TetehnyaaJisung

Sweet Pea

f7b7dd2b4063886aaed7e317539805e2
images about

Nah, kalau sweet pea biasanya punya arti selamat tinggal atau ucapan terima kasih. Kalau lo nggak mau putus sama pacar lo, mending jangan—” Kalimat Abin terhenti begitu saja ketika tatapannya beralih ke arah Saranita yang hanya diam tanpa mengalihkan pandang dari bunga mawar di hadapannya. “Sar,” Abin menggerakkan tangan Saranita.

Eh? Hah? Kenapa, Mas?” Gugup. Saranita langsung mengalihkan pandangan ke arah Abin yang sedang memperhatikannya dengan tatapan kebingungan. 

Pria berkaus abu itu meletakkan bunga yang sudah lima menit di genggaman ke atas meja. Kemudian beralih untuk mengambil alih ruang kosong di samping Saranita. Duduk di sana dan melabuhkan pandangannya ke arah bunga mawar, bunga yang juga menjadi  pelabuhan Saranita sejak dua puluh menit yang lalu.

“Mawarnya cantik, ya?”

Tanpa sadar Saranita mengangguk, setuju dengan kalimat tanya yang dikeluarkan oleh Abin. “Bunga yang Aksara kasih pertama kali di taman waktu itu.” Gadis itu tertawa getir di akhir kalimat, lalu mengalihkan tatapannya ke arah Abin yang masih menatap bunga mawar itu sambil tersenyum tipis. 

Saranita ingat, bagaimana Aksara begitu cemburu terharap pria di sampingnya ini ketika sedang bekerja di toko bunga. Waktu itu Aksara juga bilang, “Aku cemburu sama Mas Abin, tapi sayangnya aku nggak bisa apa-apa soalnya Mas Abin baik banget sama kamu. Kan aku udah janji untuk nggak musnahin orang-orang yang baik ke kamu.”

Kurva di bibir Saranita terangkat sedikit, kembali menatap bunga mawar di hadapannya seperti tidak ada waktu untuk berkedip. “Hari ini tepat bulan ke-enam. Gue kangen sama Aksara, Mas. Kangen banget, sampai rasanya gue sesak nafas sendiri kalau inget gimana cara dia senyum, gimana cara dia memperlakukan gue.” Sekilas Saranita menatap ke atap-atap toko bunga untuk sekedar menahan air yang sudah memenuhi matanya. “Sekarang nggak ada lagi yang peluk kalau kepala gue lagi berisik. Enggak ada lagi tulisan-tulisan sederhana yang bisa bikin gue bertahan satu hari lebih kuat. Enggak ada lagi Aksara, Mas Abin …”

Abin sama sekali tidak ada niat untuk mengeluarkan suaranya, ia membiarkan Saranita mengeluarkan seluruh perasaan yang sudah lama gadis itu pendam sendirian. Entah kenapa, rasanya begitu pilu sampai beberapa kali Abin ikut menghela nafasnya cukup keras guna mengganti udara yang berada di rongga dadanya karena begitu sesak. Kini tangan pria itu terangkat untuk mengelus puncak kepala Saranita, berharap sedikit demi sedikit membuang beban yang ada di sana. 

“Gue inget, pertama kali ketemu. Aksara suka lihatin mata gue tanpa jeda.” Saranita tertawa dengan suara yang tersumbat di akhir kalimat. Tangannya terangkat untuk mengusap kelopak mata dengan pergerakan yang mati-matian ia tahan agar tidak bergetar hebat. “Dia bilang, mata gue cantik. Terus ternyata, mata ini donasi dari Bundanya satu tahun yang lalu.“ 

Menjawab tatapan kebingungan yang dilontarkan oleh tatapan Abin, gadis bersurai legam itu tertawa kecil. “Dunia sempit banget, tapi kenapa nggak pernah bisa gue genggam, ya, Mas?”

“Sar,”

“Gue banyak belajar lewat Aksara, Mas.” Tangannya yang mulai bebas, kini beralih tugas untuk mengambil satu tangkai bunga mawar putih yang dikelilingi delapan tangkai mawar merah. 

Benda pipih di atas meja tiba-tiba saja berdering hebat ketika Saranita dan Abin sedang tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Mendapati hal itu, Abin menoleh, “Handphone lo?” Sambil mengambil ponsel berwarna putih itu, sedikit mengintip nama seseorang yang tertera di layar ponsel. “Arsen.”

Dahi Saranita mengerinyit, ia langsung mengambil alih ponsel di tangan Abin sedikit tergesa. “Arsen? Tumben?” Kemudian tangannya berangkat untuk menerima panggilan dari Arsen. Gadis itu menempelkan benda pipih miliknya di rungu kiri. “Halo, Arsen?”

“Lo mau ketemu Aksara?”

Hah?” Saranita kebingungan. Matanya berkedip beberapa kali guna mencerna kalimat Georgeno Arsen di seberang sana yang sedang berbicara menggunakan suara beratnya, khas seperti orang baru saja menangis. “Lo kenapa?”

Lo mau ketemu Aksara, kan, Saranita?” Pria itu menekan setiap kalimatnya dengan napas yang tidak beraturan menyapa alat pendengaran milik Saranita.

“Iya, mau. Lo nggak kenapa-napa, 'kan?” Dalam kebingungannya Saranita mengangguk, jawaban yang ia berikan ke Arsen juga tidak terucap begitu jelas. 

Sekarang lo di mana? Gue jemput, ya? Habis itu gue anter lo ke rumah Aksara.” Nada bicara Arsen kian melemah, namun suara napas pria itu semakin menggebu. 

“Arsen, lo okay, 'kan?”

Gue … okay. Sekarang share location lo, ya, Sar? Gue jemput.

Saranita tetap mengangguk walau ia tahu kalau Arsen tidak dapat melihat setiap pergerakannya. “Emang Aksara di mana, Sen?“ 

Di rumahnya.”

“Kata lo, rumahnya Aksara udah ditempatin sama orang lain?”

Arsen menarik napasnya dalam-dalam, guna bertahan hidup demi menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari bibir lawan bicaranya. Sebab Arsen tahu, Saranita benci sekali jika tidak mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. “Aksara pindah rumah.”

“Lo tau rumah Aksara yang baru?” Saranita bangkit dati posisinya. Netra kecokelatan itu berbinar indah, tanpa tahu bagaimana terpukulnya Arsen kala mendengar nada bicaranya yang sumringah. “Arsen? Lo tau rumah Aksara yang baru, 'kan?”

Di seberang sana, tanpa keragu-raguan Arsen mengangguk cepat. Jemari pria itu mengepal erat, seluruh rasa yang bergejolak di dalam dada berlabuh di sana. “Iya … gue tau.”

“Kok, lo nggak ngasih tau gue, sih?! Dasar, orang jahat!” Saranita terkekeh di akhir kalimatnya. Namun, sedetik kemudian kekehan itu tidak lagi menghiasi wajah cantiknya. “Gue harus bawa apa ke rumah Aksara, ya? Lo ada ide, nggak?“ 

Apa aja.

Saranita mendesah, malas untuk bertengkar dengan Arsen kali ini. “Eum … martabak untuk Om Regan? Atau, apa, ya?”

Nanti aja kita pikirin di jalan. Sekarang, kasih tau gue harus jemput lo di mana?“ 

“Di toko bunga yang deket rumah Ibu gue.”

Ngapain di sana?

Saranita terkekeh tanpa sadar. “Main aja. Gue kenal sama owner-nya.“ 

Yaudah. Gue ke sana.“ 

Anggukan dari Saranita menjadi penutup atas percakapan mereka berdua. “Hati-hati, Sen.”

Tidak mengerti kenapa, setelah panggilan diputus oleh Arsen, jantung Saranita berdetak cepat. Kedua bibirnya terangkat sempurna ketika tatapan itu bertemu dengan Abin yang juga menatapnya dengan senyum manis seolah-olah memberi ucapan kalimat bahagia atas rasa yang ada di salam dada Saranita. 

“Mas Abin, bikin mawar merah satu buket, ya!” pinta Saranita yang entah kenapa, rasanya ingin sekali memberikan bunga mawar putih yang cantik untuk prianya. 

