TetehnyaaJisung

Aku pamit.

Ayla membungkukkan tubuhnya untuk mengelus kayu dengan nama Stef di sana. Di tangannya sudah ada surat yang dikhususkan oleh Jaehyun untuk si pemilik nama di kayu.

“Hai, Stef? Aku datang lagi...” Alya mengusahakan sebuah senyum tipisnya. Menahan rasa sakit yang bergejolak di dalam dada.

Sejak semalam ia belum pergi menemui Doyoung maupun Jeno. Karena saat Ayla pergi ke ruang rawat inap Jeno sudah tidak ada siapapun. Kata petugas informasi mereka sudah diizinkan pulang sejak tigapuluh menit yang lalu. Dihubungi berkali-kalipun Doyoung tidak mengangkat panggilannya.

Ayla akhirnya memutuskan untuk menemani Jaehyun selama pria itu berada di unit darurat. Sakitnya bukan main setiap pandangannya beralih pada Jaehyun yang sekarang untuk bernapas saja harus ketergantungan dengan selang.

“Stef, aku ke sini mau menyampaikan kabar untuk kamu...” Ayla menyingkirkan beberapa daun yang berjatuhan di atas peristirahatan terakhir Stef. “Kabar buruk dan akan selalu buruk, Stef. Maafin aku... Harusnya aku cegah Jaehyun untuk menjadi penyelamat gadis kecil itu kemarin, kan?”

Wanita itu meremat tali tasnya, sekedar meredam rasa sakit di dalam dada. Lagi-lagi ia hidup dalam rasa bersalahnya. “Stef... kamu tau nggak mudah jadi aku, kan? Semesta seolah selalu memusuhi aku, Stef...”

Dulu, jauh sebelum mengenal Stef. Ada seorang wanita yang memang selalu menjadi satu kesalahpahaman dalam kehidupan bersama Jaehyun. Dinda, namanya.

“Aku... aku bingung harus kaya gimana, Stef...” Tidak lagi bisa menahan tangisnya. Ayla lebih memilih untuk duduk di atas tanah merah yang lumayan basah itu. Ia membiarkan gaun putih yang bahkan sebagiannya masih ada darah Jaehyun itu kembali kotor.

Dia tertawa, “nggak. Aku ke sini nggak mau sedih-sedihan. Ini... aku bacain surat dari Jaehyun untuk kamu, ya?” Tangannya membuka surat itu pelahan. Meletakkan amplop cokelatmya di atas pangkuan lalu menarik napas dan tersenyum kecil. “Stef, ini aku... Jaehyun.”

Lagi-lagi Ayla tertawa kecil saat nama pria yang sekarang sedang memperjuangkan hidup dan matinya di ruang darurat. “Stef... aku akan titip surat ini dua hari sebelum aku berangkat ke Texas. Negara kesukaanmu. Negara yang mau kamu tempati. Aku sama Aurel akan menetap di sana, Stef. Makasih, ya? Makasih untuk hari-hari yang kamu lakuin untuk aku. Makasih untuk segalanya...” Ayla menarik napasnya, seolah ikut merasakan bagaimana pedihnya Jaehyun kala menuliskan suratnya.

“Stef... aku nggak tau kenapa... Tapi sampai sekarangpun usahaku buat sayang sama kamu sia-sia... Aku bahkan...” netra Ayla kembali mengarah pada papan kayu dengan nama Stef. “Aku bahkan masih menyayangi Ayla...”

“Stef makasih untuk enam tahun yang sia-sia... Aku pamit, ya?”

Ayla menekan bagian jantungnya yang terasa lebih menyakitkan dari apapun. Ia jadi merasa bersalah kepada Stef. Hidup wanita itu jadi sia-sia selama ini karenanya. Demi Tuhan, Stef... Ayla juga tidak tau kenapa semuanya jadi serumit ini.

Kalau saja dulu Jaehyun tidak mengucapkan kalimat perceraian dengan mudahnya mungkin Ayla dan Jaehyun hanya memiliki satu musuh— mamanya Jaehyun. Ayla tidak perlu membohongi perasaannya sendiri untuk Doyoung pun Jaehyun yang mati-matian menahan rasanya.

Kalau saja dulu Jaehyun tidak menerima pernikahannya dengan Stef, mungkin saja sekarang keadaannya tidak seperti ini.

“Ay...”

Ayla tersentak kala ada seseorang yang menepuk punggungnya sekali. Netra pekat itu menatap dalam si pemilik netra cokelat tua di hadapannya. Ayla segera beralih memeluk daksa berkemeja putih, menenggelamkan dirinya di dalam dada bidang itu.

“Do... aku bisa jelasin semuanya...” Ayla menengadah untuk melihat wajah Doyoung yang sejujurnya lebih berseri ketimbang biasanya. Pria itu juga tampak berbeda dengan rambut yang sedikit berantakan. Pakaiannya putih menyeluruh.

Doyoung menggeleng, “nggak ada yang perlu kamu jelasin, Ayla... Aku udah ketemu Jaehyun dan dia yang jelasin...”

Si wanita mengerinyit, menjauhkan daksanya dari milik Doyoung yang sedang tersenyum. “Jaehyun?”

“Jaehyun akan kembali, Ayla... Nggak akan ada lagi yang hilang dan kamu nggak akan lagi merasa kosong.”

Demi apapun, kenapa Tuhan tidak pernah memberikan celah untuk Doyoung di hatinya Ayla? Kenapa Tuhan membiarkan pria manis ini selalu mengharapkan hati si wanita seolah tidak ada yang mencintainya?

Kenapa Tuhan membiarkan Doyoung hidup dalam teka-teki perasaan seorang Ayla?

“Kamu mau minum? Aku beli dulu, ya?” Doyoung menarik tangan Ayla untuk duduk di bawah pohon, masih di sekitar pemakaman. Lalu ia tersenyum kecil dan mendekatkan bibirnya ke telinga si wanita. “Aku sayang kamu, dan itu selalu.”

“Aku sayang kamu, dan itu selalu.” Ulang Ayla sambil tersenyum kecil.

Doyoung menangguk, berjalan mundur sebelum dan berteriak agak keras, “aku pamit.”

Bertahan.

————————————————

Ayla memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memilih untuk masuk ke dalam cafe. Di kursi dekat kaca sudah ada Jaehyun dengan segelas minuman kesukaannya. Pria itu memerhatikan beberapa kendaraan yang berlalu lalang di luar sana. Tatapannya kosong sampai tidak menyadari kalau ada seorang wanita yang berdiri di belakangnya sejak lima menit yang lalu.

“Jaehyun...”

Dia menoleh, mengulum senyum tipis dan mempersilahkan si wanita untuk duduk di hadapannya. “Kamu mau pesan minum dulu?”

Ayla menggeleng, “nggak usah. Aku takut Doyoung udah sampai tapi aku malah nggak ada di kamar Jeno.”

Si pria menganggukkan kepalanya mengerti. Dia merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan empat amplop berwarna cokelat ke hadapan Ayla. “Aku nitip ini untuk Stef, ya Ay. Besok tolong bacakan di depan makamnya...”

“Kamu nggak akan balik ke Bandung, Jaehyun?” tanya Ayla sambil meraih amplop itu.

Dia menggelengkan kepalanya, “aku dan Aurel pindah ke Texas besok lusa. Kamu tolong bahagia sama Doyoung, ya?”

Tidak menjawab. Ayla justru sibuk memerhatikan tigas surat dari Jaehyun. “Ini aku harus bacain segini banyak di depan makam Stef?”

Jaehyun tertawa. Wanita itu memang masih dan akan selalu memiliki jalan pikiran yang tidak pernah bisa ketebak. Perilaku Ayla barusan sukses membuat Jaehyun mengingat masa-masa awal mereka berpacaran dulu.

Berawal dari taruhan bersama sahabatnya untuk mendapatkan Ayla lalu berakhir ia tidak bisa melepaskan si wanita pemilik senyum indah sejagat raya.

“Ini untuk kamu, Doyoung juga Stef.” Jaehyun menunjuk masing-masing nama yang tertulis di bagian depan amplop itu. Ia mengulum senyumnya, “yang punya kamu dan Doyoung jangan dibaca kalau aku belum sampai Texas, ya...”

Ayla yang sedang sibuk memasukkan amplop cokelat itu ke dalam tasnya seketika mengalihkan atensi, menatap raut wajah Jaehyun yang berbeda. “Kamu benar-benar mau ke Texas? Itu jauh, Jaehyun...”

“Aku harus melupakan Jakarta barang sejenak, Ay. Aku butuh hidupku kembali... aku juga mau menemukan 'dia' yang lain kaya kamu menemukan Doyoung.” Tangannya terangkat untuk menggenggam milik Ayla, mengelus punggung tangan wanita itu dengan lembut.

