Life must go on.

————————————————

Sea melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah brangkar. Air matanya tidak lagi membasahi seluruh area wajah. Bukan karena ia lelah menangis, tapi karena ia tidak ingin terlihat lemah di depan Mars.

Tangan mungilnya terangkat untuk menggenggam jemari kiri suaminya yang belum juga sadarkan diri dari siang tadi. Tidak. Sea tidak lagi berhasil menahan air matanya.

Tadi pukul tiga sore Mars berhasil diselamatkan oleh tim, dan langsung ditangai oleh tim medis juga. Kaki kiri pria itu bersimbah darah karena terlalu lama terjepit antara truk dan mobilnya sendiri.

Sea tidak lagi dapat bicara waktu netranya mendapati wajah Mars yang terlihat selalu damai ketika sedang tertidur. Wanita itu merindukan suaminya dengan sangat. Setelah lima bulan tidak bertemu, ini pertama kalinya mereka bertatap muka.

Bukan. Bukan ini yang Sea inginkan. Ia hanya ingin suaminya kembali bersamanya. Saling memeluk di atas ranjang yang empuk dan berlomba membuat puisi dengan kata cinta. Mengukur rasa siapa yang paling dalam atau bahkan memilih nama untuk puteri pertama mereka.

“Mars, aku di sini...” Katanya sambil menahan isak. Demi apapun ini lebih menyakitkan dari pada waktu Sea menyaksikan pernikahan kedua suaminya di televisi kemarin. “Maafin aku, Mars...”

Tidak ada jawaban. Yang ada hanya bunyi monitor di seberang sana dan mengintrupsi detak jantung suaminya.

“Mars, kemarin waktu kamu mengungkapkan janji suci di depan penghulu juga media... aku ngerasain kalau anakmu nendang seolah nggak terima sama keputusan Semesta...” Tangan Sea terangkat untuk mengelus surai Mars lembut.

Seolah mendengarkan apa yang diucapkan oleh sang isteri, Mars menitikkan air matanya dengan mata yang terpejam. Sedangkan Sea sudah memeluk daksa yang lemah itu dengan hangat.

“Nanti kalau kamu udah sembuh, kita jalan-jalan, ya, Mars?” Wanita itu menahan erangannya saat merasakan sesak luar biasa di bagian dada.

Sesekali ia mengecup dahi suaminya seolah memberi kekuatan agar bisa kembali lagi ke dunia yang nyata— dan tidak lagi berkelana di dunia fana.

“Mars...” Sea menjatuhkan wajahnya di samping telinga kiri sang suami. Ia mendekatkan bibirnya di sana, “jangan pergi karena aku akan selalu percaya sama kamu...”

“Kita nggak akan saling kehilangan lagi, Mars.”

“Aku nggak peduli seberapa banyak yang menginginkan aku. Karena aku maunya cuma kamu.”

“Karena aku butuhnya kamu, Mars...”

Sea memejamkan matanya, air mata itu bahkan sampai mengalir di kedua pipi suaminya yang masih saja memejamkan mata seolah tidur panjangnya tidak ingin diganggu.

“Aku nggak peduli seberapa akurat prediksi Dokter tentang kamu, Mars..”

“Aku nggak peduli seberapa banyak harta kamu kaya dulu sebelum kita nikah.”

“Aku juga nggak lagi peduli tentang Anne, Om Dimas ataupun Om Hary.”

Sea menepuk pipi Mars berkali-kali, “ayo bangun, Mars!”

Tidak kuat— bahkan untuk menopang daksanya sendiri. Sea memilih untuk mentauhkan kepalanya di dada bidang suaminya, mendengarkan alunan jantung yang kian lama kian melemah.

— TIIIIIIIT

Suara monitor itu mengintrupsi Sea untuk menatap dan mendapati satu garis panjang bersamaan dengan suaranya yang mengeras. Sea menahan napasnya sebelum akhirnya ia menekan tombol darurat di bagian atas.

“DOKTER!!!!” Teriaknya agak melemah, terlebih saat mendapati air mata Mars yang lagi-lagi menetes— mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Tim medis datang dengan beberapa alatnya di tangan masing-masing. Kali ini ada satu dokter dan tiga perawat yang mendampingi.

“Dok, suami saya...” Sea menarik jas Dokter paruh baya itu kasar.

“Iya, Ibu. Kita akan berusaha untuk menyalamatkan pasien. Bisa tunggu di luar?”

Sea menggeleng, enggan untuk melepas genggaman tangannya pada jemari kiri Mars yang kian lama mendingin.

“Sea jangan egois. Lo nggak mau Mars kenapa-napa, kan? Ayo biarin Tim Medis fokus untuk Mars.” Arnav yang tiba-tiba datang itu langsung merengkuh dan membawa Sea untuk menjauh dari brangkar.

Langkah kaki membawa Sea untuk duduk di kursi tunggu. Kepalanya menggeleng saat Arnav menyodorkan satu botol mineral yang baru saja ia beli.

“Gimana kalau Mars—”

Arnav meletakkan telunjuknya di depan bibir pink milik wanita itu. “Mars nggak akan kenapa-napa, Sea.”

“Kita bicara tentang kemungkinan terbesar, Nav. Kalau Mars pergi, gimana saya gue dan anaknya?”

Arnav membawa kepala Sea untuk bersandar di bahunya, lalu menelus pangkal tangan wanita itu lembut. “Lo harus berjalan maju, Ci— dengan atau tanpa Mars. Lo nggak mungkin mau ngeliat anak lo kekurangan kasih sayang, kan?”

“Maksud gue, kalau Mars sampai kenapa-napa dan berujung nggak bisa diselamatkan, setidaknya lo harus kuat untuk calon anak lo.” Arnav menyelipkan surai Sea ke daun telinga agar tidak menutupi paras indahnya.

Sea memejamkan mata, “kenapa semua orang dituntut untuk kuat, Nav?”

“Nggak, Ci.” Arnav menggelengkan kepala lalu meneguk air mineral di tangannya. “Jadi kuat itu bukan tuntutan, tapi sebuah keharusan. Lo jadi kuat untuk anak lo, dan Mars di dalam sana jadi kuat untuk kalian berdua. Gue? gue jadi kuat untuk diri sendiri.”

Sea menoleh dan membuat Arnav tersenyum tulus. “Life must go on, Sea. With or without him. Lo kuat dan gue percaya.”