semua itu diungkap oleh pemilik perusahaan di artikel resminya sehingga membuat beberapa puluh wartawan berbondong datang ke rumah Mamanya Sea. Mereka semua tidak peduli kalau keadaannya sedang berduka. Media memang semenakutkan itu terkadang.

“Mars... sekarang aku nggak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi di dunia...” Sea mendudukkan dirinya di ruang tamu. Menyandarkan daksa yang lelah itu di sofa.

Mars yang sedang membuka jaket hitam dan topi hitamnya tersenyum kecil. Langkahnya membawa pria itu untuk duduk di samping isterinya. “Aku di sini untuk menjadi apa-apa dan siapa-siapa kamu, Sea... jangan takut, ya?”

Sea mengangguk kemudian tersenyum kecil. Ia berjalan untuk menyusuri setiap sudut unit apartmeny barunya. Tidak terlalu besar, tapi lebih dari cukup. Ada dua kamar tidur yang dilengkapi dengan kamar mandi dan dressroom di dalamnya— persis seperti kamar Sea di rumah Mamanya.

“Suka?” Mars melingkarkan tangannya di pinggang sang isteri, lalu menyandarkam dagunya di bahu wanita itu.

“Mars... jangan gitu, geli..” Sea menumpukan tangannya pada besi putih di balkon. Matanya menatap ke arah langit yang berhambur banyak bintang.

Bukannya melepaskan pelukan itu, si pria justru makin mengeratkan pelukannya seolah melindungi Sea dari embusan angin malam. Sesekali ia juga mengecup rahang wanitanya.

“Mars... aku mau minum kopi...” Sea melepaskan tangan Mars perlahan. Ia memutar balik tubuhnya untuk menghadap ke arah pria itu, lalu mengalungkan tangannya sediri di leher Mars.

Suaminya menggeleng sambil memejamkan mata, menyatukan dahi dengan miliknya. “Kamu udah seminggu ini tidur nggak nyenyak sayang... Jangan siksa diri sendiri, ya?”

“Buka matanya, Mars...” Sea memundurkan wajah, sehingga dahi juga hidungnya tidak lagi menempel pada Mars.

Si pria menggeleng, “nggak. Nanti aku malah nurutin permintaan kamu kalau buka mata.”

Sea tertawa. Niatnya memang ingin membujuk Mars agar diizinkan untuk membuat kopi. Tapi setelah melihat lingkar hitam di mata suaminya, Sea jadi kepikiran satu hal.

Tentang Anne.

Jauh sebelum mengenal Mars, ia sudah lebih dulu mengenal Anne. Ketika Sea duduk di kursi kelas tiga menengah pertama, dan di saat itulah Anne— si gadis periang masuk ke sekolah yang sama dengan Sea menjadi murid kelas satu. Sejak saat itu keduanya dekat— terlebih saat sama sama tau kalau ternyata rumah mereka berhadapan.

Sea bukan tipikal gadis yang sering menongkrong di luar rumah, karena Mama selalu melarangnya untuk bergaul dengan anak-anak nakal. Jadi, Sea memilih untuk menengelamkan diri di dalam kamarnya sembari melakukan apa-apa yang bisa ia lakukan.

Mendengarkan musik, membaca buku atau menonton serial drama mingguan. Kalau sudah merasa bosan di rumah, ia akan meminta izin untuk pergi kerja kelompok kepada Mamanya— padahal ia pergi bermain bersama sang kekasih juga temannya yang lain.

“Kamu kenapa selalu larang aku untuk pergi ke rumah Mama sih, Mars?”

Kalimat tanya Sea membuat pria itu seketika membula kelopaknya, menatap manik mata milik Sea dalam. Ia bingung bagaimana harus menjelaskannya kepada si gadis manis kesayangannya.

“Aku...”

Sea memokuskan dirinya untuk kalimat Mars. Tidak peduli angin yang semakin malam semakin dingin seolah menusuk ke tulangnya. Sedangkan pria itu kembali memejam, menetralkan napasnya agar tidak berembus terlalu cepat.

“Aku berusaha buat lindungin kamu, Sea...” katanya dengan nada terahan. Mars menahan emosi yang bergejolak di dalam dada kala ia mengingat kalimat yang diucapkan Mamanya Sea waktu beliau meminta Mars untuk menjaga puteri satu-satunya itu.

Sea melepaskan tangannya yang melingkar di leher prianya. Matanya menatap dalam wajah Mars yang kian lama kian memerah seperti ada yang disembunyikan di balik kelopak yang tertutup itu. “Lindungi?”

“Perusahaan Papanya Anne berusaha untuk jatuhin perusahaan Mama kamu. Mereka saingan sejak tiga tahun yang lalu perusahaan Mama kamu meningkat pesat, Sea.” Ia beribu-ribu kali meminta maaf dalam hatinya kepada mendiang Mamanya Sea karena sudah memberitau hal ini kepada puterinya.

“Mama punya perusahaan?” Sea mengerinyit kebingunan. “Eh—!” Ia membulat kala Mars dengan tiba-tiba membawanya dalam gendongan untuk masuk ke dalam kamar. Cuaca malam ini sedang tidak baik walau banyak bintang yang berhamburan di sana.

Mars meletakkan tubuh gadis manisnya dengan hati-hati di atas ranjang, lalu ia duduk di bagian tepinya. Sudut bibirnya terangkat penuh sedetik setelah ia mematikan lampu ruangan dan mengecup puncak kepala isterinya.