Abin justru tertawa kecil, “Kok lo ngasih bunga, sih? Kan, harusnya Aksara.“ 

Di samping Abin, gadis bersurai legam itu mengedipkan sebelah matanya. “Mas, Aksara nggak segan-segan ngasih seluruh isi dunianya ke gue. Masa cuma buat ngasih dia bunga, gue nggak boleh?”

Dih.” Abin pura-pura bergidik ngeri. “Menjijikan!” Kemudian tertawa bersama dengan Saranita yang kini menghampiri bunga sweet pea di atas meja. Gadis itu memperhatikan setiap lekukan bunga mungil itu seperti tidak ada waktu untuk berkedip. Tiba-tiba teringat ucapan Abin tadi. Katanya, bunga sweet pea digunakan untuk mengucapkan terima kasih. 

“Permisi,“ 

Butuh waktu dua menit untuk Saranita memperhatikan penampilan Arsen yang beberapa hari terakhir menjadi sedikit berbeda. Arsen biasanya menggunakan jaket kulit hitam, seiras dengan warna motornya. Namun kali ini, ia justru memakai jaket bahan berwarna abu-abu yang membalut daksa kekar pria itu. Celananya, ia biasa menggunakan ripped jeans dengan warna hitam pekat, tetapi kali ini berbeda. Terlebih, kacamata dengan bingkai hitam yang bertengger di tulang hidungnya. 

“Aku hampir ngira kalau itu kamu, Sa …” Gadis itu berdesis lirih, tidak terdengar dengan jelas oleh Arsen maupun Abin. Ia kembali menarik kedua sudut bibirnya, “Cepet banget, Sen?”

“Iya. Kebetulan gue lagi di daerah sini juga.” jawab pria itu jelas. “Mau berangkat sekarang?”

Saranita mengangguk tanpa ragu, kemudian mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. Netra gadis itu tanpa sengaja kembali menatap sweet pea yang berada tepat di sebelah tasnya. “Mas Abin, sweet pea-nya dibuket juga, bisa, nggak?”

Abin tersenyum kecil, “Bisa. Mau dihias juga?”

“Iya, dihias biar cantik.“ 

Dialog tentang Asa.

Sebenarnya saya nggak percaya sama kamu, Sen. Tapi keadaan seperti ini membuat saya percaya kalau kamu satu-satunya orang yang bisa jaga Saranita.

Arsen memilih bungkam saat membaca kata demi kata yang Aksara tulis di kertas putihnya. Rasanya aneh bagi Arsen ketika ia harus berbicara banyak dengan orang yang memiliki wajah serupa dengannya. Seperti berbicara pada diri sendiri.

“Arsen,”

Tatapan dari netra elang milik Arsen beralih ke sumber suara yang baru saja memasuki ruang rawat Aksara dengan beberapa tas karton di tangannya. Dia Regantara, pria yang dua tahun terakhir Arsen ketahui bahwa ia adalah ayah kandungnya. Pria yang sejujurnya Arsen benci sekali.

“Kamu lapar?”

Arsen menggeleng sambil kembali mengalihkan tatapannya ke arah kertas putih yang berisi tulisan tangan Aksara. “Terus, gue harus ngapain?”

“Aksara nggak pernah minta kamu buat ngelakuin hal yang rumit, Arsen. Hanya jaga Saranita, itu saja.” Bukan Aksara yang menjawab, melainkan Regantara yang kini sudah berdiri di sampingnya sembari tersenyum kecil.

“Om, buat Arsen itu hal yang rumit.” Arsen mendesah hampir frustasi, karena tanpa sadar Aksara dan Regantara kini mengandalkan dirinya untuk menghadapi Saranita dan kejamnya dunia gadis itu. Padahal Arsen sendiri justru benci menjadi seseorang yang diandalkan untuk dirinya sendiri, dan sekarang justru ia harus bertanggung untuk hidup orang lain. Parahnya, orang itu Saranita.

Arsen berdiri, meletakkan kertas putihnya di atas nakas kemudian berniat untuk pergi. “Gue nggak bisa, Sa. Arsen nggak bisa, Om.” Kakinya membawa pria itu untuk pergi dari ruang persegi yang sekarang dipijakinya.

“Kalau kamu nggak bisa ngelakuin itu untuk Aksara, se-enggaknya kamu lakuin itu untuk diri kamu sendiri, Arsen. Saranita gadis yang bisa diandalkan untuk hidup kamu.” Kalimat Regantara membuat Arsen menghentikan pergerakan ketika jemarinya sudah meraih knop pintu ruangan. “Kamu bisa anggap ini permintaan terakhir saya, Arsen.” Genggaman jemari Arsen di knop pintu mengerat. Rahangnya juga mengeras karena kalimat terakhir dari Regantara cukup membuat dadanya terasa sesak. Namun, Arsen sama sekali tidak berputar. Ia tetap melanjutkan langkah kakinya untuk keluar dari ruangan yang membuat nafasnya terasa sesak.

Sementara Aksara menggenggam jemari Ayah, menatap netra kecokelatan itu penuh harap. Tangannya mulai bergerak perlahan dan tidak jelas.

Ayah, kalau Arsen nggak bisa jaga Saranita, itu artinya Aksara harus sembuh, kan?

Setelah satu menit kalimat itu dilontarkan, Regantara mengangguk. Ia cukup mengabaikan kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Dokter dua jam yang lalu perihal kondisi Aksara yang kian melemah. Semakin banyak dan sering hal-hal sederhana yang hilang dari ingatan Aksara. Bahkan saat ini, putranya itu tidak lagi menyimpan kenangannya bersama Regantara di kepalanya.

“Aksara begitu sayang dengan Saranita, ya?”

Aksara diam di atas pertanyaan yang keluar dari bibir Regantara. Pria itu menatap langit-langit ruang rawatnya sembari mengangkat kurva di bibirnya separuh. Saat ini ia tidak pernah mengerti seberapa besar rasanya untuk Saranita hari yang lalu, yang Aksara tahu, gadis itu butuh seseorang karena tanpa sadar ia telah menggantungkan dirinya pada Aksara.


Lapangan sekolah terasa membosankan. Upacara yang mengabiskan waktu empat puluh lima menit membuat gadis yang berdiri di barisan paling belakang itu jengah. Tangannya terangkat sebelah, membuat kepala sekolah menghentikan amanatnya di depan sana guna memberi ruang juga waktu agar gadis itu berbicara. Namun sudah satu menit, tidak ada satu kata pun yang dilontarkan dari bibir mungilnya.

“Ada apa, Saranita?” Ketika pertanyaan itu dilontarkan, semua pasang mata mencari seseorang yang menjadi pusat atensi kepala sekolah. Beberapa orang tidak heran jika kali ini Saranita kembali membuat ulah, sebab Aksara tidak di sini. Tidak ada lagi Aksara yang mampu membuat Saranita betah untuk berdiri di atas lapangan untuk mendengarkan kata demi kata amanat. Tidak ada lagi alasan terkuat gadis itu untuk berdiam diri tanpa membuat perkara.

“Amanatnya bisa disingkat aja, nggak, Pak? Panas.” Gadis itu mengeluh dengan suara yang begitu lantang, membuat semua manusia di lapangan membisu.

Kepala sekolah di depan sana jadi salah tingkah, kemudian menutup amanatnya dengan segera, karena tanpa sadar amanatnya sudah melebihi waktu yang ditentukan. Hal itu membuat guru Konseling berjalan menghampiri Saranita, dan meminta untuk menemuinya di ruang konseling.

Satu menit setelah upacara selesai Saranita berlari menuju kamar mandi. Ia masuk ke dalam satu bilik dan menguncinya. Air matanya mengalir begitu saja ketika pintu biliknya berhasil dikunci, sedangkan kedua tangan ia gunakan untuk menutup bibir, berharap meredam suara yang ia tahan mati-matian. Upacara membuat dadanya sesak. Setiap sudut sekolah membuat nafas Saranita berhenti sejenak, sebab selalu ada bayangan wajah Aksara di sana. Membuat Saranita semakin merindukan sosok yang entah ada dimana untuk detik ini.

Sejak ditinggalkan tanpa kata oleh pria itu membuat Saranita diam-diam mengingat kesalahannya. Namun sejauh ia berpikir, tidak ada kesalahan fatal di kali terakhir mereka bertemu. Petang itu Saranita hanya menabrakkan daksanya pada milik Aksara, menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu sampai ia tidak bisa tidur malam hari.