“Kalimatnya masih sama, Ayla.”

Si wanita mengerinyit, “kalimat?”

“I love you, babe. Tapi ada yang beda di bagian belakang.” Jaehyun tertawa kecil kala mengingat kalimat andalan yang selalu ia ucapkan untuk menengkan wanita kesayangannya. “Aku nggak bisa di samping kamu lagi... So, i love you, babe tapi aku nggak di sini.”

Untuk mengalihkan, Ayla hanya tertawa lalu mengambil ponselnya yang bergetar. Darahnya berdesir seketika. Matanya menatap setiap sudut ruangan— mencari si pengirim pesan.

“Siapa?”

Ayla meringis, “Doyoung...”

“Jangan takut, nanti aku yang jelasin ke Doyoung ya— eh sebentar!” Jaehyun berlari cepat kala netranya menatap satu gadis kecil berkuncir kuda lari di tengah jalan. Sedangkan di ujung sana terlihat truk pembawa pasir.

“JAEHYUN!” Ayla memekik kala truk itu dengan cepat menabrak tubuh Jaehyun yang hampir saja berhasil menyelamatkan si gadis kecil.

Wanita itu berlari cepat, secepat beberapa orang yang langsung mendekat ke arah daksa milik Jaehyun maupun si gadis kecil. Ayla meletakkan kepala Jaehyun yang bersimbah darah itu di atas pahanya, ia menepuk pipi pria itu untuk tetap menjaga kesadarannya.

“Jaehyun! Dengerin aku. Bertahan. Tolong, Jaehyun!” Ayla tidak lagi bisa menahan emosinya kala Jaehyun berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya tapi masih sempat tersenyum kecil.

“Ay... aku... sayang... kamu...” katanya.

Ayla menggelengan kepalanya, “kamu nggak boleh ke mana-mana, Jaehyun! Nggak Texas ataupun kembali ke Tuhan. Ayo Jaehyun, bertahan!”

Jaehyun menggeleng kecil, “Ay.... Sakit...”

“Jaehyun setidaknya bantu aku. Bantu aku buat jelasin semuanya ke Doyoung!” Ayla menepuk pipi Jaehyun cukup keras kala pria itu hampir menutup seluruh kelopaknya. “PANGGIL AMBULAN!”

“Jaehyun... tolong...”

“Ay...”

“Jaehyun.... bertahan.... aku mohon...”

Dia kembali tersenyum kecil, “kalau... aku... nggak... hidup lagi... tolong... buka... lemari... baju... di... kamar... Jaemin... yang... dulu...”

Ayla menahan napasnya kala senyum tipis itu hilang dan netra yang sebelumnya bersinar terang itu tertutup. Jantungnya seolah mati. Tidak ada lagi kalimat di otaknya. “Jaehyun...”

Selamat hari lahir, Mars.

————————————————

Setelah membeli beberapa snack, pembalut juga makan malam tadi, Mars segera mengajak isterinya untuk makan malam bersama. Tidak lupa, pria itu juga membuat teh hangat untuk si gadis.

Ah, sepertinya Mars harus berterima kasih kepada Ibunya di Surabaya karena sudah mengajari bagaimana caranya menyeduh teh.

Setelah makan, Mars juga Sea segera bersiap untuk tidur sebab besok keduanya harus kembali menghadapi dunia. Walau libur, Mars tidak terbiasa untuk bangun di siang hari. Itu sebabnya ia selalu berlari di minggu pagi.

“Mars,” Sea keluar dari kamar membuat Mars yang sedang menggelar kasur lipat di ruang tamu menghentikan pergerakannya.

Pria itu beralih, “kenapa? perutnya masih sakit?”

Sea mengangguk kecil lalu berjalan mendekat ke arah Mars. “Lo... mau tidur di kamar?”

“Eh?” Pria itu mengerjapkan matanya dua kali. Lalu dilanjut dengan seutas senyum tipis yang hangat. “Kok balik pakai lo-gue lagi? kayanya tadi udah aku-kamu.”

Sea mendudukan dirinya di kursi tamu. “Kebiasaan...” Ia menghela napasnya, “jadi mau tidur di kamar nggak?”

Mars menggeleng karena sampai kapanpun ia tidak akan tidur di kamar dan membiarkan si gadis tidur di ruang tamu. Kenyamanan Sea adalah keutamaannya sekarang.

“Nggak mau tidur sama aku, ya?” Sea mengerucutkan bibirnya lucu.

Masa datang bulan adalah masa yang selalu menyiksa untuk setiap perempuan— termasuk Sea. Moodnya bisa berubah-ubah tanpa dipinta. Kadang menyebalkan atau bahkan menggemaskan.

“Harusnya aku yang nanya,” Mars ikut duduk di samping Sea, mengelus surai sebahu itu dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa kalau berbagi kasur sama aku?”

Sea menangguk, menjatuhkan kepalanya di bahu Mars. Lalu kembali meringis saat perutnya kembali sakit.

“Apa? Apa yang sakit?” Mars jongkok di depan Sea lalu mengambil dua jemari gadis itu. “Aku bingung harus ngapain kalau kamu terus-terusan nahan sakit...”

Sea tertawa kecil walaupun perutnya masih terasa sakit ia meraih tangan suaminya untuk di bawa masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang. Gadis itu melihat ke arah jam dinding. Satu menit lagi.

“Mars, tunggu di sini ya...”

Si pria mengeriyit dan hanya memerhatikan setiap pergerakan Sea yang sekarang sudah di depan lemari pendingin.

Gadis itu berjalan mendekat ke arah Mars dengan kue ulang tahun seadanya yang tadi ia buat dengan bantuan Jeffrian.

Walaupun tingkahnya agak menyebalkan, Jeffrian tetap seseorang yang patut diandalkan ketimbang Arnav si sahabat Sea.

“Happy birthday Mars!”

Mars menyunggingkan senyum penuh saat sang isteri kembali masuk ke dalam kamar dengan satu kue tanpa hiasan di sana.

“Sea?” Ia mengerjap tidak percaya. Pasalnya, Sea selalu mengaku kalau ia tidak bisa masak. Lalu kenapa tiba-tiba bisa membuat kue?

Sea menyodorkan kue itu ke Mars. Meminta sang suami untuk segera meniup lilinnya. Tanpa sadar kedua sudut bibir tipis Sea terangkat penuh. “Make a wish dulu, Mars.”

Mars mengangguk, memejamkan matanya di depan lilin yang masih menyala. “Semoga tahun ini lebih banyak pencapaian. Semoga aku lebih baik ke depannya, di beri kesehatan sepanjang masa. And last but not least, semoga isteriku bisa dengan segera meletakkan seluruh rasanya ke aku.”

Ditempatnya Sea bungkam. Ia mengendurkan senyumnya kala mendengar penuturan pemuda Antarion di sampingnya. Sea membuka matanya lebih dulu ketimbang Mars. Ia merasa bersalah.

“Yay! Kita makan kuenya sekarang ya, Sea?” Mars berlari kecil ke dapur untuk mengambil pisau. Lalu kembali lagi ke kamar dan mendapati Sea yang sedang berjongkok di depan ranjang.

“Sea? Perutnya sakit, ya?” Mars meletakkan pisaunya di atas meja kecil lalu ikut mensejajarkan tubuhnya di samping Sea. Ia menyingkirkan surai gadis itu yang menutupi wajah. “Kenapa, sayang?”

Sea diam di tempatnya. Melihat Mars di bawah lampu kamar yang tidak terlalu terang membuatnya yakin kalau semesta tidak main-main mengirimkan Mars ke kehidupannya. Terlebih, panggilan sayang yang keluar dengan lancar dari mulut pria itu membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

“Mars...” Sea mengalungkan tangannya di leher sang suami. Menenggelamkan dirinya di ceruk leher pria itu dan menikmati elusan yang diciptakan oleh Mars di punggungnya. “Maafin aku...”

Pria itu mengulum senyum manisnya, “kamu nggak ada ngelakuin hal yang salah, Sea. Malah aku makasih karena udah dibikinin kue.”

“Mars, ajarin aku buat meletakkan seluruh rasaku ke kamu.”

Satu kalimat itu seketika membuat Mars merasa bahagia bukan main. Pasti, Sea. Pasti. Mars nggak akan bosan untuk mengajarimu.

“Ssst. Udahan ya nangisnya, nanti kamu capek.” Mars menjauhkan tubuhnya dari si gadis lalu menatap wajah itu sebentar. Dikecupnya dahi Sea beberapa detik. “Ayo ambil minum. Nggak enak kalau sesegukan.”

Sea mengangguk, mengikuti langkah Mars yang menarik tangannya lembut. Dari pada suami-isteri, mereka lebih cocok seperti ayah dan anak kalau gini.

