Selamat tinggal.
Ayla menatap Doyoung yang sedang berdiri sambil mengelus rambut sepinggang Raina. Senyum tulus itu memancar dengan indah. Bolamata kecokelatannya bersinar terang. Kemeja bergaris menambah ketampanan yang ada di dalam dirinya.
“Boleh, sayang...” katanya seolah tau apa yang ada di hati Ayla.
Satu bulan yang lalu Jaehyun terbangun dari masa kritisnya. Seolah keajaiban, setelah kalimat, “aku pernah sangat mencintai kamu.” dilontarkan dari bibir kecilnya Ayla, pria iti terbangun perlahan. Bahkan sampai detik ini Ayla masih ingat kalau jemari Jaehyun yang lebih dulu bergerak ketimbang kelopak matanya.
“Adek, ayo!” Dia meraih tangan sang puteri yang masih menatap nanar sekitar. “Mark, firma Papa serahin ke kamu. Kita semua akan kembali ke Jakarta.”
Anak itu tertawa, “hati-hati di Texas. Semoga bisa mengobati luka di Indonesia.”
“Jaehyun... sebentar...” Ayla menahan pergerakan Jaehyun yang membuat pria itu kembali menurunkan Aurel dari gendongannya. Netra Jaehyun menatap Doyoung yang berdiri beberapa langkah di belakang Ayla— seolah meminta izin untuk berbicara dengan isterinya. “Jaehyun... makasih. Makasih buat selama ini.”
Jaehyun melepaskan kopernya, lalu tersenyum menatap wanita di hadapan. “Makasih juga udah ngajarin aku satu hal ya, Ay?”
Melihat Ayla yang hanya mengerinyit, Jaehyun menangkat tangannya untuk menepuk pundak wanita itu dua kali.
“Bertahan kadang lebih baik ketimbang menemukan yang baru. Karena yang baru, belum tentu sesempurna yang dipertahankan.” katanya.
Ayla berbalik, mengalihkan atensinya kepada Doyoung sebentar. Lalu kembali menatap Jaehyun yang sekarang menyisir surai cokelat tuanya dengan jemari. “Semua itu tergantung bagaimana caramu menemukannya, Jaehyun.”
Dia tersenyum, “bahagia terus, ya.” Netra Jaehyun kembali menatap Doyoung yang masih setia dengan senyum manisnya. Pria itu memberi hormat seolah memenuhi permintaan Jaehyun untuk memberikan seluruh dunia untuk Ayla. “Saya titip Ayla sama kamu, Do.”
Doyoung maju beberapa langkah untuk menyetarakan posisinya dengan Ayla— meninggalkan Raina bersama dengan Jeno di belakang sana. “Kamu juga jangan lupa bahagia, Jaehyun. Saya titip Jaemin sama Raina, ya...”
Jaehyun menangguk mantap. Ia beralih ke arah Jaemin yang sudah lengkap dengan jaket jeansnya. “Aku ajak Jaemin dulu ya, Ay? Nanti kalau anaknya nggak betah aku antar lagi ke Indo.”
Si wanita terkekeh, tangannya terangkat untuk mengelus surai Jaemin. Ia mengecup pipi pemuda yang bahkan sekarang tingginya sudah melebihinya. “Jaemin jagain dadah sama Aurel, ya? Jangan nakal dan bikin Dadah capek karena urus kamu.”
Dia terkekeh lalu mengangguk.
“Cie yang LDR.” Ledek Jeno dari arah belakang. Ia tertawa sampai matanya membentuk sabit. Di samping pria itu sudah ada gadis yang satu minggu lalu resmi menjadi kekasihnya— Talita.
Jaemin mengerucutkan bibirnya, meraih tangan Sabil untuk dikecup. “Aku berangkat, ya? Nanti aku pulang ke Indo ajak Dadah buat nikahin kamu. Janji!”
Semuanya tertawa, “S1 aja belum lulus kamu. Mau dikasih makan apa itu Sabilnya?”
“Makan badak!” jawab Jaemin asal.
Tidak terasa sudah pukul empat sore. Itu artinya lima belas menit lagi mereka harus meninggalkan tanah lahir dengan senyum dan masih mengusahakan sebuah kata bahagia.
“Sampai ketemu lagi, Bunda!” Jaemin melambaikan tangannya sambil berjalan mengikuti Jaehyun sampai tubuh mereka hilang ditelan tikungan
Ayla menenggelamkan dirinya ke tubuh Doyoung yang membuat pria itu mengecup puncak bagian kepalanya berkali-kali. “Jangan nangis, Jaemin cuma mau ke Texas. Bulan depan kalau aku bisa ambil cuti kita liburan ke sana, ya?”
“Pa! Jeno bulan depan ujian semesteran loh?”
Doyoung tertawa sambil menjulurkan lidah, “yaudah kamu sama adek di rumah. Papa dan Bunda kasih adek untuk Rain.”
Si kecil tertawa, “Asik! Raina punya dedek, dong?”
Semuanya harus berakhir walau tidak yang benar-benar berakhir— termasuk cerita ini. Terimakasih, semuanya.
— END —