Sore itu, semesta meluluhkan.
————————————————
Sore ini Mars berniat akan pulang lebih awal karena ingin menjemput Sea terlebih dulu di toko bunga. Ah, soal pekerjaan itu, padahal Mars sudah bersikeras melarangnya untuk tetap bekerja. Tapi Sea tetaplah Sea. Si gadis kecil pemilik tempramen yang buruk.
“Mars? Pulang? Bukannya ada rapat soal pengeluaran product baru?” Itu suara Mas Adam yang membuat Mars menghentikan langkahnya tepat di depan meja informasi.
Pria itu tersenyum ramah, “Kata Pak Bulan ditunda besok, Mas.”
Adam menganggukkan kepalanya lalu izin untuk masuk ke dalam gedung pencakar langit itu. Sedangkan Mars berjalan ke arah parkiran motor di basement.
Sebenarnya perusahaan sudah menawarkan mobil dinas untuk Mars atau bahkan pria itu bisa membelinya pakai hasil gajinya. Tapi, mengingat fakta baru kalau ia sudah tidak lagi sendiri— maka pria itu berniat akan mengumpulkan uangnya untuk masa depan. Ia harus hidup hemat kalau tidak mau masa depannya berat.
“Kak Mars!”
Pria itu menoleh, mendapati Anne yang sedang berlari kecil ke arahnya. “Pelan-pelan, Anne. Nanti jatuh.” ia memperingati.
Gadis yang umurnya terpaut dua tahun dari Mars itu terkekeh kecil, ia menyodorkan satu cokelat kesukaan Mars. “Buat kamu!”
Disambutnya cokelat itu, karena Mars bukan tipikal pria yang mudah menyakiti perasaan orang lain, terutama Anne— gadis yang sudah ia anggap bak adik kecilnya.
“Okay, aku terima, ya.” Katanya sambil mengangkat tangan untuk mengacak rambut Anne. “Kamu baru keluar dari rumah sakit, kok malah ke kantor? Mau ketemu Papamu?”
Anne menggeleng, “mau ketemu kak Mars.” katanya.
Mars tersenyum kecil, tangannya merogoh saku jas yang ia gunakan karena ada getaran kecil dari ponsel. Bibirnya terangkat penuh saat mendapati nama kontak, “isteriku❤” di layar yang menyala.
Setelah membalas pesan yang tentu saja dari Sea, pria itu menatap Anne yang sedang meneguk air miralnya. “Anne, besok sekolah, ya? Nanti kalau nggak kamu akan dimarahi Papa lagi..”
“Tapi Anne nggak mau homeschooling, Kak...” Ia mengerucutkan bibirnya lucu. “Kak Mars, ayo kita makan malem bareng!”
Mars melepaskan perlahan pegangan gadis itu di tangan kirinya. “Kakak mau ada keperluan, next time, okay?”
“Kak Mars mau makan sama pacarnya, ya?” Sea mengerucutkan bibirnya. Ah, gadis delapanbelas tahun itu memang selalu tau bagaimana caranya membuat Mars luluh.
Tentu saja, Mars mengangguk. “Iya. Tapi jangan sedih, kapan-kapan Kakak ajak Sea makan malem bareng lagi, oke? Sama Pacar kakak sekalian!”
Anne akhirnya menangguk lesu, lalu berjalan ke arah mobilnya yang sudah diisi oleh sang supir yang selalu menemani gadis itu ke manapun. Mars bernapas lega, ia segera menjalankan motornya ke toko bunga di mana sang isteri bekerja.
Bibirnya terangkat penuh saat mendapati Sea duduk sendirian di halaman depan toko bunga yang sudah tutup. Gadis itu tampak enggan untuk mengalihkan pandangannya dari ponsel.
“Permisi.” ucap Mars sambil turun dari motor kesayangannya.
“Maaf, toko kami sudah tutup. Anda bisa kembali lagi be—” Sea mendapati suaminya yang sedang bersandar di motor hitamnya sambil tersenyum manis. “—Mars?”