Gadis itu meneguk habis air hangat yang baru saja diberikan oleh suaminya. Lalu berjalan ke arah lemari pendingin untuk mengambil satu piring buah kesukaan sang suami. “Makan semangka aja, ya? Gue nggak yakin kuenya layak untuk dimakan.”

Mars tersenyum, menerima semangka kesukaannya. “Aku, Sea.”

“Lupa...” Sea menunjukkan jajaran gigi bersihnya.

Mars merogoh saku celana untuk mendapati ponselnya, lalu mengambil beberapa gambar untuk ia jadikan gambar di layar utama ponsel.

“Kamu mau?” Mars mengarahkan garpunya ke hadapan sang isteri yang langsung mendapat gelengan. “Kenapa? perutnya masih sakit?”

Sea mengangguk.

“Yaudah, nanti mau tidur aku kompres pakai handuk hangat, ya?” katanya sambil kembali melahap buah kesukaannya itu. “Oh iya, kuenya taruh di kulkas aja. Besok aku makan.”

“Itu... aku takut kamu sakit perut pas makan. Soalnya... baru pertama kali bikin.” Balasnya sambil mengetukkan jemarinya di atas meja makan.

Mars tersenyum, lagi. Ah, hari ini pria itu banyak tersenyum rupanya. “Jadi aku orang pertama yang bikin kamu susah payah bikin kue?”

Si gadis mengangguk dan tertawa kecil, “iya. Nggak tau. Soalnya kaya kepingin bikin kue aja tiba-tiba.”

“Kamu tau dari mana ulangtahunku?” Mars meneguk air mineralnya. Lalu berjalan memasak air hangat untuk mengompres perut isterinya.

“Table Calendar kamu...”

a/n : HAPPY MARK LEE DAY!❤

Sore itu, semesta meluluhkan.

————————————————

Sore ini Mars berniat akan pulang lebih awal karena ingin menjemput Sea terlebih dulu di toko bunga. Ah, soal pekerjaan itu, padahal Mars sudah bersikeras melarangnya untuk tetap bekerja. Tapi Sea tetaplah Sea. Si gadis kecil pemilik tempramen yang buruk.

“Mars? Pulang? Bukannya ada rapat soal pengeluaran product baru?” Itu suara Mas Adam yang membuat Mars menghentikan langkahnya tepat di depan meja informasi.

Pria itu tersenyum ramah, “Kata Pak Bulan ditunda besok, Mas.”

Adam menganggukkan kepalanya lalu izin untuk masuk ke dalam gedung pencakar langit itu. Sedangkan Mars berjalan ke arah parkiran motor di basement.

Sebenarnya perusahaan sudah menawarkan mobil dinas untuk Mars atau bahkan pria itu bisa membelinya pakai hasil gajinya. Tapi, mengingat fakta baru kalau ia sudah tidak lagi sendiri— maka pria itu berniat akan mengumpulkan uangnya untuk masa depan. Ia harus hidup hemat kalau tidak mau masa depannya berat.

“Kak Mars!”

Pria itu menoleh, mendapati Anne yang sedang berlari kecil ke arahnya. “Pelan-pelan, Anne. Nanti jatuh.” ia memperingati.

Gadis yang umurnya terpaut dua tahun dari Mars itu terkekeh kecil, ia menyodorkan satu cokelat kesukaan Mars. “Buat kak Mars!”

Disambutnya cokelat itu, karena Mars bukan tipikal pria yang mudah menyakiti perasaan orang lain, terutama Anne— gadis yang sudah ia anggap bak adik kecilnya.

“Okay, kakak terima, ya.” Katanya sambil mengangkat tangan untuk mengacak rambut Anne. “Kamu baru keluar dari rumah sakit, kok malah ke kantor? Mau ketemu Papamu?”

Anne menggeleng, “mau ketemu kak Mars.” katanya.

Mars tersenyum kecil, tangannya merogoh saku jas yang ia gunakan karena ada getaran kecil dari ponsel. Bibirnya terangkat penuh saat mendapati nama kontak, “isteriku❤” di layar yang menyala.

Setelah membalas pesan yang tentu saja dari Sea, pria itu menatap Anne yang sedang meneguk air miralnya. “Anne, besok sekolah, ya? Nanti kalau nggak kamu akan dimarahi Papa lagi..”

“Tapi Anne nggak mau homeschooling, Kak...” Ia mengerucutkan bibirnya lucu. “Kak Mars, ayo kita makan malem bareng!”

Mars melepaskan perlahan pegangan gadis itu di tangan kirinya. “Kakak mau ada keperluan. next time, okay?”

“Kak Mars mau makan sama pacarnya, ya?” Anne mengerucutkan bibirnya. Ah, gadis delapanbelas tahun itu memang selalu tau bagaimana caranya membuat Mars luluh.

Tentu saja, Mars mengangguk. “Iya. Tapi jangan sedih, kapan-kapan Kakak ajak Anne makan malem bareng lagi, oke? Sama Pacar kakak sekalian!”

Anne akhirnya menangguk lesu, lalu berjalan ke arah mobilnya yang sudah diisi oleh sang supir yang selalu menemani gadis itu ke manapun. Mars bernapas lega, ia segera menjalankan motornya ke toko bunga di mana sang isteri bekerja.

Bibirnya terangkat penuh saat mendapati Sea duduk sendirian di halaman depan toko bunga yang sudah tutup. Gadis itu tampak enggan untuk mengalihkan pandangannya dari ponsel.

“Permisi.” ucap Mars sambil turun dari motor kesayangannya.

“Maaf, toko kami sudah tutup. Anda bisa kembali lagi be—” Sea mendapati suaminya yang sedang bersandar di motor hitamnya sambil tersenyum manis. “—Mars?”

“Iya, ini aku.” Mars tertawa kecil ketika Sea menunjukkan wajah terkejutnya. “Ayo, keburu gelap.”

Sea mengangguk, lalu berjalan ke arah kandang kucing di samping toko bunga yang tentu saja milik Jeffrian. Ia berjongkok lalu, “kakak pulang dulu. Nanti malam ada Kak Jeff yang akan kasih makan kalian, oke? oke dong! Byeeee Mocha Mochi!”

Mars tersenyum melihat tingkah isterinya yang menggemaskan itu. Ia seolah-olah sedang 'berpamitan' dengan dua kucing bermata biru dan abu itu.

“Mau ke mana?” Tanya Sea saat berusaha naik ke motor Mars.

Mars menjalankan motornya dengan kecepatan normal. Sesekali pria itu melirik ke arah gadisnya lewat kaca spion. “Kamu mau makan apa?”

Sea diam, ia juga belum memiliki rencana akan makan apapun malam ini. “Gue ikut lo aja.”

“Aku mau makan kamu, gimana?” balasnya.

Tangan Sea terangkat untuk menoyor kepala Mars yang terbalut dengan helmet. Untung saja lampu merah, hal itu membuat Mars menggunakan kesempatannya untuk meraih kedua tangan Sea lalu melingkarkan diperutnya sendiri. “Biar nggak jatuh.”

Jantung gadis itu mendadak berdetak cepat saat ia mencium aroma tubuh Mars sore ini. Menenangkan. Tapi dengan cepat ia memundurkan tubuhnya. “Modus aja lo! Lampu hijau tuh!”

Mars terkekeh, lalu menjalankan motornya kembali. “Padahal tadi enak, nyaman.”

“Nyaman di elo, nggak nyaman di gue.” Sea mengembuskan napasnya malas dan memutar bolamata.

Melihat Sea yang memang kelihatannya tidak nyaman dengan posisinya lewat spion membuat Mars merasa tidak enak. “Sea, kamu nggak suka naik motor, ya?”

Sea mengerinyit, tangannya ia gunakan untuk meremat dressnya sendiri karena merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya. “Nggak... gue suka naik motor...”

“Terus itu kenapa wajahnya?” tanya Mars masih dengan nada khawatir.

Sea menggigit bibir bawahnya, kembali merasakan sakit luar biasa. “Mars... kita bisa makan di rumah aja nggak?”

“Ada apa? Kamu sakit?” Mars menghentikan motornya di bahu jalan, ia mengusahakan dirinya untuk menghadap ke arah Sea yang masih setia memegangi perut.

“Gue...” Sea menggantungkan kalimatnya. Antara malu dan menahan sakit di perut. “Gue datang bulan...”

Mars mengambil ponsel lalu menepuk dahinya sendiri. Ia lupa. Padahal Mamanya Sea sudah mengirimkan jadwal harian Sea sebelum mereka menikah. Tujuannya agar Mars bisa menjaga moodnya Sea di setiap gadis itu datang bulan. Karena kalau masa itu datang, Sea biasanya bisa sampai menangis seharian karena moodnya yang benar-benar jelek.