Tangan kanan Saranita beralih tugas, ia membawa ujung kerah seragam sekolahnya untuk dihirup dalam-dalam, berharap ada sisa wangi Aksara yang masih menempel di sana. Padahal seberapa kali pun ia mencoba, sudah tidak ada lagi yang tersisa.

“Kenapa kayak gini, sih, Aksara?”

Tiap detik dalam hari-harinya Saranita selalu bertanya pada diri sendiri, perihal apa yang membuat Aksara tidak lagi menemuinya. Padahal dulu, Aksara bahkan rela berdiri di depan rumah dan menantang air langit hanya untuk menebus sebuah kesalahan yang tidak begitu fatal. Saranita masih ingat, bagaimana bibir pria itu membiru dan tangannya yang mulai kaku. Saranita juga masih ingat, bagaimana ia menyalurkan sebuah kehangatan untuk membuat prianya bertahan dalam dinginnya angin malam. Saranita kira, hubungan yang tidak pernah ia rencanakan bersama Aksara akan bertahan lama. Atau bahkan setidaknya bertahan sampai hari kelulusannya tiba. Namun, ternyata Saranita salah. Hubungan itu tidak bertahan lama, tapi rasanya masih selalu sama. Bagaikan diberi formalin, perasaan Saranita untuk Aksara tidak pernah berubah sampai detik ini. Semuanya masih sama.

Di perjalanan pulang, Saranita memberanikan diri untuk melewati jalan yang sama. Jalan yang menjadi saksi bisu waktu Aksara pertama kali menggenggam jemarinya tanpa aba. Ingatan Saranita mulai mengulang kembali hari dimana Aksara tersenyum menenangkan ketika ia mengangkat telepon dari Ibu. Genggaman di tangannya seolah menyalurkan sebuah kekuatan yang padahal ia tidak mempunyai begitu banyak hal itu.

Saranita masih berpijak di atas aspal yang sama. Aspal yang sudah tiga puluh hari tidak pernah ia sapa, karena setiap sudut jalan itu membuatnya kembali membuka memora ingatan perihal Aksara. Seluruh kota Jakarta dipenuhi oleh pria itu tanpa Saranita sadari.

“Sar,”

Seperti ilusi yang berubah menjadi nyata, atau bahkan halusinasi yang terasa begitu meyakinkan. Pria itu di sini. Pria dengan balutan kaus hitam dan jaket abu-abu kesukaannya di sini. Senyumnya terasa berbeda, namun bentuknya hampir sama. Dia—

“Sar, are you okay?

Dia,

bukan Aksara. Melainkan Georgeno Arsen yang kali ini berpenampilan menyerupai Aksara. Dengan bingkai kacamata berwarna hitam yang melengkapi, dan jaket berwarna abu-abu yang dilipat sebatas siku.

“Lo ngapain di sini?” Arsen bertanya dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Terlebih ketika telunjuk Saranita tiba-tiba terangkat, menuju satu rumah bercat putih yang dipenuhi dengan beberapa orang di pelatarannya.

“Rumah Aksara. Gue mau ke sana, Sen.” Setelahnya, gadis itu kembali melanjutkan langkah kaki untuk mendekati beberapa orang dan sekedar bertanya.

Arsen sedikit gelagapan, ia berdiri di hadapan Saranita untuk sekedar menyekat langkah kakinya. Kedua tangan Arsen berlabuh di pundak Saranita, ia menatap netra legam itu penuh harapan. “Rumah Aksara udah dijual. Udah nggak ada siapa-siapa di sana.”

Masih berdiri di tempat yang sama, begitu pula tatapan Saranita yang tertuju pada rumah milik Aksara. Saat gadis itu memutuskan untuk menengadah, netranya bertabrakan dengan bolamata karamel yang dibingkai dengan kacamata milik Arsen. “Lo bohong, ya?”

“Kenapa gue harus bohong?”

Saranita mengangguk, pandangannya beredar ke segala arah. “Iya juga. Lo nggak mungkin bohong, kan?”

Setelah percakapan kecil itu, daksa Saranita mendadak kaku. Ada rasa penasaran yang menjalar di seluruh hatinya karena tiba-tiba saja terasa pilu. Namun, perasaan itu berusaha ia buang jauh-jauh agar di kesendiriannya tidak lagi terjatuh.

“Sar,” panggil Arsen ketika ia mendapati Saranita hendak memutar balik tubuhnya ke arah yang berlawanan dari rumah milik keluarga Aksara.

“Iya?” Saranita menyelam ke dalam netra milik Arsen, netra yang serupa dengan milik Aksara. Membuat Arsen mendadak salah tingkah dan menggeleng kaku. “Enggak.”

Gadis bersurai legam itu mengangguk dan tersenyum kecil sebelum akhirnya pamit untuk pulang. “Yaudah, gue balik, ya.”

“Bareng.” Dengan spontan Arsen mengeluarkan kata ambigu yang membuat Saranita menautkan alisnya. “Pulang ... pulang bareng maksudnya. Lo ke kos, kan?”

Seberapa keras Saranita berusaha untuk memercayai Arsen sepenuhnya perihal Aksara, tapi semakin banyak kecurigaan yang Saranita rasakan atas tingkah laku pria di hadapannya. Namun rasanya hari ini Saranita tidak ingin berpikir terlalu keras, sebab ia begitu lelah atas kenyataan.

“Tumben nggak bawa motor?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Saranita ketika ia dan Arsen berhasil masuk ke dalam metro mini.

Arsen gelagapan. “Itu ... motor gue ketinggalan di rumah Ajinaka.”

Saranita hanya mengangguk sambil membuang pandangannya ke arah jendela, memerhatikan setiap sudut kota yang membawanya untuk selalu ingat perihal Aksara.

“Sar,”

Saranita menoleh, penuh menatap pria di sampingnya. “Apa?”

“Mulai besok, berangkat sama pulang sekolah bareng gue, ya? Kalau mau ke mana-mana, ajak gue.”

b20445b780c856b7d8efcdd85d2b609b

Dialog tentang Asa.

Sebenarnya saya nggak percaya sama kamu, Sen. Tapi keadaan seperti ini membuat saya percaya kalau kamu satu-satunya orang yang bisa jaga Saranita.

Arsen memilih bungkam saat membaca kata demi kata yang Aksara tulis di kertas putihnya. Rasanya aneh bagi Arsen ketika ia harus berbicara banyak dengan orang yang memiliki wajah serupa dengannya. Seperti berbicara pada diri sendiri.

“Arsen,”

Tatapan dari netra elang milik Arsen beralih ke sumber suara yang baru saja memasuki ruang rawat Aksara dengan beberapa tas karton di tangannya. Dia Regantara, pria yang dua tahun terakhir Arsen ketahui bahwa ia adalah ayah kandungnya. Pria yang sejujurnya Arsen benci sekali.

“Kamu lapar?”

Arsen menggeleng sambil kembali mengalihkan tatapannya ke arah kertas putih yang berisi tulisan tangan Aksara. “Terus, gue harus ngapain?”

“Aksara nggak pernah minta kamu buat ngelakuin hal yang rumit, Arsen. Hanya jaga Saranita, itu saja.” Bukan Aksara yang menjawab, melainkan Regantara yang kini sudah berdiri di sampingnya sembari tersenyum kecil.

“Om, buat Arsen itu hal yang rumit.” Arsen mendesah hampir frustasi, karena tanpa sadar Aksara dan Regantara kini mengandalkan dirinya untuk menghadapi Saranita dan kejamnya dunia gadis itu. Padahal Arsen sendiri justru benci menjadi seseorang yang diandalkan untuk dirinya sendiri, dan sekarang justru ia harus bertanggung untuk hidup orang lain. Parahnya, orang itu Saranita.

Arsen berdiri, meletakkan kertas putihnya di atas nakas kemudian berniat untuk pergi. “Gue nggak bisa, Sa. Arsen nggak bisa, Om.” Kakinya membawa pria itu untuk pergi dari ruang persegi yang sekarang dipijakinya.

