Dua malaikat kecil yang bertentangan.

————————————————

Sore tadi Jeffrian meminta Sea untuk datang ke toko bunga dengan alasan akan mengajak wanita itu untuk membeli sim card juga makan malam bersama. Tapi dua menit setelah Sea menunggu di depan toko— yang tentu saja diantar oleh Arnav, ia mendapati Mars yang berjalan ke arahnya. Tangan pria itu membawa satu buket bunga mawar dengan senyum tipis yang mengembang.

Kalau saja Arnav masih di sana, mungkin Sea tidak akan berada di kamar apartment Mars sekarang. Dan mungkin juga Sea tidak akan bertemu dengan Mars lagi.

“Jadi, lo mau ngejelasin apa?”

Mars berjalan mendekat ke arah Sea. Tangannya terangkat untuk mengelus surai legam isterinya.

Tidak menolak, Sea memejamkan matanya— merasakan kelembutan yang selalu disalurkan oleh sang suami lewat kuasanya. Wanita itu merindukan Mars dengan sangat. Apapun yang terjadi, rasanya seperti mimpi dan Sea memutuskan untuk mendengar penjelasan Mars dulu.

Memutuskan untuk berpisah dengan pria di sampingnya adalah hal sangat sulit untuk ia lakukan.

— drrrt.

Wanita itu membuka kelopaknya saat mendengar getaran dari atas nakas. Matanya mengintrupsi Mars untuk segera mengangkat panggilannya. Namun kemudian dianggap gelengan kepala oleh pria itu. Ia malah membawa isterinya ke dalam pelukan.

“Maaf. Kamu bisa hukum aku kalau kamu mau, Sea.” katanya. Mars memejamkan matanya di atas kepala wanita itu.

Menghirup wangi shampoo wanitanya memang sangat menenangkan bagi Mars. Entah kesalahan apa di masa lalu yang membuat Mars mendapat balasan seperti ini oleh Semesta.

“Aku mau relain ANTR dan lebih milih bekerja buat Abiail's. Besok aku bakalan temuin notaris Mama kamu— Pak Yudha.” Lanjut Mars sambil berkali-kali mengecup puncak kepala isterinya.

Sea menatap Mars dalam, tidak ada kebohongan yang tersirat di sana. Justru sebaliknya, hanya ada ketulusan dan rasa sedikit frustasi di netra kecokelatan itu.

“Aku telepon Om Dimas sekarang ya, Sea?”

Tidak mendapat jawaban, Mars langsung mengambil ponselnya. Kemudian menghubungi nomor yang beberapa menit lalu memanggilnya.

“Halo, Om?” katanya saat panggilan tersambung.

Baru saja Mars ingin membuka mulutnya lagi, di seberang sana sudah ada keributan lagi antara Dimas dan isterinya. Juga, ada suara Anne yang menangis dengan jelas memenuhi indera pendengaran Sea juga Mars— karena panggilannya dispeaker.

“Mars,” Sea menahan pegelangan suaminya kala Mars bangun dengan tergesa hendak mengambil jaket hitamnya. Wanita itu menggeleng— pertanda ia tidak memberi izin suaminya untuk berangkat ke sana.

Panggilan masih tersambung membuat Sea kembali mengalihkan atensi saat Dimas memanggil Mars dengan bentakan.

“ANNE HAMIL DAN ITU KARENA KAMU, MARS! SAYA TIDAK MAU TAU, KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB!”

Mars langsung mengakhiri panggilan, netranya langsung menangkap Sea yang sedang mengatupkan bibirnya rapat. Tangan gadis itu menggenggam erat kausnya sendiri, menahan gejolak emosi di dalam dada.

“Lo mau ketemu gue cuma buat ngasih tau fakta ini, Mars? Lo tau, lo cuma bikin gue tambah takut buat ngelanjutin hidup.” Sea bangun dari posisinya, berjalan ke arah Mars dengan pelan. Tangannya terangkat untuk menampar wajah di hadapannya dengan pelan— sangat pelan. Karena seluh tenaganya sudah habis setelah mendengar bentakan Dimas tadi.

Demi apapun, ia tidak pernah merasakan perasaan aneh ini selama di hidupnya. Sea belum pernah merasa ketergantungan kepada seseorang bahkan orangtuanya sekalipun. Tapi dengan Mars beda, Sea merasa prianya itu harus bersamanya.

Tapi takdir berkata lain malam ini.

“Sea!” Mars menangkap daksa Sea yang jatuh menimpanya, ia menahan wanitanya dengan perasaan khawatir.

Mars bersumpah kalau ada apa-apa dengan Sea juga calon anaknya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.