“Yaudah, makan di rumah. Tapi... ini masih jauh, kamu tahan ya?” Mars kembali memakai helmetnya lalu melajukan motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi namun masih di batas normal.

“Sea, kalau sakit banget kamu boleh pegang pinggang saya untuk berbagi rasa sakit, okay?” Mars agak berteriak kala jalanan semakin ramai, takut kalau suaranya teredam oleh kendaraan lain.

Tanpa di duga, Sea memajukan wajahnya, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Mars. Menyandarkan kepalanya di punggung pria itu.

Diam-diam Mars mengulum senyum tipsnya di balik helmet. Sesekali ia mengelus punggung tangan sang isteri kala lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. “Sabar, ya...”

“Mars... sakit banget...”

Ia kembali mengelus punggung tangan Sea, “sebentar lagi sampai. Tahan ya...”

Sore itu, semesta meluluhkan.

————————————————

Sore ini Mars berniat akan pulang lebih awal karena ingin menjemput Sea terlebih dulu di toko bunga. Ah, soal pekerjaan itu, padahal Mars sudah bersikeras melarangnya untuk tetap bekerja. Tapi Sea tetaplah Sea. Si gadis kecil pemilik tempramen yang buruk.

“Mars? Pulang? Bukannya ada rapat soal pengeluaran product baru?” Itu suara Mas Adam yang membuat Mars menghentikan langkahnya tepat di depan meja informasi.

Pria itu tersenyum ramah, “Kata Pak Bulan ditunda besok, Mas.”

Adam menganggukkan kepalanya lalu izin untuk masuk ke dalam gedung pencakar langit itu. Sedangkan Mars berjalan ke arah parkiran motor di basement.

Sebenarnya perusahaan sudah menawarkan mobil dinas untuk Mars atau bahkan pria itu bisa membelinya pakai hasil gajinya. Tapi, mengingat fakta baru kalau ia sudah tidak lagi sendiri— maka pria itu berniat akan mengumpulkan uangnya untuk masa depan. Ia harus hidup hemat kalau tidak mau masa depannya berat.

“Kak Mars!”

Pria itu menoleh, mendapati Anne yang sedang berlari kecil ke arahnya. “Pelan-pelan, Anne. Nanti jatuh.” ia memperingati.

Gadis yang umurnya terpaut dua tahun dari Mars itu terkekeh kecil, ia menyodorkan satu cokelat kesukaan Mars. “Buat kamu!”

Disambutnya cokelat itu, karena Mars bukan tipikal pria yang mudah menyakiti perasaan orang lain, terutama Anne— gadis yang sudah ia anggap bak adik kecilnya.

“Okay, aku terima, ya.” Katanya sambil mengangkat tangan untuk mengacak rambut Anne. “Kamu baru keluar dari rumah sakit, kok malah ke kantor? Mau ketemu Papamu?”

Anne menggeleng, “mau ketemu kak Mars.” katanya.

Mars tersenyum kecil, tangannya merogoh saku jas yang ia gunakan karena ada getaran kecil dari ponsel. Bibirnya terangkat penuh saat mendapati nama kontak, “isteriku❤” di layar yang menyala.

Setelah membalas pesan yang tentu saja dari Sea, pria itu menatap Anne yang sedang meneguk air miralnya. “Anne, besok sekolah, ya? Nanti kalau nggak kamu akan dimarahi Papa lagi..”

“Tapi Anne nggak mau homeschooling, Kak...” Ia mengerucutkan bibirnya lucu. “Kak Mars, ayo kita makan malem bareng!”

Mars melepaskan perlahan pegangan gadis itu di tangan kirinya. “Kakak mau ada keperluan, next time, okay?”

“Kak Mars mau makan sama pacarnya, ya?” Sea mengerucutkan bibirnya. Ah, gadis delapanbelas tahun itu memang selalu tau bagaimana caranya membuat Mars luluh.

Tentu saja, Mars mengangguk. “Iya. Tapi jangan sedih, kapan-kapan Kakak ajak Sea makan malem bareng lagi, oke? Sama Pacar kakak sekalian!”

Anne akhirnya menangguk lesu, lalu berjalan ke arah mobilnya yang sudah diisi oleh sang supir yang selalu menemani gadis itu ke manapun. Mars bernapas lega, ia segera menjalankan motornya ke toko bunga di mana sang isteri bekerja.

Bibirnya terangkat penuh saat mendapati Sea duduk sendirian di halaman depan toko bunga yang sudah tutup. Gadis itu tampak enggan untuk mengalihkan pandangannya dari ponsel.

“Permisi.” ucap Mars sambil turun dari motor kesayangannya.

“Maaf, toko kami sudah tutup. Anda bisa kembali lagi be—” Sea mendapati suaminya yang sedang bersandar di motor hitamnya sambil tersenyum manis. “—Mars?”

“Iya, ini aku.” Mars tertawa kecil ketika Sea menunjukkan wajah terkejutnya. “Ayo, keburu gelap.”

Sea mengangguk, lalu berjalan ke arah kandang kucing di samping toko bunga yang tentu saja milik Jeffrian. Ia berjongkok lalu, “kakak pulang dulu. Nanti malam ada Kak Jeff yang akan kasih makan kalian, oke? oke dong! Byeeee Mocha Mochi!”

Mars tersenyum melihat tingkah isterinya yang menggemaskan itu. Ia seolah-olah sedang 'berpamitan' dengan dua kucing bermata biru dan abu itu.

“Mau ke mana?” Tanya Sea saat berusaha naik ke motor Mars.

Mars menjalankan motornya dengan kecepatan normal. Sesekali pria itu melirik ke arah gadisnya lewat kaca spion. “Kamu mau makan apa?”

Sea diam, ia juga belum memiliki rencana akan makan apapun malam ini. “Gue ikut lo aja.”

“Aku mau makan kamu, gimana?” balasnya.

Tangan Sea terangkat untuk menoyor kepala Mars yang terbalut dengan helmet. Untung saja lampu merah, hal itu membuat Mars menggunakan kesempatannya untuk meraih kedua tangan Sea lalu melingkarkan diperutnya sendiri. “Biar nggak jatuh.”

Jantung gadis itu mendadak berdetak cepat saat ia mencium aroma tubuh Mars sore ini. Menenangkan. Tapi dengan cepat ia memundurkan tubuhnya. “Modus aja lo! Lampu hijau tuh!”

Mars terkekeh, lalu menjalankan motornya kembali. “Padahal tadi enak, nyaman.”

“Nyaman di elo, nggak nyaman di gue.” Sea mengembuskan napasnya malas dan memutar bolamata.

Melihat Sea yang memang kelihatannya tidak nyaman dengan posisinya lewat spion membuat Mars merasa tidak enak. “Sea, kamu nggak suka naik motor, ya?”

Sea mengerinyit, tangannya ia gunakan untuk meremat dressnya sendiri karena merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya. “Nggak... gue suka naik motor...”

“Terus itu kenapa wajahnya?” tanya Mars masih dengan nada khawatir.

Sea menggigit bibir bawahnya, kembali merasakan sakit luar biasa. “Mars... kita bisa makan di rumah aja nggak?”

“Ada apa? Kamu sakit?” Mars menghentikan motornya di bahu jalan, ia mengusahakan dirinya untuk menghadap ke arah Sea yang masih setia memegangi perut.

“Gue...” Sea menggantungkan kalimatnya. Antara malu dan menahan sakit di perut. “Gue datang bulan...”

Mars mengambil ponsel lalu menepuk dahinya sendiri. Ia lupa. Padahal Mamanya Sea sudah mengirimkan jadwal harian Sea sebelum mereka menikah. Tujuannya agar Mars bisa menjaga moodnya Sea di setiap gadis itu datang bulan. Karena kalau masa itu datang, Sea biasanya bisa sampai menangis seharian karena moodnya yang benar-benar jelek.

“Yaudah, makan di rumah. Tapi... ini masih jauh, kamu tahan ya?” Mars kembali memakai helmetnya lalu melajukan motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi namun masih di batas normal.

“Sea, kalau sakit banget kamu boleh pegang pinggang saya untuk berbagi rasa sakit, okay?” Mars agak berteriak kala jalanan semakin ramai, takut kalau suaranya teredam oleh kendaraan lain.

Tanpa di duga, Sea memajukan wajahnya, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Mars. Menyandarkan kepalanya di punggung pria itu.

Diam-diam Mars mengulum senyum tipsnya di balik helmet. Sesekali ia mengelus punggung tangan sang isteri kala lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. “Sabar, ya...”

“Mars... sakit banget...”

Ia kembali mengelus punggung tangan Sea, “sebentar lagi sampai. Tahan ya...”

Little Princess.

