Jeno bisa lihat, Bunda.

————————————————

Setelah dirasa selesai untuk bertemu Jaehyun juga Mark di rumah orangtuana Stef, kini dua pasangan suami isteri itu pergi ke rumah sakit di mana Stef dinyatakan meninggal. Doyoung segera pergi menemui sang dokter untuk menandatangani beberapa surat. Sedangkan Ayla tetap di sini, menemani Jeno yang sekarang sedang menggenggam tangannya erat.

“Jeno jangan takut, Bunda di sini...” katanya berusaha menenangkan sambil menepuk pelan bahu sang putera.

“Bunda, kalau operasinya nggak berjalan dengan lancar, gimana?” tanyanya dengan air wajah sendu.

“sssst...” Ayla meletakkan jari telunjuknya di depan bibir anak itu, “jangan ngomong kaya gitu, ya? Jeno percaya sama dokter yang menangani, ya? serahin semuanya sama semesta.”

Jeno mengangguk, lalu memilih tiduran di atas brangkar dengan tangan yang masih menggenggam milik sang Bunda. Sama dengan Jeno, di tempatnya Ayla juga memiliki banyak kemungkinan di pikirannya.

“Bagaimana kalau tidak berhasil?” tanyanya dalam hati.

Ia segera menggelengkan kepalanya cepat lalu mengulum senyum saat sang suami datang menghampirinya dengan dua lembar kertas di tangan.

“Apa katanya, Mas?”

Doyoung berjalan pelan ke arah suaminya, mengecup puncak kepala itu sekali. Ia mengerinyit saat mendapati wangi laki-laki yang terlalu kentara di tubuh isterinya. Tapi, Doyoung dengan cepat menepis pikiran buruk itu.

“Ini... aku barusan dijelasin sih, katanya setengah jam lagi Jeno harus rileks.” Doyoung menyerahkan satu lembar kertas administrasi di tangannya. “Udah aku urus semua sampe biaya kamar juga.”

“Oh... makasih ya, Mas.”

Doyoung terkekeh, “buat apa, sayang? Ini udah seharusnya aku lakuin kok.”

Ayla mengangguk saja, lalu berjalan ke arah perawat yang meminta izin untuk membawa puteranya ke ruang bedah.

Selama Jeno di ruang bedah, Ayla tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu. Matanya terus menatap lampu putih yang menyala di bagian atasnya— menandakan kalau pembedahan belum selesai.

“Bun, duduk dulu sini. Nanti capek.” Doyoung mengambil tangan isterinya, lalu membawa daksa itu masuk ke dalam pelukan. “Kamu... habis dipeluk Jaehyun?”

Ayla menegang di tempatnya, menunduk dan tidak berani menatap mata Doyoung yang padahal hanya menatapnya lembut. “Maaf...”

Tangan Doyoung terangkat untuk meraih dagu Ayla agar netra legam itu berani menatap miliknya. Ia mengecup bibir manis itu sebentar, “nggak apa-apa...”

Si wanita masih diam di tempatnya, sedangkan Doyoung sudah tersenyum dan berpindah jadi berlutut di hadapan sang isteri. “Aku sadar kok kalau selama ini kamu masih berjuang buat aku. Makasih, ya? Makasih udah mau membohongi diri kamu sendiri dan—”

Ayla mengapit leher Doyoung dengan kedua tangannya. Memeluk daksa itu dan meletakkan wajah di ceruk leher si pria yang memiliki wangi memabukkan. “Maaf. Maaf. Maaf... Tapi tolong jangan keluarin kalimat untuk tinggalin aku. Karena aku beneran nggak mau pisah dari kamu...”

“Aku udah pernah bilang, kan?” Doyoung mengelus kepala isterinya. “Selama aku masih ada di muka bumi, aku bakal bahagiain kamu.”

“Semboyanku juga masih sama.” lanjutnya yang membuat sanh isteri menjauhkan tubuhnya. Tapi tangan itu masih mengantung di kedua leher sang suami.

“Apa?”

Doyoung dibuat pusing akan ekspresi menggemaskan sang isteri. “Aku di sini, selalu.” katanya. Lalu menyatukan dahinya dengan milik si wanita. Ia menggesekkan hidungnya di sana, “kamu juga jangan pergi ya, Bun?”

Ia mengangguk, “iya, sayang!”

Dua jam berlalu, kini Ayla juga Doyoung sedang berdiri di tengah ruangan. Indera penglihatan keduanya sibuk menatap Jeno yang kedua matanya ditutup dengan perban putih.

Sang dokter melepaskan perban itu perlahan, dibantu dengan satu perawat yang sedari tadi menatap wajah Jeno tanpa berkedip.

Ah, tentang itu... Ayla jadi ingat dulu Jeno pernah mengatakan kalau ada perawat yang menyukainya di rumah sakit tempat Papanya bekerja.

“Pelan-pelan, sesuaiin cahaya yang masuk...” titah sang Dokter cukup sabar. Ia menggerakkan telunjuknya ke sana kemari saat Jeno berhasil membuka seluruh kelopaknya.

“Burem...” lirih anak laki-laki itu yang hampir saja menangis.

“Jangan nangis, Jeno.” Ucap Doyoung saat melihat tangan anaknya meremas kuat sprei kasur itu.

“Nggak apa-apa, masih awal...” Si Dokter masih setia menggerakkan telunjuknya.

“Ayo dicoba lagi sayang...” Ayla berjalan mendekat, meninggalkan Doyoung di belakang.

Hampir lima menit Jeno menyesuaikan seluruh cahaya yang masuk ke dalam indera penglihatannya. Setelahnya ia tersenyum kecil, “Bunda...”

“Iya Jeno? Bunda di sini...” Ayla makin mendekatkan dirinya kepada sang putera, menangkan tangan anak itu.

“Bunda... Jeno bisa lihat Bunda...” katanya gemeter. Ia memeluk daksa Bundanya lalu menangis kecil.

“Hey— siapa bilang boleh nangis?” Doyoung menghapus air di sudut mata anaknya. Lalu beralih ke Dokter yang sudah tersenyum ke arahnya. Mengucapkan beribu terimakasih karena sudah menyelesaikan tanggung jawabnya dengan sempurna.

Doyoung dapat merasakan bagaimana rasanya jadi Dokter itu. Membedah tubuh manusia bukanlah hal yang mudah. Mereka harus fokus pada satu tujuan dengan beban tanggung jawab di punggungnya. Lelah memang, tapi setelah melihat senyum para keluarga yang anggotanya berhasil diselamatkan ada kesenangan tersendiri.

“Oh iya Pak Doyoung, ada yang menitipkan ini barusan di depan.” Seorang perawat menghampiri Doyoung dengan satu goodie bag kecil yang langsung diterima oleh pria itu.

Tangannya membuka kotak yang ada di sana, “Rea?” Doyoung membulatkan matanya saat ada tiga buah testpack dengan merk berbeda dan menunjukkan positif kehamilan di sana.

Ada secarik kertas di bawahnya dengan tulisan, “hello Papa, This is your little princess.”

“Mas?” Ayla menatap kotak di tangan Doyoung, lalu mengambil alih kertas kecil di tangan sang suami. “Rea...”

“Bun... bukan aku sumpah demi apapun bukan aku...”

Ayla mengangguk lalu tersenyum, “aku nggak butuh penjelasan, tapi bukti ya, mas? Aku percaya sama kamu... tolong jaga kepercayaan aku. Aku... nggak mau cerai karena alasan yang sama.”

“Bun...”