“Mars, mau ke mana?” Sea menarik tangan suaminya kala pria itu bangun dari posisinya, hendak pergi meninggalkan.

Mars menoleh, “aku mandi dulu sebentar.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mars.” Sea bangun dari posisinya menjadi setengah duduk. Banyak pertanyaan yang harus ia utarakan kepada suaminya itu.

Mars mengangguk, mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri. Ia ikut menenggelamkan dirinya di bawah selimut tebal bersama Sea. Tangannya terangkat untuk mengikis jaraknya dengan sang isteri.

“Aku kasih tau karena besok aku udah harus berangkat ke Toronto.” Mars menyelipkan rambut wanitanya ke belakang daun telinga. “Kamu jaga diri selama nggak ada aku, ya?”

Sea mengangguk pasti. “Iya, Mars...”

“Begini, Sea...” Mars menarik napasnya, tangannya menggenggam tangan milik Sea di bawah selimut tebal itu— seolah bersiap untuk menceritakan hal berat yang selama ini menjadi tanggungannya. Mars sudah percaya untuk menceritakan semuanya pada Sea karena bagaimanapun, ia adalah isterinya. Kesayangannya.

“Abigail's Corp itu punya Mama kamu—”

“Perusahaan penghasil tas terbesar di asia?” Matanya membulat lalu menatap Mars tidak percaya.

Pria itu menangguk, “iya. Itu punya Mama kamu. Mama sengaja jadi salah-satu seketaris di anak perusahaan ANTR CORP untuk memata-matai rencana Papanya Anne.”

“Tapi... Pemilik Abigail's bukannya orang Jepang?” Sea menerinyit, masih mencerna seluruh kalimat Mars barusan. Ia cukup tidak percaya juga sebenarnya.

Mars tertawa kecil, “papamu orang mana?”

“Jep— loh, iya juga...”

Ia menggigit pipi wanitanya gemas. Semakin mengikis jarak di antara keduanya. Bahkan kaki kiri milik Mars kini sudah mengapit tubuh Sea.

“Itu namanya tak-tik, Sea.” Mars memejamkan matanya untuk mengingat-ingat kejadian tiga tahun yang lalu. “Kamu pasti nanya, kenapa aku malah kerja di perusahaan Papanya Anne, kan?”

Sea mengangguk lugu.

“Karena ANTR CORP itu perusahaan Papaku yang diambil secara paksa sama Papanya Anne.” Mars masih memejamkan mata seolah menahan air mataya untuk turun dan membasahi pipi. Mars ingat betul bagaimana orangtuanya mendirikan ANTR CORP dengan susah payah lalu ditipu habis oleh Papanya Anne yang memang licik.

Hal itu membuat kedua orangtua Mars meninggal karena frustasi. Mereka tidak lagi punya harta untuk membiayai Mars juga kakak laki-lakinya.

“Mars...” Sea menarik Mars untuk masuk ke dalam pelukan seolah untuk menyalurkan ketenangannya.

“Papa dan Mamaku meninggal karena orang-orang yang gila harta itu, Sea...” Ia menarik napasnya, menenggelamkan wajah di ceruk leher sang isteri yang sekarang sibuk mengelus punggung Mars. “Sampai kapanpun aku nggak akan bikin ANTR bangkrut... aku cuma mau perusahaan itu kembali ke tangan keluargaku.”

Sea mengangguk mengerti. Walaupun masih terbilang dini, Sea tau bagaimana sulitnya membangun perusahaan. Mempromosikan produk, meyakinkan konsumen dan menjalin hubungan dengan kolega. “Jadi itu sebabnya kenapa kamu selalu ngelakuin apapun yang diminta sama Papanya Anne?”

Ia mengangguk lalu menangis di pelukan wanita yang berhasil ia pinang satu bulan yang lalu. “Bukan semata-mata karna harta, Sea... Tapi itu satu-satunya yang ditinggali orangtuaku...”

Tangan Sea mengelus pelan punggung pria di pelukannya, lalu mengecup kedua pipi Mars penuh kasih. “Jangan nangis...”

“Aku yakin, kecelakaan Mama kamu juga bukan hal yang murni, Sea.” Mars menengadahkan wajahnya, menatap isterinya dengan mata yang masih memerah. “Dunia bisnis yang besar memang semenyeramkan itu, Sea...”

Sea mengangguk, makin mengeratkan pelukannya dengan Mars. Ia mulai menyukai semua yang ada di dalam diri Mars. Mulai dari sifatnya sampai dengan ketulusan pria itu.

“Nasib dua perusahaan besar yang saling berlomba sekarang ada di tangan aku, Sea.” Ia menghela napasnya, “ANTR dan Abigail's.”

Dia dan kendalinya.

NOTE : aku sudah kasih tag ya di atasnya. BIJAK dalam memilih bacaan, please? kalau kerasa ini terlalu jauh, tolong kasih tau aku biar aku hapus partnya dan ganti dengan yang baru. please. please. please.

Entah sudah berapa ratus kali Sea menghela napasnya hari ini. Rasanya semua terlalu tiba-tiba termasuk kepergian Mamanya. Gadis itu merasa bersalah kalau mengingat masa kecil sampai sebesar ini yang sama sekali belum bisa membanggakan sang Mama.

“Ci, minum dulu.” Arnav meletakkan segelas air hangat di hadapan gadis yang sedari dua jam lalu diam saja.