————————————————

Setelah dirasa selesai untuk bertemu Jaehyun juga Mark di rumah orangtuana Stef, kini dua pasangan suami isteri itu pergi ke rumah sakit di mana Stef dinyatakan meninggal. Doyoung segera pergi menemui sang dokter untuk menandatangani beberapa surat. Sedangkan Ayla tetap di sini, menemani Jeno yang sekarang sedang menggenggam tangannya erat.

“Jeno jangan takut, Bunda di sini...” katanya berusaha menenangkan sambil menepuk pelan bahu sang putera.

“Bunda, kalau operasinya nggak berjalan dengan lancar, gimana?” tanyanya dengan air wajah sendu.

“sssst...” Ayla meletakkan jari telunjuknya di depan bibir anak itu, “jangan ngomong kaya gitu, ya? Jeno percaya sama dokter yang menangani, ya? serahin semuanya sama semesta.”

Jeno mengangguk, lalu memilih tiduran di atas brangkar dengan tangan yang masih menggenggam milik sang Bunda. Sama dengan Jeno, di tempatnya Ayla juga memiliki banyak kemungkinan di pikirannya.

“Bagaimana kalau tidak berhasil?” tanyanya dalam hati.

Ia segera menggelengkan kepalanya cepat lalu mengulum senyum saat sang suami datang menghampirinya dengan dua lembar kertas di tangan.

“Apa katanya, Mas?”

Doyoung berjalan pelan ke arah suaminya, mengecup puncak kepala itu sekali. Ia mengerinyit saat mendapati wangi laki-laki yang terlalu kentara di tubuh isterinya. Tapi, Doyoung dengan cepat menepis pikiran buruk itu.

“Ini... aku barusan dijelasin sih, katanya setengah jam lagi Jeno harus rileks.” Doyoung menyerahkan satu lembar kertas administrasi di tangannya. “Udah aku urus semua sampe biaya kamar juga.”

“Oh... makasih ya, Mas.”

Doyoung terkekeh, “buat apa, sayang? Ini udah seharusnya aku lakuin kok.”

Ayla mengangguk saja, lalu berjalan ke arah perawat yang meminta izin untuk membawa puteranya ke ruang bedah.

Selama Jeno di ruang bedah, Ayla tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu. Matanya terus menatap lampu putih yang menyala di bagian atasnya— menandakan kalau pembedahan belum selesai.

“Bun, duduk dulu sini. Nanti capek.” Doyoung mengambil tangan isterinya, lalu membawa daksa itu masuk ke dalam pelukan. “Kamu... habis dipeluk Jaehyun?”

Ayla menegang di tempatnya, menunduk dan tidak berani menatap mata Doyoung yang padahal hanya menatapnya lembut. “Maaf...”

Tangan Doyoung terangkat untuk meraih dagu Ayla agar netra legam itu berani menatap miliknya. Ia mengecup bibir manis itu sebentar, “nggak apa-apa...”

Si wanita masih diam di tempatnya, sedangkan Doyoung sudah tersenyum dan berpindah jadi berlutut di hadapan sang isteri. “Aku sadar kok kalau selama ini kamu masih berjuang buat aku. Makasih, ya? Makasih udah mau membohongi diri kamu sendiri dan—”

Ayla mengapit leher Doyoung dengan kedua tangannya. Memeluk daksa itu dan meletakkan wajah di ceruk leher si pria yang memiliki wangi memabukkan. “Maaf. Maaf. Maaf... Tapi tolong jangan keluarin kalimat untuk tinggalin aku. Karena aku beneran nggak mau pisah dari kamu...”

“Aku udah pernah bilang, kan?” Doyoung mengelus kepala isterinya. “Selama aku masih ada di muka bumi, aku bakal bahagiain kamu.”

“Semboyanku juga masih sama.” lanjutnya yang membuat sanh isteri menjauhkan tubuhnya. Tapi tangan itu masih mengantung di kedua leher sang suami.

“Apa?”

Doyoung dibuat pusing akan ekspresi menggemaskan sang isteri. “Aku di sini, selalu.” katanya. Lalu menyatukan dahinya dengan milik si wanita. Ia menggesekkan hidungnya di sana, “kamu juga jangan pergi ya, Bun?”

Ia mengangguk, “iya, sayang!”

Dua jam berlalu, kini Ayla juga Doyoung sedang berdiri di tengah ruangan. Indera penglihatan keduanya sibuk menatap Jeno yang kedua matanya ditutup dengan perban putih.

Sang dokter melepaskan perban itu perlahan, dibantu dengan satu perawat yang sedari tadi menatap wajah Jeno tanpa berkedip.

Ah, tentang itu... Ayla jadi ingat dulu Jeno pernah mengatakan kalau ada perawat yang menyukainya di rumah sakit tempat Papanya bekerja.

“Pelan-pelan, sesuaiin cahaya yang masuk...” titah sang Dokter cukup sabar. Ia menggerakkan telunjuknya ke sana kemari saat Jeno berhasil membuka seluruh kelopaknya.

“Burem...” lirih anak laki-laki itu yang hampir saja menangis.

“Jangan nangis, Jeno.” Ucap Doyoung saat melihat tangan anaknya meremas kuat sprei kasur itu.

“Nggak apa-apa, masih awal...” Si Dokter masih setia menggerakkan telunjuknya.

“Ayo dicoba lagi sayang...” Ayla berjalan mendekat, meninggalkan Doyoung di belakang.

Hampir lima menit Jeno menyesuaikan seluruh cahaya yang masuk ke dalam indera penglihatannya. Setelahnya ia tersenyum kecil, “Bunda...”

“Iya Jeno? Bunda di sini...” Ayla makin mendekatkan dirinya kepada sang putera, menangkan tangan anak itu.

“Bunda... Jeno bisa lihat Bunda...” katanya gemeter. Ia memeluk daksa Bundanya lalu menangis kecil.

“Hey— siapa bilang boleh nangis?” Doyoung menghapus air di sudut mata anaknya. Lalu beralih ke Dokter yang sudah tersenyum ke arahnya. Mengucapkan beribu terimakasih karena sudah menyelesaikan tanggung jawabnya dengan sempurna.

Doyoung dapat merasakan bagaimana rasanya jadi Dokter itu. Membedah tubuh manusia bukanlah hal yang mudah. Mereka harus fokus pada satu tujuan dengan beban tanggung jawab di punggungnya. Lelah memang, tapi setelah melihat senyum para keluarga yang anggotanya berhasil diselamatkan ada kesenangan tersendiri.

“Oh iya Pak Doyoung, ada yang menitipkan ini barusan di depan.” Seorang perawat menghampiri Doyoung dengan satu goodie bag kecil yang langsung diterima oleh pria itu.

Tangannya membuka kotak yang ada di sana, “Rea?” Doyoung membulatkan matanya saat ada tiga buah testpack dengan merk berbeda dan menunjukkan positif kehamilan di sana.

Ada secarik kertas di bawahnya dengan tulisan, “hello Papa, This is your little princess.”

“Mas?” Ayla menatap kotak di tangan Doyoung, lalu mengambil alih kertas kecil di tangan sang suami. “Rea...”

“Bun... bukan aku sumpah demi apapun bukan aku...”

Ayla mengangguk lalu tersenyum, “aku nggak butuh penjelasan, tapi bukti ya, mas? Aku percaya sama kamu... tolong jaga kepercayaan aku. Aku... nggak mau cerai karena alasan yang sama.”

“Bun...”

Jeno bisa lihat, Bunda.

————————————————

Setelah dirasa selesai untuk bertemu Jaehyun juga Mark di rumah orangtuana Stef, kini dua pasangan suami isteri itu pergi ke rumah sakit di mana Stef dinyatakan meninggal. Doyoung segera pergi menemui sang dokter untuk menandatangani beberapa surat. Sedangkan Ayla tetap di sini, menemani Jeno yang sekarang sedang menggenggam tangannya erat.

“Jeno jangan takut, Bunda di sini...” katanya berusaha menenangkan sambil menepuk pelan bahu sang putera.

“Bunda, kalau operasinya nggak berjalan dengan lancar, gimana?” tanyanya dengan air wajah sendu.

“sssst...” Ayla meletakkan jari telunjuknya di depan bibir anak itu, “jangan ngomong kaya gitu, ya? Jeno percaya sama dokter yang menangani, ya? serahin semuanya sama semesta.”

Jeno mengangguk, lalu memilih tiduran di atas brangkar dengan tangan yang masih menggenggam milik sang Bunda. Sama dengan Jeno, di tempatnya Ayla juga memiliki banyak kemungkinan di pikirannya.

“Bagaimana kalau tidak berhasil?” tanyanya dalam hati.

Ia segera menggelengkan kepalanya cepat lalu mengulum senyum saat sang suami datang menghampirinya dengan dua lembar kertas di tangan.