“Kalau kamu nggak bisa ngelakuin itu untuk Aksara, se-enggaknya kamu lakuin itu untuk diri kamu sendiri, Arsen. Saranita gadis yang bisa diandalkan untuk hidup kamu.” Kalimat Regantara membuat Arsen menghentikan pergerakan ketika jemarinya sudah meraih knop pintu ruangan. “Kamu bisa anggap ini permintaan terakhir saya, Arsen.” Genggaman jemari Arsen di knop pintu mengerat. Rahangnya juga mengeras karena kalimat terakhir dari Regantara cukup membuat dadanya terasa sesak. Namun, Arsen sama sekali tidak berputar. Ia tetap melanjutkan langkah kakinya untuk keluar dari ruangan yang membuat nafasnya terasa sesak.

Sementara Aksara menggenggam jemari Ayah, menatap netra kecokelatan itu penuh harap. Tangannya mulai bergerak perlahan dan tidak jelas.

Ayah, kalau Arsen nggak bisa jaga Saranita, itu artinya Aksara harus sembuh, kan?

Setelah satu menit kalimat itu dilontarkan, Regantara mengangguk. Ia cukup mengabaikan kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Dokter dua jam yang lalu perihal kondisi Aksara yang kian melemah. Semakin banyak dan sering hal-hal sederhana yang hilang dari ingatan Aksara. Bahkan saat ini, putranya itu tidak lagi menyimpan kenangannya bersama Regantara di kepalanya.

“Aksara begitu sayang dengan Saranita, ya?”

Aksara diam di atas pertanyaan yang keluar dari bibir Regantara. Pria itu menatap langit-langit ruang rawatnya sembari mengangkat kurva di bibirnya separuh. Saat ini ia tidak pernah mengerti seberapa besar rasanya untuk Saranita hari yang lalu, yang Aksara tahu, gadis itu butuh seseorang karena tanpa sadar ia telah menggantungkan dirinya pada Aksara.


Lapangan sekolah terasa membosankan. Upacara yang mengabiskan waktu empat puluh lima menit membuat gadis yang berdiri di barisan paling belakang itu jengah. Tangannya terangkat sebelah, membuat kepala sekolah menghentikan amanatnya di depan sana guna memberi ruang juga waktu agar gadis itu berbicara. Namun sudah satu menit, tidak ada satu kata pun yang dilontarkan dari bibir mungilnya.

“Ada apa, Saranita?” Ketika pertanyaan itu dilontarkan, semua pasang mata mencari seseorang yang menjadi pusat atensi kepala sekolah. Beberapa orang tidak heran jika kali ini Saranita kembali membuat ulah, sebab Aksara tidak di sini. Tidak ada lagi Aksara yang mampu membuat Saranita betah untuk berdiri di atas lapangan untuk mendengarkan kata demi kata amanat. Tidak ada lagi alasan terkuat gadis itu untuk berdiam diri tanpa membuat perkara.

“Amanatnya bisa disingkat aja, nggak, Pak? Panas.” Gadis itu mengeluh dengan suara yang begitu lantang, membuat semua manusia di lapangan membisu.

Kepala sekolah di depan sana jadi salah tingkah, kemudian menutup amanatnya dengan segera, karena tanpa sadar amanatnya sudah melebihi waktu yang ditentukan. Hal itu membuat guru Konseling berjalan menghampiri Saranita, dan meminta untuk menemuinya di ruang konseling.

Satu menit setelah upacara selesai Saranita berlari menuju kamar mandi. Ia masuk ke dalam satu bilik dan menguncinya. Air matanya mengalir begitu saja ketika pintu biliknya berhasil dikunci, sedangkan kedua tangan ia gunakan untuk menutup bibir, berharap meredam suara yang ia tahan mati-matian. Upacara membuat dadanya sesak. Setiap sudut sekolah membuat nafas Saranita berhenti sejenak, sebab selalu ada bayangan wajah Aksara di sana. Membuat Saranita semakin merindukan sosok yang entah ada dimana untuk detik ini.

Sejak ditinggalkan tanpa kata oleh pria itu membuat Saranita diam-diam mengingat kesalahannya. Namun sejauh ia berpikir, tidak ada kesalahan fatal di kali terakhir mereka bertemu. Petang itu Saranita hanya menabrakkan daksanya pada milik Aksara, menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu sampai ia tidak bisa tidur malam hari.

Tangan kanan Saranita beralih tugas, ia membawa ujung kerah seragam sekolahnya untuk dihirup dalam-dalam, berharap ada sisa wangi Aksara yang masih menempel di sana. Padahal seberapa kali pun ia mencoba, sudah tidak ada lagi yang tersisa.

“Kenapa kayak gini, sih, Aksara?”

Tiap detik dalam hari-harinya Saranita selalu bertanya pada diri sendiri, perihal apa yang membuat Aksara tidak lagi menemuinya. Padahal dulu, Aksara bahkan rela berdiri di depan rumah dan menantang air langit hanya untuk menebus sebuah kesalahan yang tidak begitu fatal. Saranita masih ingat, bagaimana bibir pria itu membiru dan tangannya yang mulai kaku. Saranita juga masih ingat, bagaimana ia menyalurkan sebuah kehangatan untuk membuat prianya bertahan dalam dinginnya angin malam. Saranita kira, hubungan yang tidak pernah ia rencanakan bersama Aksara akan bertahan lama. Atau bahkan setidaknya bertahan sampai hari kelulusannya tiba. Namun, ternyata Saranita salah. Hubungan itu tidak bertahan lama, tapi rasanya masih selalu sama. Bagaikan diberi formalin, perasaan Saranita untuk Aksara tidak pernah berubah sampai detik ini. Semuanya masih sama.

Di perjalanan pulang, Saranita memberanikan diri untuk melewati jalan yang sama. Jalan yang menjadi saksi bisu waktu Aksara pertama kali menggenggam jemarinya tanpa aba. Ingatan Saranita mulai mengulang kembali hari dimana Aksara tersenyum menenangkan ketika ia mengangkat telepon dari Ibu. Genggaman di tangannya seolah menyalurkan sebuah kekuatan yang padahal ia tidak mempunyai begitu banyak hal itu.

Saranita masih berpijak di atas aspal yang sama. Aspal yang sudah tiga puluh hari tidak pernah ia sapa, karena setiap sudut jalan itu membuatnya kembali membuka memora ingatan perihal Aksara. Seluruh kota Jakarta dipenuhi oleh pria itu tanpa Saranita sadari.

“Sar,”

Seperti ilusi yang berubah menjadi nyata, atau bahkan halusinasi yang terasa begitu meyakinkan. Pria itu di sini. Pria dengan balutan kaus hitam dan jaket abu-abu kesukaannya di sini. Senyumnya terasa berbeda, namun bentuknya hampir sama. Dia—

“Sar, are you okay?

Dia,

bukan Aksara. Melainkan Georgeno Arsen yang kali ini berpenampilan menyerupai Aksara. Dengan bingkai kacamata berwarna hitam yang melengkapi, dan jaket berwarna abu-abu yang dilipat sebatas siku.

“Lo ngapain di sini?” Arsen bertanya dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Terlebih ketika telunjuk Saranita tiba-tiba terangkat, menuju satu rumah bercat putih yang dipenuhi dengan beberapa orang di pelatarannya.

“Rumah Aksara. Gue mau ke sana, Sen.” Setelahnya, gadis itu kembali melanjutkan langkah kaki untuk mendekati beberapa orang dan sekedar bertanya.

Arsen sedikit gelagapan, ia berdiri di hadapan Saranita untuk sekedar menyekat langkah kakinya. Kedua tangan Arsen berlabuh di pundak Saranita, ia menatap netra legam itu penuh harapan. “Rumah Aksara udah dijual. Udah nggak ada siapa-siapa di sana.”

Masih berdiri di tempat yang sama, begitu pula tatapan Saranita yang tertuju pada rumah milik Aksara. Saat gadis itu memutuskan untuk menengadah, netranya bertabrakan dengan bolamata karamel yang dibingkai dengan kacamata milik Arsen. “Lo bohong, ya?”

“Kenapa gue harus bohong?”

Saranita mengangguk, pandangannya beredar ke segala arah. “Iya juga. Lo nggak mungkin bohong, kan?”