Pemakaman Mama Sea berjalan tanpa hambatan. Banyak sekali yang datang mulai dari rekan bisnis sampai dengan teman-teman arisan. Dan yang membuat Sea kaget bukan main adalah fakta kalau Mamanya bukan meninggal karena penyakit yang diindapnya, melainkan karena kecelakaan di pukul dua dini hari.

Polisi sedang menyelidiki kasus itu lebih lanjut atas permintaan Arnav— tentu saja. Pria itu memang kurang terima kalau tetangganya itu bisa dengan tiba-tiba menabrak pembatas jalan.

Ada beberapa kemungkinan yang sedari tadi muncul di benak Arnav. Mabuk, rem blong atau berkendara ketika mengantuk.

“Lo belom makan dari siang, Ci. Makan dulu, ayo!” Arnav menyodorkan satu sendok nasi goreng yang baru saja dibelikan oleh Jeffrian untuk karyawan-nya itu.

Sea menoleh, mendapati pancaran mata Arnav dengan segala kekhawatiran di dalam diri pria itu. “Makasih udah selalu ada buat gue ya, Nav...”

Arnav terkekeh, ia meletakkan piring nasi goreng itu di sisi kirinya. Dengan cepat ia membawa Sea ke dalam pelukan. Rasanya beda karena pria itu terakhir memeluk Sea sekitar tujuh tahun yang lalu saat keduanya masih di sekolah menengah pertama. Waktu itu Sea menangis karena kehilangan Ayahnya yang mengindap penyakit jantung.

“Lo jangan terus-terusan terpuruk kaya hari ini ya, Ci. Gue, Kak Jeffrian, Lucky yang walaupun udah mau nikah atau bahkan Rendy, kita semua di sini buat lo, Ci...” Arnav menepuk punggung Sea pelan berkali-kali. Dalam hatinya menangisi kepergian Mamanya Sea juga.

Bukan, bukan cuma karena kepergian Mamanya Sea, tapi menangisi nasib Sea yang hanya anak tunggal. Jadi Sea akan hidup bersama Mars saja. Lagi, Arnav belum sepenuhnya percaya kalau pria itu bisa menjaga Sea lebih baik darinya.

“Makan dulu, ya?” Arnav kembali mengambil nasi goreng dengan posisi Sea masih di pelukannya. “Kak Jeff sama Rendy lagi makan di depan. Lo mau makan di kamar atau ikut ke depan?”

“Lo mau makan juga, ya?” Tanya gadis itu sambil menjauhkan dirinya dari Arnav. Tangannya terangkat untuk mengambil kotak tisu di samping ponselnya. Netra itu sempat mendapati layar ponsel yang menyala dan ada beberapa panggilan masjk dari suaminya.

Arnav menyodorkan satu sendok nasi goreng ke hadapan si gadis, “gue makannya kalo lo udah kenyang aja. Gampang.”

Ia menangguk mengerti, melahap nasi goreng yang disodorkan oleh Arnav sesekali.

“Mars belum balas pesan lo?”

Sea menoleh, “udah kayanya. Tapi gue masih mau tenangin diri dulu dan lagi nggak mau ketemu dia dulu, Nav. Gue... takut.”

Pria itu mengangguk mengerti lalu kembali menyuapi makanan untuk sahabatnya itu. Kalau ada yang berbicara tentang kalimat, “tidak ada yang murni antara persahabatan cewek dan cowok. Salah satunya pasti menyimpan rasa.” Iya. Arnav membenarkan kalimat itu. Ia bahkan pernah menangis dan mengrung diri di kamar satu minggu sebelum pernikahan Sea dan Mars.

“Jangan takut, ya? Gue sama Dery berencana buat nginep di sini, jagain lo dari Mars.” katanya.

Sea menatap Arnav lamat, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis. Harusnya dulu Sea memilih untuk menikah denga Arnav saja kalau begini kejadiannya. Tumbuh bersama pria itu selama sembilanbelas tahun membuat Sea selalu merasa aman bersamanya. Walaupun Arnav berbeda dua tahun dengannya itu tidak apa. Hanya dua tahun— bukannya Mars juga sama?

“Sea!”

Keduanya terperanjat, sama-sama membulatkan bolamata saat Mars dengan kasar membuka pintu kamar Sea di rumah Mamanya. Pria itu memandang Sea dengan tatapan yang sama sekali tidak bisa diartikan.

Bisa jadi karena marah atau mungkin menyesal—?

“Udah?” tanya Mars seraya berjalan mendekat.

Sea mengerinyit, “udah?”

“Selingkuhnya?”

Arnav membola setelah kata itu keluar dari mulut Mars. Benar-benar tidak menyangka dan masih sempat-sempatnya pria itu cemburu kepadanya saat ia sudah mendapatkan Sea— apalagi isterinya masih dalam keadaan berduka.

Arnav langsung menghempaskan piring di tangannya dengan kasar sampai tidak lagi berbentuk— yang tentu saja membuat Jeffrian, Dery, Lucky, juga Rendy langsung berbodong mendatangi.

“Kenapa ini— hey Arnav!” Jeffrian menarik kerah Arnav saat pria itu menarik kerah hoodie milik Mars dan bersiap untuk melayangkan pukulannya. “Arnav sadar lo bukan orang yang kasar!”

Arnav melepaskan cengkramannya di hoodie Mars lalu mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.