“Apa katanya, Mas?”

Doyoung berjalan pelan ke arah suaminya, mengecup puncak kepala itu sekali. Ia mengerinyit saat mendapati wangi laki-laki yang terlalu kentara di tubuh isterinya. Tapi, Doyoung dengan cepat menepis pikiran buruk itu.

“Ini... aku barusan dijelasin sih, katanya setengah jam lagi Jeno harus rileks.” Doyoung menyerahkan satu lembar kertas administrasi di tangannya. “Udah aku urus semua sampe biaya kamar juga.”

“Oh... makasih ya, Mas.”

Doyoung terkekeh, “buat apa, sayang? Ini udah seharusnya aku lakuin kok.”

Ayla mengangguk saja, lalu berjalan ke arah perawat yang meminta izin untuk membawa puteranya ke ruang bedah.

Selama Jeno di ruang bedah, Ayla tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu. Matanya terus menatap lampu putih yang menyala di bagian atasnya— menandakan kalau pembedahan belum selesai.

“Bun, duduk dulu sini. Nanti capek.” Doyoung mengambil tangan isterinya, lalu membawa daksa itu masuk ke dalam pelukan. “Kamu... habis dipeluk Jaehyun?”

Ayla menegang di tempatnya, menunduk dan tidak berani menatap mata Doyoung yang padahal hanya menatapnya lembut. “Maaf...”

Tangan Doyoung terangkat untuk meraih dagu Ayla agar netra legam itu berani menatap miliknya. Ia mengecup bibir manis itu sebentar, “nggak apa-apa...”

Si wanita masih diam di tempatnya, sedangkan Doyoung sudah tersenyum dan berpindah jadi berlutut di hadapan sang isteri. “Aku sadar kok kalau selama ini kamu masih berjuang buat aku. Makasih, ya? Makasih udah mau membohongi diri kamu sendiri dan—”

Ayla mengapit leher Doyoung dengan kedua tangannya. Memeluk daksa itu dan meletakkan wajah di ceruk leher si pria yang memiliki wangi memabukkan. “Maaf. Maaf. Maaf... Tapi tolong jangan keluarin kalimat untuk tinggalin aku. Karena aku beneran nggak mau pisah dari kamu...”

“Aku udah pernah bilang, kan?” Doyoung mengelus kepala isterinya. “Selama aku masih ada di muka bumi, aku bakal bahagiain kamu.”

“Semboyanku juga masih sama.” lanjutnya yang membuat sanh isteri menjauhkan tubuhnya. Tapi tangan itu masih mengantung di kedua leher sang suami.

“Apa?”

Doyoung dibuat pusing akan ekspresi menggemaskan sang isteri. “Aku di sini, selalu.” katanya. Lalu menyatukan dahinya dengan milik si wanita. Ia menggesekkan hidungnya di sana, “kamu juga jangan pergi ya, Bun?”

Ia mengangguk, “iya, sayang!”

Dua jam berlalu, kini Ayla juga Doyoung sedang berdiri di tengah ruangan. Indera penglihatan keduanya sibuk menatap Jeno yang kedua matanya ditutup dengan perban putih.

Sang dokter melepaskan perban itu perlahan, dibantu dengan satu perawat yang sedari tadi menatap wajah Jeno tanpa berkedip.

Ah, tentang itu... Ayla jadi ingat dulu Jeno pernah mengatakan kalau ada perawat yang menyukainya di rumah sakit tempat Papanya bekerja.

“Pelan-pelan, sesuaiin cahaya yang masuk...” titah sang Dokter cukup sabar. Ia menggerakkan telunjuknya ke sana kemari saat Jeno berhasil membuka seluruh kelopaknya.

“Burem...” lirih anak laki-laki itu yang hampir saja menangis.

“Jangan nangis, Jeno.” Ucap Doyoung saat melihat tangan anaknya meremas kuat sprei kasur itu.

“Nggak apa-apa, masih awal...” Si Dokter masih setia menggerakkan telunjuknya.

“Ayo dicoba lagi sayang...” Ayla berjalan mendekat, meninggalkan Doyoung di belakang.

Hampir lima menit Jeno menyesuaikan seluruh cahaya yang masuk ke dalam indera penglihatannya. Setelahnya ia tersenyum kecil, “Bunda...”

“Iya Jeno? Bunda di sini...” Ayla makin mendekatkan dirinya kepada sang putera, menangkan tangan anak itu.

“Bunda... Jeno bisa lihat Bunda...” katanya gemeter. Ia memeluk daksa Bundanya lalu menangis kecil.

“Hey— siapa bilang boleh nangis?” Doyoung menghapus air di sudut mata anaknya. Lalu beralih ke Dokter yang sudah tersenyum ke arahnya. Mengucapkan beribu terimakasih karena sudah menyelesaikan tanggung jawabnya dengan sempurna.

Doyoung dapat merasakan bagaimana rasanya jadi Dokter itu. Membedah tubuh manusia bukanlah hal yang mudah. Mereka harus fokus pada satu tujuan dengan beban tanggung jawab di punggungnya. Lelah memang, tapi setelah melihat senyum para keluarga yang anggotanya berhasil diselamatkan ada kesenangan tersendiri.

“Oh iya Pak Doyoung, ada yang menitipkan ini barusan di depan.” Seorang perawat menghampiri Doyoung dengan satu goodie bag kecil yang langsung diterima oleh pria itu.

Tangannya membuka kotak yang ada di sana, “Rea?” Doyoung membulatkan matanya saat ada tiga buah testpack dengan merk berbeda dan menunjukkan positif kehamilan di sana.

Ada secarik kertas di bawahnya dengan tulisan, “hello Papa, This is your little princess.”

“Mas?” Ayla menatap kotak di tangan Doyoung, lalu mengambil alih kertas kecil di tangan sang suami. “Rea...”

“Bun... bukan aku sumpah demi apapun bukan aku...”

Ayla mengangguk lalu tersenyum, “aku nggak butuh penjelasan, tapi bukti ya, mas? Aku percaya sama kamu... tolong jaga kepercayaan aku. Aku... nggak mau cerai karena alasan yang sama.”

“Bun...”

Bukan dia.

————————————————

Bandung, Senin 21 Nov.

Matanya tidak berhenti menatap papan kayu yang menjadi sorot utama orang-orang. Sesekali bibirnya terangkat mengulum senyum saat beberapa potong memori menghampiri isi kepala. Dengan satu buket berisi bunga tulip ia berjalan mendekat. Menghela napas sebelum akhirnya berjongkok lalu meletakkan bunga merah itu di sana. “Hai? Sudah tenang di sisi tuhan, ya?”

Ia menangkat tangannya untuk mengelus nama isterinya di atas papan putih yang ke depannya akan diganti dengan batu nisan itu. “Kita bahkan belum memulai, Stef...”

Lagi-lagi tersenyum kecil kala wajah wanita itu mampir di ingatannya sembari tersenyum manis. Dia yang membangunkannya untuk bekerja setiap pagi. Dia yang akan tertawa walau tau kalau ucapan Jaehyun sama sekali tidak lucu. Dia yang selalu menyempatkan diri untuk datang ke kantornya demi berkas atau bekal Jaehyun yang tertinggal.

“Tapi aku nggak menyesal, Stef. Karena Tuhan ambil kamu sekarang, itu artinya aku nggak perlu sakiti kamu lebih banyak lagi, kan?” katanya lagi.

Sedari awal dokter menyatakan kepergian wanita itu, Jaehyun sama sekali tidak dapat mengeluarkan air matanya— entah. Tapi rasanya memang ia tidak benar-benar merasa kehilangan. “Aku... nggak suka pura-pura, Stef. Pura-pura melupakan Ayla padahal aku sama sekali nggak bisa beralih dari dia...”

Jaehyun menghela napasnya, “soal aurel... kamu tenang aja. Dia akan tumbuh jadi gadis yang baik tanpa seorang Ibu.” matanya memejam sebentar. Lalu kembali membuka dan menatap jumantara yang seolah tau isi hati beberapa orang— mendung. “Aku pulang dulu, ya? Aku kembali lagi nanti... dan janji nggak akan bawa isteri. Tapi kalau Ayla... aku nggak janji.” Jaehyun memilih terkekeh di akhir kalimatnya, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan makam sang isteri.

Selama perjalanan kembali ke rumah mertuanya, Jaehyun kembali meyakinkan dirinya kalau ia akan berubah menjadi manusia yang lebih baik setelah ini. Ia tidak lagi mau mengganggu rumah tangga sang mantan isteri dengan suami barunya. Benar katanya dulu, ia juga butuh bahagia. Dan bukan Jaehyunlah jawaban atas kata bahagianya.

