Aku kehilangan aku.

Sudah tujuh hari Sea menetap di rumah Mamanya. Dan sudah tujuh hari pula keadaannya lebih membaik. Mars tidak lagi mementingkan Anne yang sejauh ini keadaannya sudah lebih stabil.

Hari ini tepat hari ke delapan setelah kepergian Mamanya Sea, dan ini waktunya Mars membawa wanitanya kembali ke rumah mereka. Ah, Mars bahkan sudah membeli apartment baru yang jauh lebih rapi dan besar dari pada rumah yang mereka sewa kemarin. Pria itu bahkan sudah membeli mobil fortuner hitam untuknya juga sang isteri. Walaupun begitu, terkadang Mars lebih memilih untuk naik kendaaan roda dua yang sudah lama menemaninya ke manapun.

“Ini kita mau ke tempat siapa, Mars?” Sea mengerinyit kebingungan saat Mars mengajaknya untuk masuk ke dalam salah-satu gedung dan masuk ke dalam lift.

Mars tersenyum, jemarinya menyisir surai legam milik sang isteri. “Pulang, sayang...”

Setelah kejadian malam itu, Sea marah sama Mars. Marah sekali. Tapi setelah mendengarkan beberapa kalimat yang diutarakan Arnav, ia menjadi luluh dan memberi kesempatan kepada pria itu.

Tentang wartawan di malam selanjutnya, semuanya jelas. Mamanya Sea terlibat dalam penggelapan dana perusahaan di mana tempatnya bekerja. Semua itu diungkap oleh pemilik perusahaan di artikel resminya sehingga membuat beberapa puluh wartawan berbondong datang ke rumah Mamanya Sea. Mereka semua tidak peduli kalau keadaannya sedang berduka. Media memang semenakutkan itu terkadang.

“Mars... sekarang aku nggak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi di dunia...” Sea mendudukkan dirinya di ruang tamu. Menyandarkan daksa yang lelah itu di sofa.

Mars yang sedang membuka jaket hitam dan topi hitamnya tersenyum kecil. Langkahnya membawa pria itu untuk duduk di samping isterinya. “Aku di sini untuk menjadi apa-apa dan siapa-siapa kamu, Sea... jangan takut, ya?”

Sea mengangguk kemudian tersenyum kecil. Ia berjalan untuk menyusuri setiap sudut unit apartmeny barunya. Tidak terlalu besar, tapi lebih dari cukup. Ada dua kamar tidur yang dilengkapi dengan kamar mandi dan dressroom di dalamnya— persis seperti kamar Sea di rumah Mamanya.

“Suka?” Mars melingkarkan tangannya di pinggang sang isteri, lalu menyandarkam dagunya di bahu wanita itu.

“Mars... jangan gitu, geli..” Sea menumpukan tangannya pada besi putih di balkon. Matanya menatap ke arah langit yang berhambur banyak bintang.

Bukannya melepaskan pelukan itu, si pria justru makin mengeratkan pelukannya seolah melindungi Sea dari embusan angin malam. Sesekali ia juga mengecup rahang wanitanya.

“Mars... aku mau minum kopi...” Sea melepaskan tangan Mars perlahan. Ia memutar balik tubuhnya untuk menghadap ke arah pria itu, lalu mengalungkan tangannya sediri di leher Mars.

Suaminya menggeleng sambil memejamkan mata, menyatukan dahi dengan miliknya. “Kamu udah seminggu ini tidur nggak nyenyak sayang... Jangan siksa diri sendiri, ya?”

“Buka matanya, Mars...” Sea memundurkan wajah, sehingga dahi juga hidungnya tidak lagi menempel pada Mars.

Si pria menggeleng, “nggak. Nanti aku malah nurutin permintaan kamu kalau buka mata.”

Sea tertawa. Niatnya memang ingin membujuk Mars agar diizinkan untuk membuat kopi. Tapi setelah melihat lingkar hitam di mata suaminya, Sea jadi kepikiran satu hal.