“Iya, ini aku.” Mars tertawa kecil ketika Sea menunjukkan wajah terkejutnya. “Ayo, keburu gelap.”
Sea mengangguk, lalu berjalan ke arah kandang kucing di samping toko bunga yang tentu saja milik Jeffrian. Ia berjongkok lalu, “kakak pulang dulu. Nanti malam ada Kak Jeff yang akan kasih makan kalian, oke? oke dong! Byeeee Mocha Mochi!”
Mars tersenyum melihat tingkah isterinya yang menggemaskan itu. Ia seolah-olah sedang 'berpamitan' dengan dua kucing bermata biru dan abu itu.
“Mau ke mana?” Tanya Sea saat berusaha naik ke motor Mars.
Mars menjalankan motornya dengan kecepatan normal. Sesekali pria itu melirik ke arah gadisnya lewat kaca spion. “Kamu mau makan apa?”
Sea diam, ia juga belum memiliki rencana akan makan apapun malam ini. “Gue ikut lo aja.”
“Aku mau makan kamu, gimana?” balasnya.
Tangan Sea terangkat untuk menoyor kepala Mars yang terbalut dengan helmet. Untung saja lampu merah, hal itu membuat Mars menggunakan kesempatannya untuk meraih kedua tangan Sea lalu melingkarkan diperutnya sendiri. “Biar nggak jatuh.”
Jantung gadis itu mendadak berdetak cepat saat ia mencium aroma tubuh Mars sore ini. Menenangkan. Tapi dengan cepat ia memundurkan tubuhnya. “Modus aja lo! Lampu hijau tuh!”
Mars terkekeh, lalu menjalankan motornya kembali. “Padahal tadi enak, nyaman.”
“Nyaman di elo, nggak nyaman di gue.” Sea mengembuskan napasnya malas dan memutar bolamata.
Melihat Sea yang memang kelihatannya tidak nyaman dengan posisinya lewat spion membuat Mars merasa tidak enak. “Sea, kamu nggak suka naik motor, ya?”
Sea mengerinyit, tangannya ia gunakan untuk meremat dressnya sendiri karena merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya. “Nggak... gue suka naik motor...”
“Terus itu kenapa wajahnya?” tanya Mars masih dengan nada khawatir.
Sea menggigit bibir bawahnya, kembali merasakan sakit luar biasa. “Mars... kita bisa makan di rumah aja nggak?”
“Ada apa? Kamu sakit?” Mars menghentikan motornya di bahu jalan, ia mengusahakan dirinya untuk menghadap ke arah Sea yang masih setia memegangi perut.
“Gue...” Sea menggantungkan kalimatnya. Antara malu dan menahan sakit di perut. “Gue datang bulan...”
Mars mengambil ponsel lalu menepuk dahinya sendiri. Ia lupa. Padahal Mamanya Sea sudah mengirimkan jadwal harian Sea sebelum mereka menikah. Tujuannya agar Mars bisa menjaga moodnya Sea di setiap gadis itu datang bulan. Karena kalau masa itu datang, Sea biasanya bisa sampai menangis seharian karena moodnya yang benar-benar jelek.
“Yaudah, makan di rumah. Tapi... ini masih jauh, kamu tahan ya?” Mars kembali memakai helmetnya lalu melajukan motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi namun masih di batas normal.
“Sea, kalau sakit banget kamu boleh pegang pinggang saya untuk berbagi rasa sakit, okay?” Mars agak berteriak kala jalanan semakin ramai, takut kalau suaranya teredam oleh kendaraan lain.
Tanpa di duga, Sea memajukan wajahnya, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Mars. Menyandarkan kepalanya di punggung pria itu.
Diam-diam Mars mengulum senyum tipsnya di balik helmet. Sesekali ia mengelus punggung tangan sang isteri kala lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. “Sabar, ya...”
“Mars... sakit banget...”
Ia kembali mengelus punggung tangan Sea, “sebentar lagi sampai. Tahan ya...”