Di sisi lain, Ayla sedang menggenggam tangan suaminya yang sedang menatap pria tua di depan rumah keluarga besat Stef. Mereka memilih untuk pergi ke rumah Stef, sekedar untuk menemui Mark dan menguatkan laki-laki itu. Tapi bukan Mark yang didapat, Ayla malah harus menenangkan Doyoung yang sedari tadi menatap Ayahnya Stef.

“Ay, itu Papaku...” katanya lirih.

Ayla membola, “gimana, Mas?”

“Dulu Mama dan Ayah bercerai. Aku ikut Mama ke Jakarta, tinggal bersama temannya yang mana itu adalah Mama Ani... Aku nggak tau di mana Papa saat itu, karena Mama juga nggak pernah jawab saat aku tanya.” Doyoung menundukkan kepalanya. Tangannya menghentikan pergerakan tangan Ayla yang sedang mengusap punggungnya. “Tapi Papa di sini... Dia Ayah tirinya Stef, Ay..”

Kaget? Tentu. Ayla hanya menutupinya saja karena tidak mau memaksa Doyoung untuk mengorek luka lamanya. Bolamata legam itu terarah pada seorang pria yang baru saja datang— memasuki wilayah rumah Stef dengan kemeja hitamnya.

“Jaehyun,” panggil Ayla kala mendapati Jaehyun yang baru saja ingin menghampiri si puteri kecil. Ayla menatap Doyoung dari samping seolah meminta izin untuk menghampiri pria itu.

Doyoung menangguk kecil lalu kuasanya terangkat untuk menyingkirkan surai si isteri dan mengecup pucuk kepalanya sebentar. “Kasih semangat ke Jaehyun, ya? Dia pasti terpukul banget dan butuh orang untuk support.”

“Makasih ya, Mas...”

Doyoung terkekeh, “untuk?”

“Memahami perasaan orang walau kamu sendiri lagi nggak baik-baik aja.”

Suaminya menangguk kecil, “iya— yaudah sana, itu Jaehyun nungguin.”

Ayla tertawa, mengangguk lalu berjalan ke arah Jaehyun yang sedang menatapnya bingung. Sudut bibirnya terangkat sedikit saat sudah berdiri di hadapan Jaehyun yang mati-matian menahan dirinya untuk tidak memeluk si wanita di hadapan.

“Jaehyun, yang sabar, ya? Apa-apa yang kita punya memang semuanya milik Semesta. Dan semuanya akan kembali ke pemilik dan berubah menjadi bintang di langit.” Ayla mengikuti Jaehyun untuk berjalan ke arah taman di samping rumah Stef. Keduanya duduk bersebelahan di ayunan kayu dan sama-sama menatap birunya langit.

Jaehyun mengulas senyumnya, “Ay... aku boleh minta satu permintaan?”

“Kalau aku menyanggupi, akan aku turuti.” jawabnya tanpa mengalihkan pandang pada bagian dari alam semesta yang sampai detik ini menarik perhatiannya.

“Aku....

boleh peluk kamu?”

Ayla menoleh dengan cepat lalu mendapati Jaehyun yang sedang menundukkan kepalanya dalam. Pria itu tidak terlihat sekuat biasanya.

“Maaf aku lancang, ya?” Jaehyun menertawakan dirinya yang malah terlihat mengemis rasa kasihan kepada wanita di sebelahnya.

Ayla mengikis jaraknya dengan pria itu, lalu membawa si pria untuk masuk ke dalam pelukan kakunya. Rasanya masih sama seperti lima tahun yang lalu. Getaran hebat di seluruh tubuhnya tidak pernah hilang saat ia memeluk daksa milik pria itu. Sukmanya seolah berteriak tidak ingin buru-buru melepaskannya.

Jaehyun segera menjatuhkan kepalanya di pundak si wanita, memejamkan matanya lalu menarik napas sampai dadanya terasa sesak. “I love you, but i'm letting you go...”

“Stef nggak akan pergi Jaehyun, dia ada di hati kamu. Ikhlasin, ya? Dia nggak mau lihat kesayangannya terpuruk kaya gini.” balas Ayla sambil menepuk punggung pria itu pelan seolah menyalurkan ketenangan.

“Bukan Sfef, tapi kamu...”

Dia yang gugur.

————————————————

Bandung, Senin 21 Nov.

Matanya tidak berhenti menatap papan kayu yang menjadi sorot utama orang-orang. Sesekali bibirnya terangkat mengulum senyum saat beberapa potong memori menghampiri isi kepala. Dengan satu buket berisi bunga tulip ia berjalan mendekat. Menghela napas sebelum akhirnya berjongkok lalu meletakkan bunga merah itu di sana. “Hai? Sudah tenang di sisi tuhan, ya?”

Ia menangkat tangannya untuk mengelus nama isterinya di atas papan putih yang ke depannya akan diganti dengan batu nisan itu. “Kita bahkan belum memulai, Stef...”

Lagi-lagi tersenyum kecil kala wajah wanita itu mampir di ingatannya sembari tersenyum manis. Dia yang membangunkannya untuk bekerja setiap pagi. Dia yang akan tertawa walau tau kalau ucapan Jaehyun sama sekali tidak lucu. Dia yang selalu menyempatkan diri untuk datang ke kantornya demi berkas atau bekal Jaehyun yang tertinggal.

“Tapi aku nggak menyesal, Stef. Karena Tuhan ambil kamu sekarang, itu artinya aku nggak perlu sakiti kamu lebih banyak lagi, kan?” katanya lagi.

Sedari awal dokter menyatakan kepergian wanita itu, Jaehyun sama sekali tidak dapat mengeluarkan air matanya— entah. Tapi rasanya memang ia tidak benar-benar merasa kehilangan. “Aku... nggak suka pura-pura, Stef. Pura-pura melupakan Ayla padahal aku sama sekali nggak bisa beralih dari dia...”

Jaehyun menghela napasnya, “soal aurel... kamu tenang aja. Dia akan tumbuh jadi gadis yang baik tanpa seorang Ibu.” matanya memejam sebentar. Lalu kembali membuka dan menatap jumantara yang seolah tau isi hati beberapa orang— mendung. “Aku pulang dulu, ya? Aku kembali lagi nanti... dan janji nggak akan bawa isteri. Tapi kalau Ayla... aku nggak janji.” Jaehyun memilih terkekeh di akhir kalimatnya, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan makam sang isteri.

Selama perjalanan kembali ke rumah mertuanya, Jaehyun kembali meyakinkan dirinya kalau ia akan berubah menjadi manusia yang lebih baik setelah ini. Ia tidak lagi mau mengganggu rumah tangga sang mantan isteri dengan suami barunya. Benar katanya dulu, ia juga butuh bahagia. Dan bukan Jaehyunlah jawaban atas kata bahagianya.

Di sisi lain, Ayla sedang menggenggam tangan suaminya yang sedang menatap pria tua di depan rumah keluarga besat Stef. Mereka memilih untuk pergi ke rumah Stef, sekedar untuk menemui Mark dan menguatkan laki-laki itu. Tapi bukan Mark yang didapat, Ayla malah harus menenangkan Doyoung yang sedari tadi menatap Ayahnya Stef.

“Ay, itu Papaku...” katanya lirih.

Ayla membola, “gimana, Mas?”

“Dulu Mama dan Ayah bercerai. Aku ikut Mama ke Jakarta, tinggal bersama temannya yang mana itu adalah Mama Ani... Aku nggak tau di mana Papa saat itu, karena Mama juga nggak pernah jawab saat aku tanya.” Doyoung menundukkan kepalanya. Tangannya menghentikan pergerakan tangan Ayla yang sedang mengusap punggungnya. “Tapi Papa di sini... Dia Ayah tirinya Stef, Ay..”

Kaget? Tentu. Ayla hanya menutupinya saja karena tidak mau memaksa Doyoung untuk mengorek luka lamanya. Bolamata legam itu terarah pada seorang pria yang baru saja datang— memasuki wilayah rumah Stef dengan kemeja hitamnya.

“Jaehyun,” panggil Ayla kala mendapati Jaehyun yang baru saja ingin menghampiri si puteri kecil. Ayla menatap Doyoung dari samping seolah meminta izin untuk menghampiri pria itu.

Doyoung menangguk kecil lalu kuasanya terangkat untuk menyingkirkan surai si isteri dan mengecup pucuk kepalanya sebentar. “Kasih semangat ke Jaehyun, ya? Dia pasti terpukul banget dan butuh orang untuk support.”

“Makasih ya, Mas...”

Doyoung terkekeh, “untuk?”

“Memahami perasaan orang walau kamu sendiri lagi nggak baik-baik aja.”

Suaminya menangguk kecil, “iya— yaudah sana, itu Jaehyun nungguin.”

