hari itu.
“kamu mau foto nggak?” ayla melihat ke arah doyoung yang sedang sibuk mengedarkan pandangannya ke sana kemari, menikmati indahnya langit pagi.
dia menggeleng, “nggak, ah.”
ayla mengulum senyum tipisnya, ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie lalu mengambil gambar suaminya yang sedang menikmati indahnya karya semesta. sesekali pria itu tersenyum tipis kala ada petani teh yang menyapanya.
pagi tadi, saat matahari baru saja menunjukkan wajahnya di ufuk timur, doyoung menajak ayla untuk bejalan-jalan di sekitar villanya. ia ingat kalau dulu mama dan papanya pernah bekerja di kebun teh ini. karenanya, banyak sekali para petani yang menyapa.
“doyoung teh anaknya pak soni bukan, ya?” tanya salah satu petani yang sekarang sedang sibuk memilah pucuk daun teh. kedua sudutnya terangkat penuh seiring dengan binar matanya yang memancar indah.
doyoung mengangguk, “iya, bi...”
“bapak gimana, doy? sehat?” tanyanya.
doyoung diam, mencerna kalimat tanya yang dengan mudahnya keluar dari petani itu.
dulu. dulu sekali saat mama dan papa kandungnya memilih bercerai, banyak orang yang tidak tau sebab doyoung dan mamanya pindah ke jakarta, menumpang di salah satu rumah teman mamanya— yang sekarang menjadi ibu angkat doyoung, mama ani yang memiliki status sebagai saudara kandung mamanya jaehyun.
karena dulu, ekonomilah yang menjadi salah satu perceraian mama dan papanya. jadi doyoung harus banting tulang untuk membayar uang kuliahnya sendiri.
mamanya meninggal satu minggu setelah hari wisudanya dan sampai sekarang pria itu tidak tau di mana kehadiran sang papa.
“mas?” ayla menyenggol lengan suaminya. “okay?”
pria itu mengangguk, “okay!” lalu mengalihkan atensi pada si petani yang tadi bertanya dengannya. “nggak tau, bi. doyoung udah lama nggak ketemu papa.”
ayla mengambil lengan kekar suaminya, ia mengusap lembut bagian punggung tangan pria itu— seolah menyalurkan kekuatan yang ia punya. sebelum si petani teh itu bertanya lebih lanjut dan akan membuka luka lama sang suami, ayla memilih untuk memotong pembicaraan mereka. “bi, kita ke sana dulu ya.”
ia mengangguk lalu memokuskan dirinya pada tanaman teh di hadapan.
“mas, nggak balik ke villa sampai sore, boleh?” tanyanya sambil mengaitkan jemari lentiknya dengan jemari kekar milik sang suami.
doyoung terkekeh, “bilang aja mau berduaan sama aku.”
wanita itu mengangguk semangat. lalu tangannya terangkat untuk mengambil daun yang bertengger di rambut sang suami. “kalau nggak ada anak-anak aku maunya manja terus sama kamu, mas. kenapa, ya?”
doyoung mengangkat tangannya untuk mengapit pipi kanan dan kiri sang isteri. gemas. “astaga, bayiiiii! sini peluk dulu!” katanya sambil merentangkan tangan.
tentu saja ayla langsung menenggelamkan daksanya di pelukan sang suami. menghirup dalam-dalam wangi tubuh itu sampai terasa sesak. wangi yang akhir-akhir ini menjadi wangi kesukaannya. ia berjinjit, mendekatkan bibirnya pada telinga doyoung. katanya, “aku sayang kamu.”
suaminya tertawa, “me too. aku juga sayaaaaaaaang banget sama kamu.”
suasana sejuk di kebun teh seakan menjadi saksi bisu bagaimana cara mereka mengungkapkan rasanya masing-masing dengan jantung yang sama-sama tidak dapat dikendalikan. dan, untuk pertama kalinya ayla memohon dalam hati kepada semesta, “tolong jangan ambil siapa-siapa lagi..”
“heh— kok nangis?” doyoung menjauhkan tubuh isterinya kala mendengar isak tertahan yang berasal dari wanita itu. kuasanya terangkat untuk menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah cantik sang isteri. “kenapa? aku kekencengan peluknya, ya? dadanya sesek? atau... laper? ayo balik ke villa deh, makan dulu!”
ayla menggeleng dan menarik tangan doyoung saat suaminya itu berusaha menggendongnya. “nggak...”
“terus kamu kenapaaaaaaa?” tanyanya penasaran. pasalnya tadi ayla tidak mengalami dan mengeluh tentang apapun yang membuatnya merasa kesakitan.
setelah menatap dalam netra kecokelatam milik doyoung, ayla mengelap air matanya. suaranya berubah agak bindeng karena hidungnya tersumbat. ia tertawa kecil, “mau sama kamu selama-lamanyaaa.”
doyoung tertawa, kuasanya terangkat untuk mengelap air mata si pemilik netra legam di hadapan. “sure, sayang. aku di sini kok. jangan khawatirin apa-apa, ya?”
“mas,”
doyoung tersenyum manis. manis sekali. sampai ayla baru menyadari kalau ini adalah kali pertama pria itu tersenyum selepas ini. ah, kebun teh memang semenenangkan itu.
“ada apa, sayang?”
“mau peluk, boleh?” tanyanya sambil mengerucutkan bibir bak anak kecil yang meminta persetujuan sang ayah untuk membeli ice cream.
hal itu tentu saja membuat doyoung gemas. sebuah ide jail tiba-tiba muncul pada otaknya. telunjuk itu terangkat pada bibi kirinya, “cium dulu!”
dengan senang hati ayla mendekatkan wajahnya pada pipi, dahi dan terakhir bibir suaminya. sedangkan doyoung yang masih diselimuti ide jail langsung menahan kepala bagian belakang isterinya kala bibir mereka saling bertemu.
memang. pria itu suka tidak tau tempat. untung saja petani teh pagi ini hanya ada tiga orang saja. itupun jaraknya lumayan jauh dari mereka.
drrrt.
getaran ponsel ayla membuat wanita itu segera menjauhkan tubuhnya yang sudah dipeluk sang suami dengan paksa. “sebentar, ada pesan masuk.”
doyoung mengerucutkan bibirnya. “ganggu aja!” ocehnya sambil mengintip layar ponsel yang saat ini menjadi perhatian ayla. “siapa?”
ayla menggigit bibir bawahnya, ia ragu.
“EH! jangan digigit, aset aku!” kata doyoung sambil menepuk pelan bibir sang isteri. “coba sini aku liat siapa yang kirim pesan ke—”
“dokter ten...”