Dear, You.
—
Jakarta, 2020. 11.58 PM.
Bumi, apa kamu baik-baik saja?
Apa kamu hidup dengan baik di Canada sana?
Apa Canada lebih baik dari pada Jakarta?
Apa kamu melupakanku?
Semoga tidak.
Semoga.
Semoga.
Semoga.
Empat tahun tanpamu rasanya hampa. Rasanya seperti aku menanggung bebanku sendiri, Bumi. Aku tidak lagi mau memintamu untuk kembali. Karena aku menghargai segala keputusanmu. Aku menghargai kamu.
Di setiap pukul duabelas malam dan seterusnya aku akan selalu mendengar suaramu lewat type recorder yang terakhir kali kamu berikan di depan taman. Ketika aku merindukanmu, aku selalu membaca ulang kisah kita yang selalu kamu tulis di buku diarymu. Lembaran yang bahkan hari ini sudah usang itu masih dan akan selalu menemaniku, Bumi.
Bagian tengah bukunya sudah banyak yang rusak, beberapa halamanpun sudah berpisah dari tempatnya. Tapi kamu tenang saja, aku masih dan akan selalu bisa membaca tulisanmu itu.
Empat tahun bukanlah waktu yang cukup untukku berdamai dengan Semesta, Bumi. Dan hal yang paling menakutkan di muka bumi bukan lagi hantu tidak berkepala,
melainkan manusia.
Manusia hanya bisa berbicara dan mengambil kesimpulan dari sati sudut pandang tanpa mempedulikan sudut pandang lainnya.
Manusia terlalu fokus sama kehidupan orang lain sehingga hidupnya sendiri tidak mampu mereka pikiri.
Bumi...
Kamu adalah satu-satunya manusia yang aku tunggu kepulangannya. Di sana, jauh di negara kelahiramu— kamu sudah menjadi kebanggaan keluargamu.
Terimakasih atas kerja kerasmu. Terimakasih karena tidak mengeluh. Terimakasih telah tumbuh menjadi Bumi yang hebat.
Bumi, sekarang semua impiau terwujud satu-persatu. Kamu sudah dikenal banyak orang walau bukan sebagai author— seperti apa yang menjadi impianmu waktu kecil. Kamu dikenal oleh jutaan jiwa lewat lagu juga tarianmu, Bumi.
Kamu hebat.
Walau cita-citamu untuk jadi pembuat cerita tidak tercapat— tidak apa-apa, Bumi. Aku yang akan mewujudkannya menjadi seorang Author. Ketika buku pertamaku lahir nanti, aku akan mengirimkan beberapa untukmu lewat perusahaan yang menaungimu.
Aku tidak yakin kalau kamu mengingatku. Kala, si gadis kecil yang sering sekali menangis karena diganggu oleh Raja. Dulu kamu selalu bilang, “Kala dan Jakarta adalah satu hal yang selalu aku sukai.”
Dan kalau ditanya apa alasannya kamu selalu menggeleng dan menjawab, “nggak tau. Aku menyukai kamu dan Jakarta tanpa alasan tapi semua yang terjadi dengan Jakarta dan kamu itu pasti ada alasannya, Kala.”
Bumi..
Terimakasih telah mengajarkanku untuk menjadi dewasa. Untuk menikmati segala proses yang diberikan Semesta untuk kehidupanku.
Terimakasih telah mengajarkanku untuk tidak selalu mengeluh. Karena apapun yang terjadi di muka bumi tidak akan pernah bisa diubah.
Bumi...
lagi-lagi catatan ini ditulis ketika aku merindukanmu dengan sangat. Lagi-lagi aku menginginkan seseorang yang bahkan mungkin tidak pernah menginginkanku untuk ada di hidupnya.
Bumi,
di halaman ini...
aku memilih pergi dan mulai mencintai seseorang yang lain.
Maaf karena tidak bisa menjaga cinta untuk satu hati. Tapi menunggu yang tidak pasti rasanya terlalu sulit untuk kujalani. Di belahan dunia yang lain, semoga kamu menemukan apapun yang kamu cari.
Termasuk dia yang akan menjadi kesayanganmu.
Bumi, Sekala pamit dari hatimu.