Ayla tertawa, mengangguk lalu berjalan ke arah Jaehyun yang sedang menatapnya bingung. Sudut bibirnya terangkat sedikit saat sudah berdiri di hadapan Jaehyun yang mati-matian menahan dirinya untuk tidak memeluk si wanita di hadapan.

“Jaehyun, yang sabar, ya? Apa-apa yang kita punya memang semuanya milik Semesta. Dan semuanya akan kembali ke pemilik dan berubah menjadi bintang di langit.” Ayla mengikuti Jaehyun untuk berjalan ke arah taman di samping rumah Stef. Keduanya duduk bersebelahan di ayunan kayu dan sama-sama menatap birunya langit.

Jaehyun mengulas senyumnya, “Ay... aku boleh minta satu permintaan?”

“Kalau aku menyanggupi, akan aku turuti.” jawabnya tanpa mengalihkan pandang pada bagian dari alam semesta yang sampai detik ini menarik perhatiannya.

“Aku....

boleh peluk kamu?”

Ayla menoleh dengan cepat lalu mendapati Jaehyun yang sedang menundukkan kepalanya dalam. Pria itu tidak terlihat sekuat biasanya.

“Maaf aku lancang, ya?” Jaehyun menertawakan dirinya yang malah terlihat mengemis rasa kasihan kepada wanita di sebelahnya.

Ayla mengikis jaraknya dengan pria itu, lalu membawa si pria untuk masuk ke dalam pelukan kakunya. Rasanya masih sama seperti lima tahun yang lalu. Getaran hebat di seluruh tubuhnya tidak pernah hilang saat ia memeluk daksa milik pria itu. Sukmanya seolah berteriak tidak ingin buru-buru melepaskannya.

Jaehyun segera menjatuhkan kepalanya di pundak si wanita, memejamkan matanya lalu menarik napas sampai dadanya terasa sesak. “I love you, but i'm letting you go...”

“Stef nggak akan pergi Jaehyun, dia ada di hati kamu. Ikhlasin, ya? Dia nggak mau lihat kesayangannya terpuruk kaya gini.” balas Ayla sambil menepuk punggung pria itu pelan seolah menyalurkan ketenangan.

“Bukan Sfef, tapi kamu...”

hari itu.

“kamu mau foto nggak?” ayla melihat ke arah doyoung yang sedang sibuk mengedarkan pandangannya ke sana kemari, menikmati indahnya langit pagi.

dia menggeleng, “nggak, ah.”

ayla mengulum senyum tipisnya, ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie lalu mengambil gambar suaminya yang sedang menikmati indahnya karya semesta. sesekali pria itu tersenyum tipis kala ada petani teh yang menyapanya.

pagi tadi, saat matahari baru saja menunjukkan wajahnya di ufuk timur, doyoung menajak ayla untuk bejalan-jalan di sekitar villanya. ia ingat kalau dulu mama dan papanya pernah bekerja di kebun teh ini. karenanya, banyak sekali para petani yang menyapa.

“doyoung teh anaknya pak soni bukan, ya?” tanya salah satu petani yang sekarang sedang sibuk memilah pucuk daun teh. kedua sudutnya terangkat penuh seiring dengan binar matanya yang memancar indah.

doyoung mengangguk, “iya, bi...”

“bapak gimana, doy? sehat?” tanyanya.

doyoung diam, mencerna kalimat tanya yang dengan mudahnya keluar dari petani itu.

dulu. dulu sekali saat mama dan papa kandungnya memilih bercerai, banyak orang yang tidak tau sebab doyoung dan mamanya pindah ke jakarta, menumpang di salah satu rumah teman mamanya— yang sekarang menjadi ibu angkat doyoung, mama ani yang memiliki status sebagai saudara kandung mamanya jaehyun.

karena dulu, ekonomilah yang menjadi salah satu perceraian mama dan papanya. jadi doyoung harus banting tulang untuk membayar uang kuliahnya sendiri.

mamanya meninggal satu minggu setelah hari wisudanya dan sampai sekarang pria itu tidak tau di mana kehadiran sang papa.

“mas?” ayla menyenggol lengan suaminya. “okay?”

pria itu mengangguk, “okay!” lalu mengalihkan atensi pada si petani yang tadi bertanya dengannya. “nggak tau, bi. doyoung udah lama nggak ketemu papa.”

ayla mengambil lengan kekar suaminya, ia mengusap lembut bagian punggung tangan pria itu— seolah menyalurkan kekuatan yang ia punya. sebelum si petani teh itu bertanya lebih lanjut dan akan membuka luka lama sang suami, ayla memilih untuk memotong pembicaraan mereka. “bi, kita ke sana dulu ya.”

ia mengangguk lalu memokuskan dirinya pada tanaman teh di hadapan.

“mas, nggak balik ke villa sampai sore, boleh?” tanyanya sambil mengaitkan jemari lentiknya dengan jemari kekar milik sang suami.

doyoung terkekeh, “bilang aja mau berduaan sama aku.”

wanita itu mengangguk semangat. lalu tangannya terangkat untuk mengambil daun yang bertengger di rambut sang suami. “kalau nggak ada anak-anak aku maunya manja terus sama kamu, mas. kenapa, ya?”

doyoung mengangkat tangannya untuk mengapit pipi kanan dan kiri sang isteri. gemas. “astaga, bayiiiii! sini peluk dulu!” katanya sambil merentangkan tangan.

tentu saja ayla langsung menenggelamkan daksanya di pelukan sang suami. menghirup dalam-dalam wangi tubuh itu sampai terasa sesak. wangi yang akhir-akhir ini menjadi wangi kesukaannya. ia berjinjit, mendekatkan bibirnya pada telinga doyoung. katanya, “aku sayang kamu.”

suaminya tertawa, “me too. aku juga sayaaaaaaaang banget sama kamu.”

suasana sejuk di kebun teh seakan menjadi saksi bisu bagaimana cara mereka mengungkapkan rasanya masing-masing dengan jantung yang sama-sama tidak dapat dikendalikan. dan, untuk pertama kalinya ayla memohon dalam hati kepada semesta, “tolong jangan ambil siapa-siapa lagi..”

“heh— kok nangis?” doyoung menjauhkan tubuh isterinya kala mendengar isak tertahan yang berasal dari wanita itu. kuasanya terangkat untuk menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah cantik sang isteri. “kenapa? aku kekencengan peluknya, ya? dadanya sesek? atau... laper? ayo balik ke villa deh, makan dulu!”

ayla menggeleng dan menarik tangan doyoung saat suaminya itu berusaha menggendongnya. “nggak...”

“terus kamu kenapaaaaaaa?” tanyanya penasaran. pasalnya tadi ayla tidak mengalami dan mengeluh tentang apapun yang membuatnya merasa kesakitan.

setelah menatap dalam netra kecokelatam milik doyoung, ayla mengelap air matanya. suaranya berubah agak bindeng karena hidungnya tersumbat. ia tertawa kecil, “mau sama kamu selama-lamanyaaa.”

doyoung tertawa, kuasanya terangkat untuk mengelap air mata si pemilik netra legam di hadapan. “sure, sayang. aku di sini kok. jangan khawatirin apa-apa, ya?”

“mas,”

doyoung tersenyum manis. manis sekali. sampai ayla baru menyadari kalau ini adalah kali pertama pria itu tersenyum selepas ini. ah, kebun teh memang semenenangkan itu.

“ada apa, sayang?”

“mau peluk, boleh?” tanyanya sambil mengerucutkan bibir bak anak kecil yang meminta persetujuan sang ayah untuk membeli ice cream.

hal itu tentu saja membuat doyoung gemas. sebuah ide jail tiba-tiba muncul pada otaknya. telunjuk itu terangkat pada bibi kirinya, “cium dulu!”

dengan senang hati ayla mendekatkan wajahnya pada pipi, dahi dan terakhir bibir suaminya. sedangkan doyoung yang masih diselimuti ide jail langsung menahan kepala bagian belakang isterinya kala bibir mereka saling bertemu.

memang. pria itu suka tidak tau tempat. untung saja petani teh pagi ini hanya ada tiga orang saja. itupun jaraknya lumayan jauh dari mereka.

drrrt.

getaran ponsel ayla membuat wanita itu segera menjauhkan tubuhnya yang sudah dipeluk sang suami dengan paksa. “sebentar, ada pesan masuk.”

doyoung mengerucutkan bibirnya. “ganggu aja!” ocehnya sambil mengintip layar ponsel yang saat ini menjadi perhatian ayla. “siapa?”

ayla menggigit bibir bawahnya, ia ragu.

“EH! jangan digigit, aset aku!” kata doyoung sambil menepuk pelan bibir sang isteri. “coba sini aku liat siapa yang kirim pesan ke—”

“dokter ten...”