Dia dan kendalinya.

NOTE : aku sudah kasih tag ya di atasnya. BIJAK dalam memilih bacaan, please? kalau kerasa ini terlalu jauh, tolong kasih tau aku biar aku hapus partnya dan ganti dengan yang baru. please. please. please.

Entah sudah berapa ratus kali Sea menghela napasnya hari ini. Rasanya semua terlalu tiba-tiba termasuk kepergian Mamanya. Gadis itu merasa bersalah kalau mengingat masa kecil sampai sebesar ini yang sama sekali belum bisa membanggakan sang Mama.

“Ci, minum dulu.” Arnav meletakkan segelas air hangat di hadapan gadis yang sedari dua jam lalu diam saja.

Pemakaman Mama Sea berjalan tanpa hambatan. Banyak sekali yang datang mulai dari rekan bisnis sampai dengan teman-teman arisan. Dan yang membuat Sea kaget bukan main adalah fakta kalau Mamanya bukan meninggal karena penyakit yang diindapnya, melainkan karena kecelakaan di pukul dua dini hari.

Polisi sedang menyelidiki kasus itu lebih lanjut atas permintaan Arnav— tentu saja. Pria itu memang kurang terima kalau tetangganya itu bisa dengan tiba-tiba menabrak pembatas jalan.

Ada beberapa kemungkinan yang sedari tadi muncul di benak Arnav. Mabuk, rem blong atau berkendara ketika mengantuk.

“Lo belom makan dari siang, Ci. Makan dulu, ayo!” Arnav menyodorkan satu sendok nasi goreng yang baru saja dibelikan oleh Jeffrian untuk karyawan-nya itu.

Sea menoleh, mendapati pancaran mata Arnav dengan segala kekhawatiran di dalam diri pria itu. “Makasih udah selalu ada buat gue ya, Nav...”

Arnav terkekeh, ia meletakkan piring nasi goreng itu di sisi kirinya. Dengan cepat ia membawa Sea ke dalam pelukan. Rasanya beda karena pria itu terakhir memeluk Sea sekitar tujuh tahun yang lalu saat keduanya masih di sekolah menengah pertama. Waktu itu Sea menangis karena kehilangan Ayahnya yang mengindap penyakit jantung.

“Lo jangan terus-terusan terpuruk kaya hari ini ya, Ci. Gue, Kak Jeffrian, Lucky yang walaupun udah mau nikah atau bahkan Rendy, kita semua di sini buat lo, Ci...” Arnav menepuk punggung Sea pelan berkali-kali. Dalam hatinya menangisi kepergian Mamanya Sea juga.

Bukan, bukan cuma karena kepergian Mamanya Sea, tapi menangisi nasib Sea yang hanya anak tunggal. Jadi Sea akan hidup bersama Mars saja. Lagi, Arnav belum sepenuhnya percaya kalau pria itu bisa menjaga Sea lebih baik darinya.

“Makan dulu, ya?” Arnav kembali mengambil nasi goreng dengan posisi Sea masih di pelukannya. “Kak Jeff sama Rendy lagi makan di depan. Lo mau makan di kamar atau ikut ke depan?”

“Lo mau makan juga, ya?” Tanya gadis itu sambil menjauhkan dirinya dari Arnav. Tangannya terangkat untuk mengambil kotak tisu di samping ponselnya. Netra itu sempat mendapati layar ponsel yang menyala dan ada beberapa panggilan masjk dari suaminya.

Arnav menyodorkan satu sendok nasi goreng ke hadapan si gadis, “gue makannya kalo lo udah kenyang aja. Gampang.”

Ia menangguk mengerti, melahap nasi goreng yang disodorkan oleh Arnav sesekali.

“Mars belum balas pesan lo?”

Sea menoleh, “udah kayanya. Tapi gue masih mau tenangin diri dulu dan lagi nggak mau ketemu dia dulu, Nav. Gue... takut.”

Pria itu mengangguk mengerti lalu kembali menyuapi makanan untuk sahabatnya itu. Kalau ada yang berbicara tentang kalimat, “tidak ada yang murni antara persahabatan cewek dan cowok. Salah satunya pasti menyimpan rasa.” Iya. Arnav membenarkan kalimat itu. Ia bahkan pernah menangis dan mengrung diri di kamar satu minggu sebelum pernikahan Sea dan Mars.

“Jangan takut, ya? Gue sama Dery berencana buat nginep di sini, jagain lo dari Mars.” katanya.

Sea menatap Arnav lamat, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis. Harusnya dulu Sea memilih untuk menikah denga Arnav saja kalau begini kejadiannya. Tumbuh bersama pria itu selama sembilanbelas tahun membuat Sea selalu merasa aman bersamanya. Walaupun Arnav berbeda dua tahun dengannya itu tidak apa. Hanya dua tahun— bukannya Mars juga sama?