Setelah percakapan kecil itu, daksa Saranita mendadak kaku. Ada rasa penasaran yang menjalar di seluruh hatinya karena tiba-tiba saja terasa pilu. Namun, perasaan itu berusaha ia buang jauh-jauh agar di kesendiriannya tidak lagi terjatuh.

“Sar,” panggil Arsen ketika ia mendapati Saranita hendak memutar balik tubuhnya ke arah yang berlawanan dari rumah milik keluarga Aksara.

“Iya?” Saranita menyelam ke dalam netra milik Arsen, netra yang serupa dengan milik Aksara. Membuat Arsen mendadak salah tingkah dan menggeleng kaku. “Enggak.”

Gadis bersurai legam itu mengangguk dan tersenyum kecil sebelum akhirnya pamit untuk pulang. “Yaudah, gue balik, ya.”

“Bareng.” Dengan spontan Arsen mengeluarkan kata ambigu yang membuat Saranita menautkan alisnya. “Pulang ... pulang bareng maksudnya. Lo ke kos, kan?”

Seberapa keras Saranita berusaha untuk memercayai Arsen sepenuhnya perihal Aksara, tapi semakin banyak kecurigaan yang Saranita rasakan atas tingkah laku pria di hadapannya. Namun rasanya hari ini Saranita tidak ingin berpikir terlalu keras, sebab ia begitu lelah atas kenyataan.

“Tumben nggak bawa motor?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Saranita ketika ia dan Arsen berhasil masuk ke dalam metro mini.

Arsen gelagapan. “Itu ... motor gue ketinggalan di rumah Ajinaka.”

Saranita hanya mengangguk sambil membuang pandangannya ke arah jendela, memerhatikan setiap sudut kota yang membawanya untuk selalu ingat perihal Aksara.

“Sar,”

Saranita menoleh, penuh menatap pria di sampingnya. “Apa?”

“Mulai besok, berangkat sama pulang sekolah bareng gue, ya? Kalau mau ke mana-mana, ajak gue.”

b20445b780c856b7d8efcdd85d2b609b

Rasa kelabu.

“Syif, temen sekelas lo yang duduk di kursi paling belakang itu udah jarang masuk, ya?”

“Siapa, sih, Kil?”

Perempuan tadi berdeham, “Itu, lho, yang itu ...”

“Aksara?”

Suara yang keluar dari kedua bibir gadis itu membuat Saranita menghentikan pergerakan, terlebih ketika nama Aksara disebutkan tanpa aba. Jemari kirinya yang bebas terkepal erat, menahan rasa yang entah kenapa tiba-tiba saja hadir dalam dirinya. Perasaan yang entah, ia sendiri pun tidak tahu.

“Oh, iya, Aksara. Dia ke mana, deh? Kok gue jarang liat?”

Gadis bersurai kecokelatan sepinggang itu mengangkat bahunya acuh, “Katanya, sih, pindah sekolah. Cuma gue nggak tau dia pindah kemana.”

Lawan bicaranya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti. Netranya beralih, menatap punggung gadis yang duduk sendirian tepat di meja yang berseberangan dengan mereka. “Sar,”

Saranita diam, tidak menoleh. Berpura-pura tuli adalah pilihannya ketika ada beberapa orang mulai bertanya perihal keberadaan Aksara. Sebab, Saranita sendiri tidak tahu dimana pria itu berada. Hari ini adalah tepat hari ke tiga puluh ia lewati sendirian tanpa Aksara, tanpa balasan pesan dari pria itu, tanpa kata-kata penyemangat di setiap paginya.

“Saranita,” Suara gadis yang diketahui bernama Raqueelia atau kerap disapa Kila itu sedikit meninggi, diselipi harapan agar Saranita mau menjawab rasa keingintahuan nya itu.

Kali ini Saranita menoleh, tapi kepalan di tangannya semakin menguat. “Apa?”

“Aksara pacar lo, kan?”

“Kenapa?”

Raqueelia menatap mata kosong milik Saranita kebingungan. Sejak duduk di kursi Sekolah Menengah Atas, Raqueelia selalu mendapat jatah untuk satu kelas dengan Saranita. Walau tidak begitu akrab dengan Saranita, ia sadar bahwa sejak satu bulan kemarin Saranita jelas berbeda. Akhirnya Raqueelia menggeleng dan memilih untuk memendam rasa ingintahu nya itu.

“Aksara pindah sekolah.” Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. Berharap dengan sangat Raqueelia mengerti atas jawaban tiga kata itu bahwa ia tidak lagi ingin ditanyakan perihal ini. Bukan. Bukan karena Saranita tidak ingin menjawab segala pertanyaan tentang Aksara, tapi bagaimana caranya Saranita ingin menjawab jika ia sendiri tidak tahu dimana keberadaan pria itu?

Raqueelia tersenyum dan mengangguk. “Oh, gitu.”

“Pindah kemana, Sar? Kok sayang banget, sih? Tahun ini kita harusnya lulus. Masa Aksara pindah?”

Saranita sempat bersyukur ketika Raqueelia memilih untuk memutus percakapan mereka, tapi rasa syukur itu tiba-tiba hilang ketika Syifa yang terlihat tidak peduli justru kembali bertanya perihal prianya.

“Kanada.” Saranita berdiri, hendak meninggalkan semangkuk soto yang baru saja diantar oleh Mas Adi. “Aksara pindah ke Kanada, Syif. Gue duluan, ya?” Tanpa permisi, Saranita berlari menuju perpustakaan yang berada di lantai tiga. Lantai yang jarang sekali dipijaki oleh murid-murid kecuali sedang ada tugas dari guru Bahasa Indonesia.

Kakinya melangkah perlahan, menuju rak buku yang terletak paling belakang. Saranita mengambil satu buku tentang astronomi, kemudian duduk tepat di pojok ruangan yang ditutupi oleh rak buku lain. Bukunya sama sekali tidak dibaca, hanya dibiarkan terbuka untuk menemani pikirannya yang kosong. Saranita bingung. Bingung dengan dunianya yang begitu rumit. Membuat pikirannya kusut seperti benang yang tidak pernah ia tahu dimana ujungnya.

Setelah membiarkan pikirannya kosong beberapa menit, Saranita memilih untuk merogoh saku seragam sekolahnya. Mengambil ponsel dan mengaktifkan data. Tatapannya tidak pernah lepas dari benda pipih itu, berharap ada notifikasi yang dipenuhi oleh nama seseorang—tentu saja Aksara. Namun, seberapa lama Saranita menunggu, tidak ada jawaban apapun atas pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan pada Aksara melalui pesan. Lagi-lagi ia menghela nafas, melempar pelan ponselnya di atas meja.

“Kak,”

Saranita mendongakkan kepala, didapati Harsa yang sedang berdiri dengan cengigisan. Pria berpostur tinggi itu ikut duduk di samping Saranita, menyandarkan daksanya pada tembok bercat abu-abu. “Gimana?”

“Apanya?” Harsa kebingungan, pasalnya ia belum menyampaikan apapun kepada gadis bersurai legam di sebelahnya. Namun, tatapan Harsa berubah melunak ketika otaknya mulai menebak sesuatu. “Nanti malem kita ada jadwal nyanyi di Cafe. Bayarannya nggak begitu banyak, tapi kayaknya cukup untuk nambahin uang kost lo.”

“Kalian?”

Lagi. Harsa kebingungan lagi. “Kak, lo kalo ngomong jangan setengah-setengah bisa?” Nada bicaranya terdengar frustasi di rungu milik Saranita, membuat gadis itu terkekeh singkat. “Kalau uang bayar nyanyi di Cafe cukup untuk nambahin uang kost gue, kalian gimana?”

Harsa berdeham sambil menutup matanya, berharap Saranita tidak mengetahui jika ada sesuatu yang sedang disembuyikan. “Gue .... gue udah ngomong ke yang lain soal bayaran kali ini. Kita setuju untuk kasih ke lo semuanya.”

Saranita tertawa kecil, mengubah posisi duduknya untuk menatap Harsa yang sedang menutup kedua matanya. “Harsa. Jangan bohong.”