“Ini sebenernya kenapa, sih?” Itu suara Dion selaku sahabat Jeffrian yang tadi sore dengan suka rela membantu mereka memakamkan Mamanya Sea— bahkan ia juga ikut membantu untuk acara tahlilan.

“Saya mau ngomong sama Sea sebentar, bisa?” tanya Mars tidak memedulikan kalimat tanya Dion yang sudah memasang wajah kesalnya di depan pintu.

“Gue temenin.” Kali ini Rendy yang memiliki status sebagai mantan kekasihnya Sea selama sekolah menengah atas yang mengeluarkan suara.

Mars melirik Sea sekilas, “Sea, boleh saya minta waktunya berdua? empat mata?”

Sea mengangguk lalu meminta yang lain untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Mars di ruang persegi itu. Beberapa kali Sea perlu memastikan bahwa ia akan baik-baik saja karena Mars tidak mungkin kasar— mengingat perlakuan pria itu sekali-kali.

“Lempar apapun ke pintu biar kita semua denger kalo lo lagi ngerasa butuh pertolongan, okay?” Deryan memberikan satu vas bunga kecil yanh ia dapati di ruang tamu kepada Sea.

Gadis itu terkekeh karena perlakuan Deryan yang memang tidak akan pernah ada habisnya. “Iya, iya, Dery.”

Setelahnya yang lain langsung kembali ke ruang tamu untuk membicarakan beberapa hal mengenai tahlilan di hari esok dan membagi tugas siapa yang akan menemani Sea selama ini di setiap harinya.

Sedangkan di sini mereka berdua— Mars dan Sea. Pria berhoodie abu itu menatap gadisnya dalam, sedangkan Sea sibuk menundukkan kepalanya.

“Sea, pulang.”

Sea mengalihkan atensinya, menatap Mars dengan tatapan tidak percaya. “Gue mau di sini sampai setidaknya tahlilan Mama selama tujuh hari berjalan tanpa halangan.”

“Kalau saya bilang pulang. Ya pulang, Sea.” katanya.

Sea menghela napasnya, lalu kembali menggeleng. Sedangkan Mars mendekatkan tubuhnya dengan gadis itu tanpa ada jarak sedikitpun. Tangan kanannya membawa Sea untuk duduk di atas pankuannya. Dari sini Mars dapat melihat setipa inchi wajah gadis itu tanpa terkecuali. Sedangkan tangan kiri yang bebas ia gunakan untuk menyelipkan surai legam si gadis ke belakang telinga.

“Aku cemburu.” katanya seductive membuat bulu leher Sea meremang seketika.

“Mars...” Sea menurunkan tangan Mars yang sedang menahan pinggangnya untuk tetap berada di posisi itu.

Dengan gerakan yang lumayan cepat, Mars meraup bibir merah muda itu untuk dilumat. Tidak ada tanda bahwa Mars melakukannya dengan perlahan ataupun hati-hati dan itu membuat Sea mendorong dadanya kasar.

“Ma...rshh!” desisnya kecil.

Pria itu tersenyum di sela-sela ciumannya kala Sea sudah bisa berusaha mengimbangi permainan yang ia mulai. Lima menit tanpa jeda sudsh berlalu, kali ini Mars kembali mendekatkan bibirnya pada telinga Sea, “tonight, i'll be yours and you'll be mine. so, enjoy your flight, babe...”

Kesayangan atau gadis kecilnya.

Sea meletakkan converse putihnya di rak sepatu dekat pintu rumah. Netranya tertuju pada pria yang sudah menutup matanya di atas sofa. Tanpa sadar, kedua sudut bibir si gadis terangkat sedikit. Buru-buru ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum, karena tenggorokannya terasa kering.

“Bangunin Mars nggak, ya?” Ia meneguk minumnya setelah meletakkan beberapa makanan ringan yang dibelikan oleh Arnav di dalam kulkas. “Nggak usah kali, ya? Kasian juga, abis lembur terus besok harus berangkat pagi...”

Langkahnya membawa gadis itu untuk kembali menuju ruang tamu, lagi-lagi sudut bibirnya terangkat. Ia duduk di atas karpet lalu menumpukan tubuhnya di atas sofa. “Mars... maafin aku ya...”

Si pria melenguh seolah menjawab kalimat isterinya, tapi tidak membuka netra. Hal itu membuat Sea terkekeh, kembali sadar akan kalimat Mamanya tempo hari. “Sea, Mars itu pria yang peka walau dalam keadaan tidur sekalipun.”

Sea menggelengkan kepalanya, ia mengabsen seluruh bagian wajah Mars dengan jemari kanannya. Perlahan, ia menyibak rambut sang suami yang sudah hampir menutupi mata. “Beberapa orang yang cuma liat kamu sekali mungkin udah bisa jatuh cinta sama kamu, Mars... Tapi aku nggak tau kenapa rasanya sulit bahkan untuk merakit perasaan buat kamu sekalipun.”

Mars mungkin salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna kalau dilihat dari fisiknya— tapi Sea belum mengenal Mars lebih jauh. Mungkin saja fisik sempurna tapi hatinya sama sekali tidak. Atau bahkan mungkin keduanya sama.

Sama-sama sempurna.

Ia menghela napasnya, “jangan capek menunggu ya, Mars...”

“Eunghh...” Mars mendesis kala ada jemari yang membelai wajahnya lembut membuat ia terusik dari lelapnya. “Sea? udah pulang?”