“Sea!”

Keduanya terperanjat, sama-sama membulatkan bolamata saat Mars dengan kasar membuka pintu kamar Sea di rumah Mamanya. Pria itu memandang Sea dengan tatapan yang sama sekali tidak bisa diartikan.

Bisa jadi karena marah atau mungkin menyesal—?

“Udah?” tanya Mars seraya berjalan mendekat.

Sea mengerinyit, “udah?”

“Selingkuhnya?”

Arnav membola setelah kata itu keluar dari mulut Mars. Benar-benar tidak menyangka dan masih sempat-sempatnya pria itu cemburu kepadanya saat ia sudah mendapatkan Sea— apalagi isterinya masih dalam keadaan berduka.

Arnav langsung menghempaskan piring di tangannya dengan kasar sampai tidak lagi berbentuk— yang tentu saja membuat Jeffrian, Dery, Lucky, juga Rendy langsung berbodong mendatangi.

“Kenapa ini— hey Arnav!” Jeffrian menarik kerah Arnav saat pria itu menarik kerah hoodie milik Mars dan bersiap untuk melayangkan pukulannya. “Arnav sadar lo bukan orang yang kasar!”

Arnav melepaskan cengkramannya di hoodie Mars lalu mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.

“Ini sebenernya kenapa, sih?” Itu suara Dion selaku sahabat Jeffrian yang tadi sore dengan suka rela membantu mereka memakamkan Mamanya Sea— bahkan ia juga ikut membantu untuk acara tahlilan.

“Saya mau ngomong sama Sea sebentar, bisa?” tanya Mars tidak memedulikan kalimat tanya Dion yang sudah memasang wajah kesalnya di depan pintu.

“Gue temenin.” Kali ini Rendy yang memiliki status sebagai mantan kekasihnya Sea selama sekolah menengah atas yang mengeluarkan suara.

Mars melirik Sea sekilas, “Sea, boleh saya minta waktunya berdua? empat mata?”

Sea mengangguk lalu meminta yang lain untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Mars di ruang persegi itu. Beberapa kali Sea perlu memastikan bahwa ia akan baik-baik saja karena Mars tidak mungkin kasar— mengingat perlakuan pria itu sekali-kali.

“Lempar apapun ke pintu biar kita semua denger kalo lo lagi ngerasa butuh pertolongan, okay?” Deryan memberikan satu vas bunga kecil yanh ia dapati di ruang tamu kepada Sea.

Gadis itu terkekeh karena perlakuan Deryan yang memang tidak akan pernah ada habisnya. “Iya, iya, Dery.”

Setelahnya yang lain langsung kembali ke ruang tamu untuk membicarakan beberapa hal mengenai tahlilan di hari esok dan membagi tugas siapa yang akan menemani Sea selama ini di setiap harinya.

Sedangkan di sini mereka berdua— Mars dan Sea. Pria berhoodie abu itu menatap gadisnya dalam, sedangkan Sea sibuk menundukkan kepalanya.

“Sea, pulang.”

Sea mengalihkan atensinya, menatap Mars dengan tatapan tidak percaya. “Gue mau di sini sampai setidaknya tahlilan Mama selama tujuh hari berjalan tanpa halangan.”

“Kalau saya bilang pulang. Ya pulang, Sea.” katanya.

Sea menghela napasnya, lalu kembali menggeleng. Sedangkan Mars mendekatkan tubuhnya dengan gadis itu tanpa ada jarak sedikitpun. Tangan kanannya membawa Sea untuk duduk di atas pankuannya. Dari sini Mars dapat melihat setipa inchi wajah gadis itu tanpa terkecuali. Sedangkan tangan kiri yang bebas ia gunakan untuk menyelipkan surai legam si gadis ke belakang telinga.

“Aku cemburu.” katanya seductive membuat bulu leher Sea meremang seketika.

“Mars...” Sea menurunkan tangan Mars yang sedang menahan pinggangnya untuk tetap berada di posisi itu.

Dengan gerakan yang lumayan cepat, Mars meraup bibir merah muda itu untuk dilumat. Tidak ada tanda bahwa Mars melakukannya dengan perlahan ataupun hati-hati dan itu membuat Sea mendorong dadanya kasar.

“Ma...rshh!” desisnya kecil.

Pria itu tersenyum di sela-sela ciumannya kala Sea sudah bisa berusaha mengimbangi permainan yang ia mulai. Lima menit tanpa jeda sudsh berlalu, kali ini Mars kembali mendekatkan bibirnya pada telinga Sea, “tonight, i'll be yours and you'll be mine. so, enjoy your flight, babe...”