Mati gue.” jerit Harsa dalam hati. Kemudian membuka kedua matanya yang langsung ditatap penuh selidik oleh Saranita. “Gue nggak boho—”

“Lo sama yang lain itu bikin * Group Band*, nyanyi ke sana-sini ya untuk cari uang, kan? Bukan cari pahala.” desis Saranita sarkas. Membuat Harsa menolehkan kepalanya, netra itu menusuk tulus ke milik Saranita. Kali ini Harsa berani bersumpah, semakin ia menyelam di bolamata gadis itu, semakin banyak juga luka-luka yang tidak dapat ia baca maknanya. “Harsa, gue nerima tawaran lo sama yang lain itu bukan untuk dikasihani.”

“Kak,”

“Harsa.”

“Okay. Kita bagi-bagi hasilnya.” Final Harsa diakhiri dengan helaan nafas yang begitu panjang.


“Ayah tau, kan? Pertama kali Saranita ketemu sama istri Ayah yang baru? Saranita kacau,” Saranita menghela nafas, netranya menelusuri ruang tengah kosan yang tidak ada siapa-siapa. “Saranita beneran nggak mau, Yah. Saranita nggak mau kalau ketemu sama istri Ayah lagi, dan lepas kendali. Saranita nggak mau bikin malu Ayah di depan banyak orang kayak dulu.”

“Sar,”

Saranita menoleh, mendapati Arsen yang dibalut dengan jeans dan kemeja hitam kesukaannya. Telunjuknya ia letakkan di depan bibir, berharap Arsen tidak melanjutkan kalimatnya karena fokusnya kini ada di benda pipih yang menempel di rungu. “Ayah, udah, ya? Bukannya Saranita nggak mau ketemu sama Ayah, tapi Saranita belum siap. Tolong ngerti, ya?”

Satu detik setelah Saranita menutup panggilan dari Ayah, netranya menatap Arsen dari atas ke bawah sampai tiga kali. Pria itu terlihat berbeda, lebih berantakan dari biasanya. “Lo kenapa?”

Bukannya menjawab, pria berkemeja hitam itu justru menabrakkan dirinya pada daksa Saranita. Meletakkan wajahnya di selangka gadis itu tanpa kata juga suara. Berkali-kali Arsen menarik nafasnya, berharap udara tidak akan pernah habis. Tingkah Arsen perlahan membuat Saranita mengangkat tangannya, mengelus punggung pria itu lembut. “Hari ini berat, ya?”

Pertanyaan itu dilontarkan seolah ia sedang dalam keadaan baik-baik saja, seolah tidak ada yang mengganggu pikirannya, seolah hari ini adalah hari yang berjalan dengan baik dan sesuai keinginan. Padahal siapa yang tahu, bahwa hari ini berjalan begitu buruk untuk Saranita Senja. Gadis itu kebingungan, harinya kelabu sejak Aksara tidak lagi memberi kabar.

Beberapa menit setelah Arsen merasa cukup, pria itu melangkahkan kakinya mundur untuk memberi sedikit jarak antara ia dan Saranita. Arsen menatap netra Saranita dalam, berjelajah di kegelapan itu tanpa kata.

“Gue nggak tau apa masalah lo, Sen. Lo juga nggak harus percaya sama gue, tapi kalau boleh kasih pendapat, semua bakalan baik-baik aja setelah lo ngelewatin masalah ini.” Jemari Saranita yang bebas teekepal erat ketika ia mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selalu Aksara tulis di tiap halaman bukunya ketika Saranita sedang merasa tidak baik-baik saja.

“Sar,” Tangan Arsen terangkat sebelah, jemarinya menyisir surai legam milik Saranita untuk merapikannya agar gadis itu terlihat lebih anggun. “Maafin gue, ya?”

“Maksudnya?” Saranita tidak mengerti, alisnya bertaut menjadi satu. Rasanya ingin sekali Saranita meminta penjelasan lebih atas kalimat Arsen, tapi setelah pria itu menengadah untuk berusaha keras agar air matanya tidak tumpah, semua kalimat Saranita hilang begitu saja. Pasalnya baru pertama kali Saranita melihat Arsen runtuh di hadapannya seperti orang yang tidak lagi ingin hidup di dunia. Tatapan pria itu kosong, seperti tidak ada lagi alasan untuk berdiri kokoh di atas bumi.

“Sar,”

Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya. “Gue maafin. Sekarang lo istirahat, ya? Tenangin pikiran lo.” Kalimatnya membuat seluruh sendi di tubuh Arsen kaku. Jemari pria itu justru mengepal erat dan bergetar hebat. “Kalau udah tenang, lo bisa cerita ke gue.”

“Sar,” Arsen mati-matian berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. Namun pria itu gagal, dinding pertahannya runtuh seiring daksanya yang jatuh berlutut di hadapan kaki Saranita. Pria itu menangis, suaranya berkumandang sampai beberapa orang keluar dari masing-masing kamarnya—termasuk pemilik kos yang memiliki status sebagai Mamanya Arsen.

“Arsen, lo nggak perlu kayak gini.” Saranita berjongkok, membantu pria yang wajahnya memerah itu untuk duduk dan menenangkannya. “Lo nggak punya kesalahan fatal buat gue, Sen. Jangan kayak gini, jangan bikin gue sama yang lain bingung.”

“Sara,”

“Arsen.”

“Maaf. Aksara—”

“Arsen, istirahat, ya?”

5866916a2f4d61f161539d3cea1c64d4

Rasa kelabu.

“Syif, temen sekelas lo yang duduk di kursi paling belakang itu udah jarang masuk, ya?”

“Siapa, sih, Kil?”

Perempuan tadi berdeham, “Itu, lho, yang itu ...”

“Aksara?”

Suara yang keluar dari kedua bibir gadis itu membuat Saranita menghentikan pergerakan, terlebih ketika nama Aksara disebutkan tanpa aba. Jemari kirinya yang bebas terkepal erat, menahan rasa yang entah kenapa tiba-tiba saja hadir dalam dirinya. Perasaan yang entah, ia sendiri pun tidak tahu.

“Oh, iya, Aksara. Dia ke mana, deh? Kok gue jarang liat?”

Gadis bersurai kecokelatan sepinggang itu mengangkat bahunya acuh, “Katanya, sih, pindah sekolah. Cuma gue nggak tau dia pindah kemana.”

Lawan bicaranya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti. Netranya beralih, menatap punggung gadis yang duduk sendirian tepat di meja yang berseberangan dengan mereka. “Sar,”

Saranita diam, tidak menoleh. Berpura-pura tuli adalah pilihannya ketika ada beberapa orang mulai bertanya perihal keberadaan Aksara. Sebab, Saranita sendiri tidak tahu dimana pria itu berada. Hari ini adalah tepat hari ke tiga puluh ia lewati sendirian tanpa Aksara, tanpa balasan pesan dari pria itu, tanpa kata-kata penyemangat di setiap paginya.

“Saranita,” Suara gadis yang diketahui bernama Raqueelia atau kerap disapa Kila itu sedikit meninggi, diselipi harapan agar Saranita mau menjawab rasa keingintahuan nya itu.

Kali ini Saranita menoleh, tapi kepalan di tangannya semakin menguat. “Apa?”

“Aksara pacar lo, kan?”

“Kenapa?”

Raqueelia menatap mata kosong milik Saranita kebingungan. Sejak duduk di kursi Sekolah Menengah Atas, Raqueelia selalu mendapat jatah untuk satu kelas dengan Saranita. Walau tidak begitu akrab dengan Saranita, ia sadar bahwa sejak satu bulan kemarin Saranita jelas berbeda. Akhirnya Raqueelia menggeleng dan memilih untuk memendam rasa ingintahu nya itu.

“Aksara pindah sekolah.” Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. Berharap dengan sangat Raqueelia mengerti atas jawaban tiga kata itu bahwa ia tidak lagi ingin ditanyakan perihal ini. Bukan. Bukan karena Saranita tidak ingin menjawab segala pertanyaan tentang Aksara, tapi bagaimana caranya Saranita ingin menjawab jika ia sendiri tidak tahu dimana keberadaan pria itu?

Raqueelia tersenyum dan mengangguk. “Oh, gitu.”

“Pindah kemana, Sar? Kok sayang banget, sih? Tahun ini kita harusnya lulus. Masa Aksara pindah?”