Si gadis tersenyum manis, ia menganggukkan kepalanya. Tanpa sadar, bulir air mata yang tidak diperkirakan mengalir begitu saja. Ia merasa bersalah, sungguh.

“Hey— kenapa?” Mars dengan gesit mengubah posisinya menjadi duduk di atas sofa dan Sea masih setia di atas karpet. “Sini,” ia membawa isterinya untuk duduk di samping. Jemarinya menyisir rambut sebahu itu, sesekali menepuk kepalanya si gadis penuh kasih.

“Mars... maafin aku...” katanya.

Satu jam yang lalu padahal Sea baru saja tertawa bersama yang lain hanya karena membicarakan hal-hal konyol. Tapi detik ini ia menangis sejadi-jadinya. Sepertinya mood si gadis manis masih diatur oleh periode datang bulanya.

“Iya, iya. Kan aku udah bilang kalau nggak apa-apa...” Mars tertawa kecil. “Yaudah ayo bobo. Udah malem nih.”

Sea mengangguk, berjalan ke kamar mengikuti langkah Mars dari belakang. Sesekali ia menarik napasnya yang sedikit tersumbat karena menangis. Setelah sampai kamar, Sea langsung menengglamkan diri di bawah selimut sambil melanjutkan tangisnya— ia bahkan mengerang dengan tertahan di sana. Tentu saja hal itu membuat Mars merasa bersalah.

“Udah dong jangan nangis. Aku nggak apa-apa jadi ayahnya bulan depan, tahun depan atau kapanpun asal sama kamu selamanya.” katanya sambil menyelipkan anak rambut si gadis ke belakang daun telinga.

Sea mengangguk, lalu meraih daksa Mars untuk ia peluk.

— drrt.

Getaran dari ponsel Mars membuat pria itu sedikit menjauhkan daksanya dari Sea— bersiap menolak telepon dari seseorang tidak tau diri yang mengganggu di malam hari.

Tidak sopan. Padahal sudah hampir pukul sepuluh. Tapi ia masih berusaha mengulang-ulang panggilannya.

“Angkat aja, Mars.” kata Sea saat netranya mendapati alis Mars yang saling terpaut.

Pria itu mengangguk, mengeser tombol hijau di ponselnya. Suara berat seorang pria berumur empatpuluh tahun ke atas langsung memenuhi indera pendengaran Mars.

“Iya, iya Om. Jangan panik, Mars ke sana..” katanya.

Sea menatap Mars khawatir seolah ingin tau apa yang menjadi topik pembicaraan prianya dengan seseorang di seberang sana. Tidak memperdulikan Sea, pria itu malah sibuk memakai kacamatanya kembali, mengambil kunci motor dan memakai hoodienya dengan cepat.

“Mars...”

Mars menoleh, lalu sedikit berlari ke arah Sea. “Jangan tungguin aku pulanh, Sea. Tapi aku pasti akan pulang.”

“Kamu mau ke mana, Mars?”

Ia tersenyum tipis. “Anne berantem sama Mamanya dan berusaha membunuh Mamanya pakai pisau dapur. Anne butuh aku, Sea...”

Hatinya mencelos. Sea tersenyum tipis lalu mengangguk seolah mengizinkan Mars untuk memenuhi panggilan yang tadi mungkin dari ayahnya gadis kecil itu.

Mars mengecup puncak kepala si gadis kesayangannya. “Aku akan pulang malam ini. Tapi jangan tungguin aku, ya? Kamu juga harus istirahat, Sea.”

Si gadis mengangguk singkat, “Iya, Mars.”

Selamat tinggal.

Ayla menatap Doyoung yang sedang berdiri sambil mengelus rambut sepinggang Raina. Senyum tulus itu memancar dengan indah. Bolamata kecokelatannya bersinar terang. Kemeja bergaris menambah ketampanan yang ada di dalam dirinya.

“Boleh, sayang...” katanya seolah tau apa yang ada di hati Ayla.

Satu bulan yang lalu Jaehyun terbangun dari masa kritisnya. Seolah keajaiban, setelah kalimat, “aku pernah sangat mencintai kamu.” dilontarkan dari bibir kecilnya Ayla, pria iti terbangun perlahan. Bahkan sampai detik ini Ayla masih ingat kalau jemari Jaehyun yang lebih dulu bergerak ketimbang kelopak matanya.

“Adek, ayo!” Dia meraih tangan sang puteri yang masih menatap nanar sekitar. “Mark, firma Papa serahin ke kamu. Kita semua akan kembali ke Jakarta.”

Anak itu tertawa, “hati-hati di Texas. Semoga bisa mengobati luka di Indonesia.”

“Jaehyun... sebentar...” Ayla menahan pergerakan Jaehyun yang membuat pria itu kembali menurunkan Aurel dari gendongannya. Netra Jaehyun menatap Doyoung yang berdiri beberapa langkah di belakang Ayla— seolah meminta izin untuk berbicara dengan isterinya. “Jaehyun... makasih. Makasih buat selama ini.”

Jaehyun melepaskan kopernya, lalu tersenyum menatap wanita di hadapan. “Makasih juga udah ngajarin aku satu hal ya, Ay?”

Melihat Ayla yang hanya mengerinyit, Jaehyun menangkat tangannya untuk menepuk pundak wanita itu dua kali.

“Bertahan kadang lebih baik ketimbang menemukan yang baru. Karena yang baru, belum tentu sesempurna yang dipertahankan.” katanya.