Tentang Anne.

Jauh sebelum mengenal Mars, ia sudah lebih dulu mengenal Anne. Ketika Sea duduk di kursi kelas tiga menengah pertama, dan di saat itulah Anne— si gadis periang masuk ke sekolah yang sama dengan Sea menjadi murid kelas satu. Sejak saat itu keduanya dekat— terlebih saat sama sama tau kalau ternyata rumah mereka berhadapan.

Sea bukan tipikal gadis yang sering menongkrong di luar rumah, karena Mama selalu melarangnya untuk bergaul dengan anak-anak nakal. Jadi, Sea memilih untuk menengelamkan diri di dalam kamarnya sembari melakukan apa-apa yang bisa ia lakukan.

Mendengarkan musik, membaca buku atau menonton serial drama mingguan. Kalau sudah merasa bosan di rumah, ia akan meminta izin untuk pergi kerja kelompok kepada Mamanya— padahal ia pergi bermain bersama sang kekasih juga temannya yang lain.

“Kamu kenapa selalu larang aku untuk pergi ke rumah Mama sih, Mars?”

Kalimat tanya Sea membuat pria itu seketika membula kelopaknya, menatap manik mata milik Sea dalam. Ia bingung bagaimana harus menjelaskannya kepada si gadis manis kesayangannya.

“Aku...”

Sea memokuskan dirinya untuk kalimat Mars. Tidak peduli angin yang semakin malam semakin dingin seolah menusuk ke tulangnya. Sedangkan pria itu kembali memejam, menetralkan napasnya agar tidak berembus terlalu cepat.

“Aku berusaha buat lindungin kamu, Sea...” katanya dengan nada terahan. Mars menahan emosi yang bergejolak di dalam dada kala ia mengingat kalimat yang diucapkan Mamanya Sea waktu beliau meminta Mars untuk menjaga puteri satu-satunya itu.

Sea melepaskan tangannya yang melingkar di leher prianya. Matanya menatap dalam wajah Mars yang kian lama kian memerah seperti ada yang disembunyikan di balik kelopak yang tertutup itu. “Lindungi?”

“Perusahaan Papanya Anne berusaha untuk jatuhin perusahaan Mama kamu. Mereka saingan sejak tiga tahun yang lalu perusahaan Mama kamu meningkat pesat, Sea.” Ia beribu-ribu kali meminta maaf dalam hatinya kepada mendiang Mamanya Sea karena sudah memberitau hal ini kepada puterinya.

“Mama punya perusahaan?” Sea mengerinyit kebingunan. “Eh—!” Ia membulat kala Mars dengan tiba-tiba membawanya dalam gendongan untuk masuk ke dalam kamar. Cuaca malam ini sedang tidak baik walau banyak bintang yang berhamburan di sana.

Mars meletakkan tubuh gadis manisnya dengan hati-hati di atas ranjang, lalu ia duduk di bagian tepinya. Sudut bibirnya terangkat penuh sedetik setelah ia mematikan lampu ruangan dan mengecup puncak kepala isterinya.

“Mars, mau ke mana?” Sea menarik tangan suaminya kala pria itu bangun dari posisinya, hendak pergi meninggalkan.

Mars menoleh, “aku mandi dulu sebentar.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mars.” Sea bangun dari posisinya menjadi setengah duduk. Banyak pertanyaan yang harus ia utarakan kepada suaminya itu.

Mars mengangguk, mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri. Ia ikut menenggelamkan dirinya di bawah selimut tebal bersama Sea. Tangannya terangkat untuk mengikis jaraknya dengan sang isteri.

“Aku kasih tau karena besok aku udah harus berangkat ke Toronto.” Mars menyelipkan rambut wanitanya ke belakang daun telinga. “Kamu jaga diri selama nggak ada aku, ya?”

Sea mengangguk pasti. “Iya, Mars...”

