Bukan dia.

————————————————

Bandung, Senin 21 Nov.

Matanya tidak berhenti menatap papan kayu yang menjadi sorot utama orang-orang. Sesekali bibirnya terangkat mengulum senyum saat beberapa potong memori menghampiri isi kepala. Dengan satu buket berisi bunga tulip ia berjalan mendekat. Menghela napas sebelum akhirnya berjongkok lalu meletakkan bunga merah itu di sana. “Hai? Sudah tenang di sisi tuhan, ya?”

Ia menangkat tangannya untuk mengelus nama isterinya di atas papan putih yang ke depannya akan diganti dengan batu nisan itu. “Kita bahkan belum memulai, Stef...”

Lagi-lagi tersenyum kecil kala wajah wanita itu mampir di ingatannya sembari tersenyum manis. Dia yang membangunkannya untuk bekerja setiap pagi. Dia yang akan tertawa walau tau kalau ucapan Jaehyun sama sekali tidak lucu. Dia yang selalu menyempatkan diri untuk datang ke kantornya demi berkas atau bekal Jaehyun yang tertinggal.

“Tapi aku nggak menyesal, Stef. Karena Tuhan ambil kamu sekarang, itu artinya aku nggak perlu sakiti kamu lebih banyak lagi, kan?” katanya lagi.

Sedari awal dokter menyatakan kepergian wanita itu, Jaehyun sama sekali tidak dapat mengeluarkan air matanya— entah. Tapi rasanya memang ia tidak benar-benar merasa kehilangan. “Aku... nggak suka pura-pura, Stef. Pura-pura melupakan Ayla padahal aku sama sekali nggak bisa beralih dari dia...”

Jaehyun menghela napasnya, “soal aurel... kamu tenang aja. Dia akan tumbuh jadi gadis yang baik tanpa seorang Ibu.” matanya memejam sebentar. Lalu kembali membuka dan menatap jumantara yang seolah tau isi hati beberapa orang— mendung. “Aku pulang dulu, ya? Aku kembali lagi nanti... dan janji nggak akan bawa isteri. Tapi kalau Ayla... aku nggak janji.” Jaehyun memilih terkekeh di akhir kalimatnya, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan makam sang isteri.

Selama perjalanan kembali ke rumah mertuanya, Jaehyun kembali meyakinkan dirinya kalau ia akan berubah menjadi manusia yang lebih baik setelah ini. Ia tidak lagi mau mengganggu rumah tangga sang mantan isteri dengan suami barunya. Benar katanya dulu, ia juga butuh bahagia. Dan bukan Jaehyunlah jawaban atas kata bahagianya.

Di sisi lain, Ayla sedang menggenggam tangan suaminya yang sedang menatap pria tua di depan rumah keluarga besat Stef. Mereka memilih untuk pergi ke rumah Stef, sekedar untuk menemui Mark dan menguatkan laki-laki itu. Tapi bukan Mark yang didapat, Ayla malah harus menenangkan Doyoung yang sedari tadi menatap Ayahnya Stef.

“Ay, itu Papaku...” katanya lirih.

Ayla membola, “gimana, Mas?”

“Dulu Mama dan Ayah bercerai. Aku ikut Mama ke Jakarta, tinggal bersama temannya yang mana itu adalah Mama Ani... Aku nggak tau di mana Papa saat itu, karena Mama juga nggak pernah jawab saat aku tanya.” Doyoung menundukkan kepalanya. Tangannya menghentikan pergerakan tangan Ayla yang sedang mengusap punggungnya. “Tapi Papa di sini... Dia Ayah tirinya Stef, Ay..”

Kaget? Tentu. Ayla hanya menutupinya saja karena tidak mau memaksa Doyoung untuk mengorek luka lamanya. Bolamata legam itu terarah pada seorang pria yang baru saja datang— memasuki wilayah rumah Stef dengan kemeja hitamnya.

“Jaehyun,” panggil Ayla kala mendapati Jaehyun yang baru saja ingin menghampiri si puteri kecil. Ayla menatap Doyoung dari samping seolah meminta izin untuk menghampiri pria itu.

Doyoung menangguk kecil lalu kuasanya terangkat untuk menyingkirkan surai si isteri dan mengecup pucuk kepalanya sebentar. “Kasih semangat ke Jaehyun, ya? Dia pasti terpukul banget dan butuh orang untuk support.”

“Makasih ya, Mas...”

Doyoung terkekeh, “untuk?”

“Memahami perasaan orang walau kamu sendiri lagi nggak baik-baik aja.”

Suaminya menangguk kecil, “iya— yaudah sana, itu Jaehyun nungguin.”

Ayla tertawa, mengangguk lalu berjalan ke arah Jaehyun yang sedang menatapnya bingung. Sudut bibirnya terangkat sedikit saat sudah berdiri di hadapan Jaehyun yang mati-matian menahan dirinya untuk tidak memeluk si wanita di hadapan.

“Jaehyun, yang sabar, ya? Apa-apa yang kita punya memang semuanya milik Semesta. Dan semuanya akan kembali ke pemilik dan berubah menjadi bintang di langit.” Ayla mengikuti Jaehyun untuk berjalan ke arah taman di samping rumah Stef. Keduanya duduk bersebelahan di ayunan kayu dan sama-sama menatap birunya langit.

Jaehyun mengulas senyumnya, “Ay... aku boleh minta satu permintaan?”

“Kalau aku menyanggupi, akan aku turuti.” jawabnya tanpa mengalihkan pandang pada bagian dari alam semesta yang sampai detik ini menarik perhatiannya.

“Aku....

boleh peluk kamu?”

Ayla menoleh dengan cepat lalu mendapati Jaehyun yang sedang menundukkan kepalanya dalam. Pria itu tidak terlihat sekuat biasanya.

“Maaf aku lancang, ya?” Jaehyun menertawakan dirinya yang malah terlihat mengemis rasa kasihan kepada wanita di sebelahnya.

Ayla mengikis jaraknya dengan pria itu, lalu membawa si pria untuk masuk ke dalam pelukan kakunya. Rasanya masih sama seperti lima tahun yang lalu. Getaran hebat di seluruh tubuhnya tidak pernah hilang saat ia memeluk daksa milik pria itu. Sukmanya seolah berteriak tidak ingin buru-buru melepaskannya.

Jaehyun segera menjatuhkan kepalanya di pundak si wanita, memejamkan matanya lalu menarik napas sampai dadanya terasa sesak. “I love you, but i'm letting you go...”

“Stef nggak akan pergi Jaehyun, dia ada di hati kamu. Ikhlasin, ya? Dia nggak mau lihat kesayangannya terpuruk kaya gini.” balas Ayla sambil menepuk punggung pria itu pelan seolah menyalurkan ketenangan.

“Bukan Sfef, tapi kamu...”