Ayla berbalik, mengalihkan atensinya kepada Doyoung sebentar. Lalu kembali menatap Jaehyun yang sekarang menyisir surai cokelat tuanya dengan jemari. “Semua itu tergantung bagaimana caramu menemukannya, Jaehyun.”

Dia tersenyum, “bahagia terus, ya.” Netra Jaehyun kembali menatap Doyoung yang masih setia dengan senyum manisnya. Pria itu memberi hormat seolah memenuhi permintaan Jaehyun untuk memberikan seluruh dunia untuk Ayla. “Saya titip Ayla sama kamu, Do.”

Doyoung maju beberapa langkah untuk menyetarakan posisinya dengan Ayla— meninggalkan Raina bersama dengan Jeno di belakang sana. “Kamu juga jangan lupa bahagia, Jaehyun. Saya titip Jaemin sama Raina, ya...”

Jaehyun menangguk mantap. Ia beralih ke arah Jaemin yang sudah lengkap dengan jaket jeansnya. “Aku ajak Jaemin dulu ya, Ay? Nanti kalau anaknya nggak betah aku antar lagi ke Indo.”

Si wanita terkekeh, tangannya terangkat untuk mengelus surai Jaemin. Ia mengecup pipi pemuda yang bahkan sekarang tingginya sudah melebihinya. “Jaemin jagain dadah sama Aurel, ya? Jangan nakal dan bikin Dadah capek karena urus kamu.”

Dia terkekeh lalu mengangguk.

“Cie yang LDR.” Ledek Jeno dari arah belakang. Ia tertawa sampai matanya membentuk sabit. Di samping pria itu sudah ada gadis yang satu minggu lalu resmi menjadi kekasihnya— Talita.

Jaemin mengerucutkan bibirnya, meraih tangan Sabil untuk dikecup. “Aku berangkat, ya? Nanti aku pulang ke Indo ajak Dadah buat nikahin kamu. Janji!”

Semuanya tertawa, “S1 aja belum lulus kamu. Mau dikasih makan apa itu Sabilnya?”

“Makan badak!” jawab Jaemin asal.

Tidak terasa sudah pukul empat sore. Itu artinya lima belas menit lagi mereka harus meninggalkan tanah lahir dengan senyum dan masih mengusahakan sebuah kata bahagia.

“Sampai ketemu lagi, Bunda!” Jaemin melambaikan tangannya sambil berjalan mengikuti Jaehyun sampai tubuh mereka hilang ditelan tikungan

Ayla menenggelamkan dirinya ke tubuh Doyoung yang membuat pria itu mengecup puncak bagian kepalanya berkali-kali. “Jangan nangis, Jaemin cuma mau ke Texas. Bulan depan kalau aku bisa ambil cuti kita liburan ke sana, ya?”

“Pa! Jeno bulan depan ujian semesteran loh?”

Doyoung tertawa sambil menjulurkan lidah, “yaudah kamu sama adek di rumah. Papa dan Bunda kasih adek untuk Rain.”

Si kecil tertawa, “Asik! Raina punya dedek, dong?”

Semuanya harus berakhir walau tidak yang benar-benar berakhir— termasuk cerita ini. Terimakasih, semuanya.

— END —

Do...

“DOYOUNG!” Ayla menekan bagian jantungnya, lalu membuka matanya lebar-lebar. Napasnya tersenggal bersamaan dengan daksanya yang tiba-tiba turut bangun dari posisinya.

Teriakannya menggema di ruang persegi itu, membuat pria di sampingnya ikut terbangun sambil menenangkannya. Ia mengangkat tangannya, meraih Ayla yang masih sibuk mengatur deruan napas yang tidak beraturan. “Hey, hey... i'm here...”

Ayla menatap pria di sampingnya yang sedang tersenyum dengan mata sayu— khas seperti orang bangun tidur. Tangan gemetar itu terangkat untuk menepuk pipi si pria. “Ini kamu....”

“Iya, ini aku.” katanya sambil memejamkan mata. Menikmati sentuhan jemari wanita di sampingnya. Tidak lama, si pria langsung mengambil jemari itu, mengecup beberapa bagian berulang kali. “Mimpi buruk, hm?”

Ia mengangguk, netranya menatap sekeliling ruang persegi itu. Ini hotel. Hotel di mana ia menginap. “Ini... kenapa?”

“Ay, kamu tuh pingsan di rumah sakit kata Mark. Terus aku bawa ke hotel karena aku yakin kalau kamu cuma kecapekan dan butuh istirahat.” Ia membawa daksa si wanita ke dalam pelukannya, mengecup puncak kepalanya lama seolah menyalurkan ketenangan yang ia punya.

Matanya memejam, berusaha mencerna apa yang terjadi. Potongan kejadian menakutkan kembali memutar di kepalanya membuat ia melingkarkan tangan dan memeluk erat pria di sampingnya.

“Handphone aku?” Ayla meraih ponselnya di atas nakas, melihat aplikasi pesan dan tidak mendapati apa-apa. Tidak ada nama Jeno maupun Jaehyun seperti di mimpinya. Lalu ia mengembuskan napasnya lega.

“Do...” Ayla menengadah lalu memerhatikan wajah tegas sang suami dari bawah sini. Hidung mancung, mata kecil, rahang tegas juga bibir tipisnya masih sama. “Kamu... nggak akan kemana-mana, kan?”