“Begini, Sea...” Mars menarik napasnya, tangannya menggenggam tangan milik Sea di bawah selimut tebal itu— seolah bersiap untuk menceritakan hal berat yang selama ini menjadi tanggungannya. Mars sudah percaya untuk menceritakan semuanya pada Sea karena bagaimanapun, ia adalah isterinya. Kesayangannya.

“Abigail's Corp itu punya Mama kamu—”

“Perusahaan penghasil tas terbesar di asia?” Matanya membulat lalu menatap Mars tidak percaya.

Pria itu menangguk, “iya. Itu punya Mama kamu. Mama sengaja jadi salah-satu seketaris di anak perusahaan ANTR CORP untuk memata-matai rencana Papanya Anne.”

“Tapi... Pemilik Abigail's bukannya orang Jepang?” Sea menerinyit, masih mencerna seluruh kalimat Mars barusan. Ia cukup tidak percaya juga sebenarnya.

Mars tertawa kecil, “papamu orang mana?”

“Jep— loh, iya juga...”

Ia menggigit pipi wanitanya gemas. Semakin mengikis jarak di antara keduanya. Bahkan kaki kiri milik Mars kini sudah mengapit tubuh Sea.

“Itu namanya tak-tik, Sea.” Mars memejamkan matanya untuk mengingat-ingat kejadian tiga tahun yang lalu. “Kamu pasti nanya, kenapa aku malah kerja di perusahaan Papanya Anne, kan?”

Sea mengangguk lugu.

“Karena ANTR CORP itu perusahaan Papaku yang diambil secara paksa sama Papanya Anne.” Mars masih memejamkan mata seolah menahan air mataya untuk turun dan membasahi pipi. Mars ingat betul bagaimana orangtuanya mendirikan ANTR CORP dengan susah payah lalu ditipu habis oleh Papanya Anne yang memang licik.

Hal itu membuat kedua orangtua Mars meninggal karena frustasi. Mereka tidak lagi punya harta untuk membiayai Mars juga kakak laki-lakinya.

“Mars...” Sea menarik Mars untuk masuk ke dalam pelukan seolah untuk menyalurkan ketenangannya.

“Papa dan Mamaku meninggal karena orang-orang yang gila harta itu, Sea...” Ia menarik napasnya, menenggelamkan wajah di ceruk leher sang isteri yang sekarang sibuk mengelus punggung Mars. “Sampai kapanpun aku nggak akan bikin ANTR bangkrut... aku cuma mau perusahaan itu kembali ke tangan keluargaku.”

Sea mengangguk mengerti. Walaupun masih terbilang dini, Sea tau bagaimana sulitnya membangun perusahaan. Mempromosikan produk, meyakinkan konsumen dan menjalin hubungan dengan kolega. “Jadi itu sebabnya kenapa kamu selalu ngelakuin apapun yang diminta sama Papanya Anne?”

Ia mengangguk lalu menangis di pelukan wanita yang berhasil ia pinang satu bulan yang lalu. “Bukan semata-mata karna harta, Sea... Tapi itu satu-satunya yang ditinggali orangtuaku...”

Tangan Sea mengelus pelan punggung pria di pelukannya, lalu mengecup kedua pipi Mars penuh kasih. “Jangan nangis...”

“Aku yakin, kecelakaan Mama kamu juga bukan hal yang murni, Sea.” Mars menengadahkan wajahnya, menatap isterinya dengan mata yang masih memerah. “Dunia bisnis yang besar memang semenyeramkan itu, Sea...”

Sea mengangguk, makin mengeratkan pelukannya dengan Mars. Ia mulai menyukai semua yang ada di dalam diri Mars. Mulai dari sifatnya sampai dengan ketulusan pria itu.

“Nasib dua perusahaan besar yang saling berlomba sekarang ada di tangan aku, Sea.” Ia menghela napasnya, “ANTR dan Abigail's.”