Saranita sempat bersyukur ketika Raqueelia memilih untuk memutus percakapan mereka, tapi rasa syukur itu tiba-tiba hilang ketika Syifa yang terlihat tidak peduli justru kembali bertanya perihal prianya.

“Kanada.” Saranita berdiri, hendak meninggalkan semangkuk soto yang baru saja diantar oleh Mas Adi. “Aksara pindah ke Kanada, Syif. Gue duluan, ya?” Tanpa permisi, Saranita berlari menuju perpustakaan yang berada di lantai tiga. Lantai yang jarang sekali dipijaki oleh murid-murid kecuali sedang ada tugas dari guru Bahasa Indonesia.

Kakinya melangkah perlahan, menuju rak buku yang terletak paling belakang. Saranita mengambil satu buku tentang astronomi, kemudian duduk tepat di pojok ruangan yang ditutupi oleh rak buku lain. Bukunya sama sekali tidak dibaca, hanya dibiarkan terbuka untuk menemani pikirannya yang kosong. Saranita bingung. Bingung dengan dunianya yang begitu rumit. Membuat pikirannya kusut seperti benang yang tidak pernah ia tahu dimana ujungnya.

Setelah membiarkan pikirannya kosong beberapa menit, Saranita memilih untuk merogoh saku seragam sekolahnya. Mengambil ponsel dan mengaktifkan data. Tatapannya tidak pernah lepas dari benda pipih itu, berharap ada notifikasi yang dipenuhi oleh nama seseorang—tentu saja Aksara. Namun, seberapa lama Saranita menunggu, tidak ada jawaban apapun atas pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan pada Aksara melalui pesan. Lagi-lagi ia menghela nafas, melempar pelan ponselnya di atas meja.

“Kak,”

Saranita mendongakkan kepala, didapati Harsa yang sedang berdiri dengan cengigisan. Pria berpostur tinggi itu ikut duduk di samping Saranita, menyandarkan daksanya pada tembok bercat abu-abu. “Gimana?”

“Apanya?” Harsa kebingungan, pasalnya ia belum menyampaikan apapun kepada gadis bersurai legam di sebelahnya. Namun, tatapan Harsa berubah melunak ketika otaknya mulai menebak sesuatu. “Nanti malem kita ada jadwal nyanyi di Cafe. Bayarannya nggak begitu banyak, tapi kayaknya cukup untuk nambahin uang kost lo.”

“Kalian?”

Lagi. Harsa kebingungan lagi. “Kak, lo kalo ngomong jangan setengah-setengah bisa?” Nada bicaranya terdengar frustasi di rungu milik Saranita, membuat gadis itu terkekeh singkat. “Kalau uang bayar nyanyi di Cafe cukup untuk nambahin uang kost gue, kalian gimana?”

Harsa berdeham sambil menutup matanya, berharap Saranita tidak mengetahui jika ada sesuatu yang sedang disembuyikan. “Gue .... gue udah ngomong ke yang lain soal bayaran kali ini. Kita setuju untuk kasih ke lo semuanya.”

Saranita tertawa kecil, mengubah posisi duduknya untuk menatap Harsa yang sedang menutup kedua matanya. “Harsa. Jangan bohong.”

Mati gue.” jerit Harsa dalam hati. Kemudian membuka kedua matanya yang langsung ditatap penuh selidik oleh Saranita. “Gue nggak boho—”

“Lo sama yang lain itu bikin * Group Band*, nyanyi ke sana-sini ya untuk cari uang, kan? Bukan cari pahala.” desis Saranita sarkas. Membuat Harsa menolehkan kepalanya, netra itu menusuk tulus ke milik Saranita. Kali ini Harsa berani bersumpah, semakin ia menyelam di bolamata gadis itu, semakin banyak juga luka-luka yang tidak dapat ia baca maknanya. “Harsa, gue nerima tawaran lo sama yang lain itu bukan untuk dikasihani.”

“Kak,”

“Harsa.”

“Okay. Kita bagi-bagi hasilnya.” Final Harsa diakhiri dengan helaan nafas yang begitu panjang.


“Ayah tau, kan? Pertama kali Saranita ketemu sama istri Ayah yang baru? Saranita kacau,” Saranita menghela nafas, netranya menelusuri ruang tengah kosan yang tidak ada siapa-siapa. “Saranita beneran nggak mau, Yah. Saranita nggak mau kalau ketemu sama istri Ayah lagi, dan lepas kendali. Saranita nggak mau bikin malu Ayah di depan banyak orang kayak dulu.”

“Sar,”

Saranita menoleh, mendapati Arsen yang dibalut dengan jeans dan kemeja hitam kesukaannya. Telunjuknya ia letakkan di depan bibir, berharap Arsen tidak melanjutkan kalimatnya karena fokusnya kini ada di benda pipih yang menempel di rungu. “Ayah, udah, ya? Bukannya Saranita nggak mau ketemu sama Ayah, tapi Saranita belum siap. Tolong ngerti, ya?”

Satu detik setelah Saranita menutup panggilan dari Ayah, netranya menatap Arsen dari atas ke bawah sampai tiga kali. Pria itu terlihat berbeda, lebih berantakan dari biasanya. “Lo kenapa?”

Bukannya menjawab, pria berkemeja hitam itu justru menabrakkan dirinya pada daksa Saranita. Meletakkan wajahnya di selangka gadis itu tanpa kata juga suara. Berkali-kali Arsen menarik nafasnya, berharap udara tidak akan pernah habis. Tingkah Arsen perlahan membuat Saranita mengangkat tangannya, mengelus punggung pria itu lembut. “Hari ini berat, ya?”

Pertanyaan itu dilontarkan seolah ia sedang dalam keadaan baik-baik saja, seolah tidak ada yang mengganggu pikirannya, seolah hari ini adalah hari yang berjalan dengan baik dan sesuai keinginan. Padahal siapa yang tahu, bahwa hari ini berjalan begitu buruk untuk Saranita Senja. Gadis itu kebingungan, harinya kelabu sejak Aksara tidak lagi memberi kabar.

Beberapa menit setelah Arsen merasa cukup, pria itu melangkahkan kakinya mundur untuk memberi sedikit jarak antara ia dan Saranita. Arsen menatap netra Saranita dalam, berjelajah di kegelapan itu tanpa kata.

“Gue nggak tau apa masalah lo, Sen. Lo juga nggak harus percaya sama gue, tapi kalau boleh kasih pendapat, semua bakalan baik-baik aja setelah lo ngelewatin masalah ini.” Jemari Saranita yang bebas teekepal erat ketika ia mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selalu Aksara tulis di tiap halaman bukunya ketika Saranita sedang merasa tidak baik-baik saja.

“Sar,” Tangan Arsen terangkat sebelah, jemarinya menyisir surai legam milik Saranita untuk merapikannya agar gadis itu terlihat lebih anggun. “Maafin gue, ya?”

“Maksudnya?” Saranita tidak mengerti, alisnya bertaut menjadi satu. Rasanya ingin sekali Saranita meminta penjelasan lebih atas kalimat Arsen, tapi setelah pria itu menengadah untuk berusaha keras agar air matanya tidak tumpah, semua kalimat Saranita hilang begitu saja. Pasalnya baru pertama kali Saranita melihat Arsen runtuh di hadapannya seperti orang yang tidak lagi ingin hidup di dunia. Tatapan pria itu kosong, seperti tidak ada lagi alasan untuk berdiri kokoh di atas bumi.

“Sar,”

Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya. “Gue maafin. Sekarang lo istirahat, ya? Tenangin pikiran lo.” Kalimatnya membuat seluruh sendi di tubuh Arsen kaku. Jemari pria itu justru mengepal erat dan bergetar hebat. “Kalau udah tenang, lo bisa cerita ke gue.”

“Sar,” Arsen mati-matian berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. Namun pria itu gagal, dinding pertahannya runtuh seiring daksanya yang jatuh berlutut di hadapan kaki Saranita. Pria itu menangis, suaranya berkumandang sampai beberapa orang keluar dari masing-masing kamarnya—termasuk pemilik kos yang memiliki status sebagai Mamanya Arsen.

“Arsen, lo nggak perlu kayak gini.” Saranita berjongkok, membantu pria yang wajahnya memerah itu untuk duduk dan menenangkannya. “Lo nggak punya kesalahan fatal buat gue, Sen. Jangan kayak gini, jangan bikin gue sama yang lain bingung.”