Ia menggeleng lalu tersenyum tipis. Pria itu tidak mau bertanya apapun dulu setelah sang isteri mendapati mimpi yang sangat buruk di tidur panjangnya. Dua belas jam sudah Ayla tidak menyadarkan dirinya, dan tentu saja membuat Doyoung agak khawatir akan hal itu.

“Do... aku bisa jelasin semuanya...” Ayla meletakkan kepalanya di depan dada bidang sang suami, terdengar detak yang berirama indah di sana. Ia menyukainya. Semua. Semua yang ada di dalam tubuh pria ini termasuk detak jantungnya.

Lagi, Doyoung mendaratkan bibirnya di puncak kepala sang isteri. “Maafin aku, ya?”

“Do, kamu harus tau satu hal.” Ayla menengadahkan wajahnya lagi, mengecup rahang tegas itu sekali. “Di setiap embusan napasku, selalu ada nama kamu di dalamnya.”

Doyoung yang meletakkan dagunya di atas kepala sang isteri terkekeh. “Itu artinya kamu sayang aku, kan?”

“Banget. Dan itu selalu. Jangan lagi pergi ya, Do? Aku nggak mau mimpiku jadi kenyataan...” Ayla makin menenggelamkan dirinya di pelukan sang suami. Memeluknya dengan erat seolah ia takut kalau pria itu akan diambil oleh Semesta dalam waktu yang dekat.

“Emang mimpi apa?”

Ayla tidak tau harus menjawab apa. Ia terlalu takut untuk kembali mengingat. Jadi ia hanya diam sambil menggeleng.

“Aku pamit?”

Kalimat itu. Kalimat yang sama dengan apa yang ada di dalam mimpinya dan demi apapun kalau Ayla sama sekali tidak mau mendengarnya lagi.

Sedangkan Doyoung terkekeh di tempatnya. Ada-ada saja. Bahkan di dalam mimpipun pria itu bisa membuat si wanita menangis.

“Kata Mama dulu, kalau kamu mimpiin seseorang meninggal itu artinya umur orang itu akan panjang. Semoga ya, Ay? Biar aku dapetin kesempatan dari Semesta untuk bahagiain kamu.” katanya panjang sambil mengelus punggung sang isteri. Tangannyaa terangkat untuk mengambil ponsel Ayla. Pukul sepuluh malam. “Mau makan, nggak? Aku temenin yuk makan di luar. Kamu udah pingsan duabelas jam. Nanti sakit kalau nggak langsung diisi perutnya.”

Ayla menggeleng dan kembali.memgeratkan tangannya di pinggang sang suami. “Nanti dulu, biarin aku kaya gini dulu.”

“Tumben?”

“Aku... terlalu takut kehilangan kamu, Mas. Mimpi menyeramkan kaya gini kayanya sugesti karena kamu marah pas lihat aku di cafe sama Jaehyun... JAEHYUN GIMANA, MAS?” Matanya membulat kala ia mengingat nama itu.

Doyoung menundukkan kepalanya, “Jaehyun... belum sadar dan keadaannya jauh lebih memburuk dari pada kemarin, Ay. Tapi Jaemin udah di rumah sakit...”

“Mas, tolong jangan pernah cemburu sama Jaehyun, ya? Aku sayang kamu.”

Dia terkekeh, “aku sayang kamu. Aku sayang kamu. Aku sayang kamu.” lalu membawa wajah isterinya untuk di kecup bagian dahi, kedua pipi, dan terakhir bibir manis yang selalu ia sukai. “Nggak pakai lip tint tapi kok tetap manis?”

Si wanita hanya terkekeh, lalu kembali menarik wajah sang suami mendekat dan mendaratkan bibirnya di sana. Awalnya hanya kecupan lalu berubah jadi lumatan lembut tanpa tuntutan. Tangannya meremat kaus putih yang dipakai sang suami, sedangkan Doyoung menahan tengkuk sang isteri guna memperdalam lumayan itu.

Napasnya tersenggal, tangannya terangkat untuk menepuk dada suaminya— memberi kode untuk segera menyudahi.

“Ayla, kamu tau kalau aku sayang kamu, kan?” Doyoung tersenyum, jemarinya menyelipkan rambut sang isteri ke belakang daun telinganya lalu membisikkan sesuatu di sana. “Ciuman tadi salah satu bukti kalau aku tulus ke kamu bukan sekedar napsu semata.”

Ia tersenyum, “Semesta juga tau, Mas. Bahkan duniapun cemburu karena aku yang akhirnya mendapatkan kamu.”

“Aku sayang kamu, dan itu selalu.”

Ayla tertawa, “aku sayang kamu dan itu selalu.” ulangnya. Lalu kembali memejamkan mata kala Doyoung meraup wajahnya, menabrakkan bibir dengan miliknya.

Aku pamit.

Ayla membungkukkan tubuhnya untuk mengelus kayu dengan nama Stef di sana. Di tangannya sudah ada surat yang dikhususkan oleh Jaehyun untuk si pemilik nama di kayu.

“Hai, Stef? Aku datang lagi...” Alya mengusahakan sebuah senyum tipisnya. Menahan rasa sakit yang bergejolak di dalam dada.

Sejak semalam ia belum pergi menemui Doyoung maupun Jeno. Karena saat Ayla pergi ke ruang rawat inap Jeno sudah tidak ada siapapun. Kata petugas informasi mereka sudah diizinkan pulang sejak tigapuluh menit yang lalu. Dihubungi berkali-kalipun Doyoung tidak mengangkat panggilannya.

