Late.
————————————————
Mars membuka pintu apartmentnya. Ia menghempaskan kopernya dengan kasar. Matanya menatap seluruh penjuru ruangan. Ia melangkah ke dalam kamar untuk mencari kesayangannya. Demi apapun, Mars berjanji untuk menceritakan semuanya tanpa kecuali.
Tentang tidur bersama Anne. Mars tidak tau pasti apa yang ia lakukan malam itu. Setelah pulang dari merayakan pertemuannya bersama teman kecilnya di sebuah cafe Mars lebih memilih tertidur di atas sofa. Tapi entah kenapa pagi itu ia berpindah menjadi di atas ranjang kamar hotelnya. Kepalanya mengalami pening luar biasa karena ia meneguk hampir dua belas sloki malam itu— yang tentu saja dipaksa dengan temannya.
Mars ingat betul kalau ia hanya menggunakan celana pendek sebatas dengkul tanpa atasan apapun pagi itu. Dan matanya mendapati Anne yang baru saja selesai membersihkan diri di kamar mandi. Gadis kecil itu bahkan memakai hoodie kebesaran milik Mars.
“Kak Mars!” pekiknya. Ia berlari menghampiri Mars yang bahkan masih mencerna segalanya yang terjadi. Ia tidak merasa melakukan apapun— apalagi dengan gadis kecilnya ini. “Papa ada di kamar sebelah sama Om Henry, Kak.”
Demi apapun, Mars masih merasa bodoh di sini. Sangat bodoh. “Kamu ngapain di sini, Anne?”
“Loh, Kak Mars yang minta Anne masuk ke sini malam tadi?”
Jantungnya berdetak tidak karuan kala mendapati Anne yang sedang menahan senyum malunya saat mata gadis itu mendapati tubuh bagian atas Mars tanpa sehelai benang. “Fuck.” Desis Mars.
“Kita udah ngelakuinnya, Kak.”
Damn.
Mars menggelengkan kepalanya. Ia tidak lagi mau mengingat hal bodoh yang masih abu dan pernah terjadi dalam hidupnya itu. Atensinya mengalih pada kenyataan, ia kembali mencari isterinya di dalam bilik kamar mandi yang kosong.
“Shit!” Mars mendapati satu buah testpack dengan satu scan gambar yang sebelumnya tidak pernah ia lihat. Tangannya yang gemeter mengambil alih keras itu. Lembarannya balik,
“Hello, Daddy!”
Ia menjatuhkan daksanya pada ranjang yang mungkin sebelum pergi sudah dirapikan oleh Sea. Di sana bahkan ada satu baju bayi yang menggemaskan. “Sea... kenapa nggak kasih tau aku?”
Pria itu mengesampingkan lembaran di tangannya dan berganti menggengam ponsel. Bersiap menghubungi isterinya yang pergi itu. Mars tidak tau perasaan ini. Di satu sisi ia merasa bahagia karena hasil dari testpack juga scan yang dari tadi ia lihat. Tapi di sisi lain ia takut— sangat, karena di saat Sea bilang kalau ia akan pergi,
ia benar-benar pergi.
“Please...” Mars mendesah frustasi saat terus-terusan mendapati suara operator ketika ia menghubungi nomor Sea. Ia tidak lagi bisa mengirim pesan lewat aplikasi karena Sea sudah memblokir seluruh aksesnya.
Pria itu berjalan ke arah nakas dan mendapati satu kartu ATM berwarna emas yang tiga minggu lalu ia berikan kepada isterinya untuk biaya hidup sehari-hari. Di samping kartu ATM ada sim card yang Mars sangat yakin kalau itu adalah milik isterinya. “I'm going crazy.”
“Lo apaansih Mars?! Isteri lo lagi siapin semua surprise buat lo, tapi lo malah nggak waras gini. I will kill you, Mars Antarion!” Pria itu melempar vas bunga di atas nakas sampai mengenai cermin besar di samping pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon.
Napasnya memburu. Mars berjanji tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau Sea pun calon anaknya mengalami hal yang tidak ia inginkan. Ia juga berjanji tidak akan memaafkan dirinya kalau Sea benar-benar menginginkan perceraian.
“I'm so sorry...”
Tangan Mars kembali mengotak-atik ponsel. Memeriksa rekening yang ternyata jumlahnya masih utuh saat pertama kali ia memberikan ATM itu pada Sea. Ternyata wanitanya tidak menggunakan sepeserpun uang darinya untuk biaya hidup.
“Penyesalan emang datengnya terakhir, Mars. Tapi lo tenang, ini semua belom berakhir.” Tangannya mengambil alih bingkai foto dari dalam laci nakas. Foto pernikahannya dengan Sea beberapa bulan lalu.
“Apa aku masih pantes, Sea?”