Kesayangan atau gadis kecilnya.
Sea meletakkan converse putihnya di rak sepatu dekat pintu rumah. Netranya tertuju pada pria yang sudah menutup matanya di atas sofa. Tanpa sadar, kedua sudut bibir si gadis terangkat sedikit. Buru-buru ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum, karena tenggorokannya terasa kering.
“Bangunin Mars nggak, ya?” Ia meneguk minumnya setelah meletakkan beberapa makanan ringan yang dibelikan oleh Arnav di dalam kulkas. “Nggak usah kali, ya? Kasian juga, abis lembur terus besok harus berangkat pagi...”
Langkahnya membawa gadis itu untuk kembali menuju ruang tamu, lagi-lagi sudut bibirnya terangkat. Ia duduk di atas karpet lalu menumpukan tubuhnya di atas sofa. “Mars... maafin aku ya...”
Si pria melenguh seolah menjawab kalimat isterinya, tapi tidak membuka netra. Hal itu membuat Sea terkekeh, kembali sadar akan kalimat Mamanya tempo hari. “Sea, Mars itu pria yang peka walau dalam keadaan tidur sekalipun.”
Sea menggelengkan kepalanya, ia mengabsen seluruh bagian wajah Mars dengan jemari kanannya. Perlahan, ia menyibak rambut sang suami yang sudah hampir menutupi mata. “Beberapa orang yang cuma liat kamu sekali mungkin udah bisa jatuh cinta sama kamu, Mars... Tapi aku nggak tau kenapa rasanya sulit bahkan untuk merakit perasaan buat kamu sekalipun.”
Mars mungkin salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna kalau dilihat dari fisiknya— tapi Sea belum mengenal Mars lebih jauh. Mungkin saja fisik sempurna tapi hatinya sama sekali tidak. Atau bahkan mungkin keduanya sama.
Sama-sama sempurna.
Ia menghela napasnya, “jangan capek menunggu ya, Mars...”
“Eunghh...” Mars mendesis kala ada jemari yang membelai wajahnya lembut membuat ia terusik dari lelapnya. “Sea? udah pulang?”
Si gadis tersenyum manis, ia menganggukkan kepalanya. Tanpa sadar, bulir air mata yang tidak diperkirakan mengalir begitu saja. Ia merasa bersalah, sungguh.
“Hey— kenapa?” Mars dengan gesit mengubah posisinya menjadi duduk di atas sofa dan Sea masih setia di atas karpet. “Sini,” ia membawa isterinya untuk duduk di samping. Jemarinya menyisir rambut sebahu itu, sesekali menepuk kepalanya si gadis penuh kasih.
“Mars... maafin aku...” katanya.
Satu jam yang lalu padahal Sea baru saja tertawa bersama yang lain hanya karena membicarakan hal-hal konyol. Tapi detik ini ia menangis sejadi-jadinya. Sepertinya mood si gadis manis masih diatur oleh periode datang bulanya.
“Iya, iya. Kan aku udah bilang kalau nggak apa-apa...” Mars tertawa kecil. “Yaudah ayo bobo. Udah malem nih.”
Sea mengangguk, berjalan ke kamar mengikuti langkah Mars dari belakang. Sesekali ia menarik napasnya yang sedikit tersumbat karena menangis. Setelah sampai kamar, Sea langsung menengglamkan diri di bawah selimut sambil melanjutkan tangisnya— ia bahkan mengerang dengan tertahan di sana. Tentu saja hal itu membuat Mars merasa bersalah.
“Udah dong jangan nangis. Aku nggak apa-apa jadi ayahnya bulan depan, tahun depan atau kapanpun asal sama kamu selamanya.” katanya sambil menyelipkan anak rambut si gadis ke belakang daun telinga.
Sea mengangguk, lalu meraih daksa Mars untuk ia peluk.
— drrt.
Getaran dari ponsel Mars membuat pria itu sedikit menjauhkan daksanya dari Sea— bersiap menolak telepon dari seseorang tidak tau diri yang mengganggu di malam hari.
Tidak sopan. Padahal sudah hampir pukul sepuluh. Tapi ia masih berusaha mengulang-ulang panggilannya.
“Angkat aja, Mars.” kata Sea saat netranya mendapati alis Mars yang saling terpaut.
Pria itu mengangguk, mengeser tombol hijau di ponselnya. Suara berat seorang pria berumur empatpuluh tahun ke atas langsung memenuhi indera pendengaran Mars.
“Iya, iya Om. Jangan panik, Mars ke sana..” katanya.
Sea menatap Mars khawatir seolah ingin tau apa yang menjadi topik pembicaraan prianya dengan seseorang di seberang sana. Tidak memperdulikan Sea, pria itu malah sibuk memakai kacamatanya kembali, mengambil kunci motor dan memakai hoodienya dengan cepat.
“Mars...”
Mars menoleh, lalu sedikit berlari ke arah Sea. “Jangan tungguin aku pulanh, Sea. Tapi aku pasti akan pulang.”
“Kamu mau ke mana, Mars?”
Ia tersenyum tipis. “Anne berantem sama Mamanya dan berusaha membunuh Mamanya pakai pisau dapur. Anne butuh aku, Sea...”
Hatinya mencelos. Sea tersenyum tipis lalu mengangguk seolah mengizinkan Mars untuk memenuhi panggilan yang tadi mungkin dari ayahnya gadis kecil itu.
Mars mengecup puncak kepala si gadis kesayangannya. “Aku akan pulang malam ini. Tapi jangan tungguin aku, ya? Kamu juga harus istirahat, Sea.”
Si gadis mengangguk singkat, “Iya, Mars.”