Ayla akhirnya memutuskan untuk menemani Jaehyun selama pria itu berada di unit darurat. Sakitnya bukan main setiap pandangannya beralih pada Jaehyun yang sekarang untuk bernapas saja harus ketergantungan dengan selang.

“Stef, aku ke sini mau menyampaikan kabar untuk kamu...” Ayla menyingkirkan beberapa daun yang berjatuhan di atas peristirahatan terakhir Stef. “Kabar buruk dan akan selalu buruk, Stef. Maafin aku... Harusnya aku cegah Jaehyun untuk menjadi penyelamat gadis kecil itu kemarin, kan?”

Wanita itu meremat tali tasnya, sekedar meredam rasa sakit di dalam dada. Lagi-lagi ia hidup dalam rasa bersalahnya. “Stef... kamu tau nggak mudah jadi aku, kan? Semesta seolah selalu memusuhi aku, Stef...”

Dulu, jauh sebelum mengenal Stef. Ada seorang wanita yang memang selalu menjadi satu kesalahpahaman dalam kehidupan bersama Jaehyun. Dinda, namanya.

“Aku... aku bingung harus kaya gimana, Stef...” Tidak lagi bisa menahan tangisnya. Ayla lebih memilih untuk duduk di atas tanah merah yang lumayan basah itu. Ia membiarkan gaun putih yang bahkan sebagiannya masih ada darah Jaehyun itu kembali kotor.

Dia tertawa, “nggak. Aku ke sini nggak mau sedih-sedihan. Ini... aku bacain surat dari Jaehyun untuk kamu, ya?” Tangannya membuka surat itu pelahan. Meletakkan amplop cokelatmya di atas pangkuan lalu menarik napas dan tersenyum kecil. “Stef, ini aku... Jaehyun.”

Lagi-lagi Ayla tertawa kecil saat nama pria yang sekarang sedang memperjuangkan hidup dan matinya di ruang darurat. “Stef... aku akan titip surat ini dua hari sebelum aku berangkat ke Texas. Negara kesukaanmu. Negara yang mau kamu tempati. Aku sama Aurel akan menetap di sana, Stef. Makasih, ya? Makasih untuk hari-hari yang kamu lakuin untuk aku. Makasih untuk segalanya...” Ayla menarik napasnya, seolah ikut merasakan bagaimana pedihnya Jaehyun kala menuliskan suratnya.

“Stef... aku nggak tau kenapa... Tapi sampai sekarangpun usahaku buat sayang sama kamu sia-sia... Aku bahkan...” netra Ayla kembali mengarah pada papan kayu dengan nama Stef. “Aku bahkan masih menyayangi Ayla...”

“Stef makasih untuk enam tahun yang sia-sia... Aku pamit, ya?”

Ayla menekan bagian jantungnya yang terasa lebih menyakitkan dari apapun. Ia jadi merasa bersalah kepada Stef. Hidup wanita itu jadi sia-sia selama ini karenanya. Demi Tuhan, Stef... Ayla juga tidak tau kenapa semuanya jadi serumit ini.

Kalau saja dulu Jaehyun tidak mengucapkan kalimat perceraian dengan mudahnya mungkin Ayla dan Jaehyun hanya memiliki satu musuh— mamanya Jaehyun. Ayla tidak perlu membohongi perasaannya sendiri untuk Doyoung pun Jaehyun yang mati-matian menahan rasanya.

Kalau saja dulu Jaehyun tidak menerima pernikahannya dengan Stef, mungkin saja sekarang keadaannya tidak seperti ini.

“Ay...”

Ayla tersentak kala ada seseorang yang menepuk punggungnya sekali. Netra pekat itu menatap dalam si pemilik netra cokelat tua di hadapannya. Ayla segera beralih memeluk daksa berkemeja putih, menenggelamkan dirinya di dalam dada bidang itu.

“Do... aku bisa jelasin semuanya...” Ayla menengadah untuk melihat wajah Doyoung yang sejujurnya lebih berseri ketimbang biasanya. Pria itu juga tampak berbeda dengan rambut yang sedikit berantakan. Pakaiannya putih menyeluruh.

Doyoung menggeleng, “nggak ada yang perlu kamu jelasin, Ayla... Aku udah ketemu Jaehyun dan dia yang jelasin...”

Si wanita mengerinyit, menjauhkan daksanya dari milik Doyoung yang sedang tersenyum. “Jaehyun?”

“Jaehyun akan kembali, Ayla... Nggak akan ada lagi yang hilang dan kamu nggak akan lagi merasa kosong.”

Demi apapun, kenapa Tuhan tidak pernah memberikan celah untuk Doyoung di hatinya Ayla? Kenapa Tuhan membiarkan pria manis ini selalu mengharapkan hati si wanita seolah tidak ada yang mencintainya?

Kenapa Tuhan membiarkan Doyoung hidup dalam teka-teki perasaan seorang Ayla?

“Kamu mau minum? Aku beli dulu, ya?” Doyoung menarik tangan Ayla untuk duduk di bawah pohon, masih di sekitar pemakaman. Lalu ia tersenyum kecil dan mendekatkan bibirnya ke telinga si wanita. “Aku sayang kamu, dan itu selalu.”

“Aku sayang kamu, dan itu selalu.” Ulang Ayla sambil tersenyum kecil.

Doyoung menangguk, berjalan mundur sebelum akhirnya berteriak agak keras, “aku pamit.”