Aku pamit.
Ayla membungkukkan tubuhnya untuk mengelus kayu dengan nama Stef di sana. Di tangannya sudah ada surat yang dikhususkan oleh Jaehyun untuk si pemilik nama di kayu.
“Hai, Stef? Aku datang lagi...” Alya mengusahakan sebuah senyum tipisnya. Menahan rasa sakit yang bergejolak di dalam dada.
Sejak semalam ia belum pergi menemui Doyoung maupun Jeno. Karena saat Ayla pergi ke ruang rawat inap Jeno sudah tidak ada siapapun. Kata petugas informasi mereka sudah diizinkan pulang sejak tigapuluh menit yang lalu. Dihubungi berkali-kalipun Doyoung tidak mengangkat panggilannya.
Ayla akhirnya memutuskan untuk menemani Jaehyun selama pria itu berada di unit darurat. Sakitnya bukan main setiap pandangannya beralih pada Jaehyun yang sekarang untuk bernapas saja harus ketergantungan dengan selang.
“Stef, aku ke sini mau menyampaikan kabar untuk kamu...” Ayla menyingkirkan beberapa daun yang berjatuhan di atas peristirahatan terakhir Stef. “Kabar buruk dan akan selalu buruk, Stef. Maafin aku... Harusnya aku cegah Jaehyun untuk menjadi penyelamat gadis kecil itu kemarin, kan?”
Wanita itu meremat tali tasnya, sekedar meredam rasa sakit di dalam dada. Lagi-lagi ia hidup dalam rasa bersalahnya. “Stef... kamu tau nggak mudah jadi aku, kan? Semesta seolah selalu memusuhi aku, Stef...”
Dulu, jauh sebelum mengenal Stef. Ada seorang wanita yang memang selalu menjadi satu kesalahpahaman dalam kehidupan bersama Jaehyun. Dinda, namanya.
“Aku... aku bingung harus kaya gimana, Stef...” Tidak lagi bisa menahan tangisnya. Ayla lebih memilih untuk duduk di atas tanah merah yang lumayan basah itu. Ia membiarkan gaun putih yang bahkan sebagiannya masih ada darah Jaehyun itu kembali kotor.
Dia tertawa, “nggak. Aku ke sini nggak mau sedih-sedihan. Ini... aku bacain surat dari Jaehyun untuk kamu, ya?” Tangannya membuka surat itu pelahan. Meletakkan amplop cokelatmya di atas pangkuan lalu menarik napas dan tersenyum kecil. “Stef, ini aku... Jaehyun.”
Lagi-lagi Ayla tertawa kecil saat nama pria yang sekarang sedang memperjuangkan hidup dan matinya di ruang darurat. “Stef... aku akan titip surat ini dua hari sebelum aku berangkat ke Texas. Negara kesukaanmu. Negara yang mau kamu tempati. Aku sama Aurel akan menetap di sana, Stef. Makasih, ya? Makasih untuk hari-hari yang kamu lakuin untuk aku. Makasih untuk segalanya...” Ayla menarik napasnya, seolah ikut merasakan bagaimana pedihnya Jaehyun kala menuliskan suratnya.
“Stef... aku nggak tau kenapa... Tapi sampai sekarangpun usahaku buat sayang sama kamu sia-sia... Aku bahkan...” netra Ayla kembali mengarah pada papan kayu dengan nama Stef. “Aku bahkan masih menyayangi Ayla...”
“Stef makasih untuk enam tahun yang sia-sia... Aku pamit, ya?”
Ayla menekan bagian jantungnya yang terasa lebih menyakitkan dari apapun. Ia jadi merasa bersalah kepada Stef. Hidup wanita itu jadi sia-sia selama ini karenanya. Demi Tuhan, Stef... Ayla juga tidak tau kenapa semuanya jadi serumit ini.
Kalau saja dulu Jaehyun tidak mengucapkan kalimat perceraian dengan mudahnya mungkin Ayla dan Jaehyun hanya memiliki satu musuh— mamanya Jaehyun. Ayla tidak perlu membohongi perasaannya sendiri untuk Doyoung pun Jaehyun yang mati-matian menahan rasanya.
Kalau saja dulu Jaehyun tidak menerima pernikahannya dengan Stef, mungkin saja sekarang keadaannya tidak seperti ini.
“Ay...”
Ayla tersentak kala ada seseorang yang menepuk punggungnya sekali. Netra pekat itu menatap dalam si pemilik netra cokelat tua di hadapannya. Ayla segera beralih memeluk daksa berkemeja putih, menenggelamkan dirinya di dalam dada bidang itu.
“Do... aku bisa jelasin semuanya...” Ayla menengadah untuk melihat wajah Doyoung yang sejujurnya lebih berseri ketimbang biasanya. Pria itu juga tampak berbeda dengan rambut yang sedikit berantakan. Pakaiannya putih menyeluruh.
Doyoung menggeleng, “nggak ada yang perlu kamu jelasin, Ayla... Aku udah ketemu Jaehyun dan dia yang jelasin...”
Si wanita mengerinyit, menjauhkan daksanya dari milik Doyoung yang sedang tersenyum. “Jaehyun?”
“Jaehyun akan kembali, Ayla... Nggak akan ada lagi yang hilang dan kamu nggak akan lagi merasa kosong.”
Demi apapun, kenapa Tuhan tidak pernah memberikan celah untuk Doyoung di hatinya Ayla? Kenapa Tuhan membiarkan pria manis ini selalu mengharapkan hati si wanita seolah tidak ada yang mencintainya?
Kenapa Tuhan membiarkan Doyoung hidup dalam teka-teki perasaan seorang Ayla?
“Kamu mau minum? Aku beli dulu, ya?” Doyoung menarik tangan Ayla untuk duduk di bawah pohon, masih di sekitar pemakaman. Lalu ia tersenyum kecil dan mendekatkan bibirnya ke telinga si wanita. “Aku sayang kamu, dan itu selalu.”
“Aku sayang kamu, dan itu selalu.” Ulang Ayla sambil tersenyum kecil.
Doyoung menangguk, berjalan mundur sebelum akhirnya berteriak agak keras, “aku pamit.”