“Sara,”

“Arsen.”

“Maaf. Kalau selama ini—”

“Arsen, istirahat, ya?”

5866916a2f4d61f161539d3cea1c64d4

Metro mini yang mengantarkannya kembali.

Beberapa waktu lalu, rumah adalah tempat yang selalu Saranita hindari selama hidupnya. Namun saat ini, ketika netranya bertemu dengan milik Aksara di pelataran Sekolah membuat seluruh darah yang mengalir berubah menjadi hangat. Baru satu kali Saranita merasakan debaran hebat yang membuat kedua sudut bibirnya tidak berhenti menyunggingkan sebuah senyum.

Dia, pria bertopi merah itu terasa seperti rumah. Senyum sederhananya selalu menghantarkan seluruh rasa hangat ke setiap denyut nadi Saranita. Tatapan netranya, menusuk sampai jantung yang berdetak begitu cepat. Embusan nafasnya sama seperti daksa yang Saranita selalu harapkan untuk bertahan lebih lama di Bumi ini.

“Kamu udah lama?” tanya Saranita begitu Aksara sampai tepat di hadapannya dengan hoodie biru tua yang menyempurnakan keteduhan wajahnya.

Aksara menggeleng, bolamata cokelatnya tidak pernah lepas dari tiap kedipan manik cantik milik Saranita. “Baru. Aku baru sampai.

Selama mengenal Aksara, selama itu juga Saranita tidak pernah melihat tatapan kosong seperti yang pria itu perlihatkan siang ini. Kebisingan di sekitar seolah teredam oleh debaran yang diciptakan oleh masing-masing dari mereka.

“Kita mau ke mana, Sa?” Pertanyaan itu terlontar satu detik setelah Aksara menyambar jemari Saranita, menautkan dengan miliknya lalu membawa gadis itu duduk di bawah atap halte untuk menunggu metro mini.

Netra Saranita beralih ke sana-kemari, ia bingung ketika ada satu lagi metro mini yang singgah dan Aksara justru terdiam sambil menatap beberapa siswa lain berbondong-bondong masuk ke dalamnya. Padahal sudah metro mini ke-tiga setelah mereka berdua duduk di halte. Sekarang tersisa Aksara, Saranita, dan satu pedagang asongan yang sedang bersandar di tiang penyanggah halte.

“Aksa,” Saranita menggerakkan tangannya yang tergenggam erat oleh Aksara. Gadis itu berniat untuk melontarkan pertanyaan yang membuatnya sedari tadi kebingungan. Namun sebelum Saranita melanjutkan kalimatnya, Aksara sudah lebih dulu melepaskan genggaman mereka.

Kita nunggu metro mini yang sepi aja, ya? Aku nggak mau kamu berdiri lebih lama di dalam metro mini, karena tujuan kita kali ini sepertinya lebih jauh dari pada rute rumah kamu.” Pria itu menjelaskan perlahan, berharap Saranita mengerti dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari sejak kecil.

Gadis berambut legam itu menoleh ke mobil hitam yang masih terparkir di pinggir jalan. “Itu mobil Ayah, kan? Kenapa kita nggak naik mobil aja?”

Aku kepengin naik metro mini untuk hari ini.” Kurva itu terangkat dengan indah walau sebenarnya ia menangkap raut kebingungan yang ada di wajah milik gadisnya.

“Tiba-tiba?” Saranita menautkan alisnya, bingung.

Aksara menggeleng, “Aku nggak pernah tau Tuhan akan kasih waktu berapa lama lagi untuk tetap tinggal di—”

Pergerakan pria itu terhenti ketika Saranita dengan sengaja menarik tangannya karena kebetulan sekali metro mini dengan rute tujuan mereka sudah tiba. Saranita memejamkan mata sebelum akhirnya menarik Aksara masuk ke dalam kendaraan berwarna hijau itu. Ia bergerak, mencari dua kursi yang kosong untuk ditempati. Tidak terlalu belakang, juga tidak terlalu di bagian depan, akhirnya Saranita memutuskan untuk duduk tepat di sebelah jendela, ia menarik Aksara agar duduk di sampingnya dengan segera.

Kalimat yang belum sempat Aksara sampaikan di bawah atap halte tadi seketika memenuhi isi kepala Saranita, membuatnya lagi-lagi memejamkan mata. Saranita takut. Takut sekali. Genggaman tangannya semakin erat sampai rasanya ia tidak mau Aksara hilang.

Tangan Aksara yang bebas kini bergerak untuk merapikan surai legam kekasihnya. Ia menangkap raut kekhawatiran ketika gadis itu balik menatapnya. “Ada apa, Saranita?

Gelengan kepala yang menjadi jawaban gadis itu ternyata tidak menjawab pertanyaan Aksara. “Tadi di halte ... Jangan ngomong kayak gitu lagi, Aksa.”

Aksara terkekeh tanpa suara. Ternyata gadis yang kata Ayah selalu menjadi nomor satu di hidupnya itu sedang punya kekhawatiran yang sama dengan dirinya. Aksara juga sama. Inginnya ia tetap di sini, bersama dengan orang-orang yang memberi kasih sayang tanpa jeda kepadanya. Namun Aksara tahu diri, karena saat ini kondisinya untuk mengingat Saranita pun ia tidak mampu. Apalagi jika ia harus mengingat makanan kesukaan gadis itu? Lalu bagaimana dengan hal-hal yang membuat gadis itu bahagia? Aksara tidak mampu mengingatnya.

Untuk kedua kalinya genggaman di tangan Aksara terlepas begitu saja. Ia beralih untuk merengkuh daksa Saranita, meletakkan dagu di atas kepala gadisnya sambil memejamkan mata. Tidak peduli dengan seorang Ibu-Ibu yang duduk di seberang kursi mereka, memerhatikan sejak dua menit yang lalu. Aksara terkekeh lebih dulu sebelum akhirnya mengecup puncak kepala Saranita satu kali. Melepaskan pelukan hangat itu kemudian mengeluarkan buku catatan yang ia simpan di saku bersamaan dengan penanya.

Calon istri saya sedang pengin dipeluk, Bu.

Setelah menulis kalimat itu, ia menyerahkan kertas yang sudah disobek kepada Ibu berumur hampir senja tadi.

“AKSA!” protes Saranita saat mengetahui perlakuan Aksara yang dengan entah apa tujuannya menulis seperti itu. Kemudian ia berbisik, “kamu kenapa bohong?”

Habisnya, Ibu itu ngelihatin terus. Aku nggak suka dilihatin perempuan selain kamu. Nanti kamu cemburu.

Lagi-lagi Saranita berbisik, “Astaga! Itu Ibu-Ibu, Aksa. Mana mungkin aku cemburu sama Ibu-Ibu yang mungkin umurnya hampir lima puluh?”

Ya, tetap saja. Jaga perasaanmu itu nomor satu. Masalah itu Ibu-Ibu atau anak muda itu masih nomor sekian, Sara.

Astaga. Saranita kualahan, tapi ada bagian tenang yang seketika menjalar dalam tiap darah Saranita. Setidaknya, Aksara masih orang yang sama. Masih Aksara yang selalu memberinya kalimat panjang nan manis, masih Aksara yang keras kepala, juga masih Aksara yang perlakuannya bagaikan sabu yang selalu membuat Saranita candu.


Sekarang kaki dua anak adam itu menapaki tempat yang dimaksud oleh Aksara. Membuat gadis berambut sebahu itu kebingungan, ia menyipitkan netranya yang beredar ke seluruh penjuru tempat itu. Tidak menangkap apa-apa, kemudian kembali menatap pemuda yang kini justru melemparkan senyum ke arahnya. Saranita kira, Aksara akan membawanya ke tempat yang berbeda.

“Kenapa atap rumah sakit?”

Aksara mengangguk, “Tempat kesukaan aku sejak beberapa hari yang lalu. Sejak aku ngerasa sendirian, dan sejak ... aku lupa sama kamu.

Saranita membawa langkah kakinya untuk maju ke dinding sebatas pinggulnya, netra pekat itu kembali berjelajah untuk menatap satu persatu apa saja yang dapat ia lihat dari atas sini. Ternyata benar, Aksara tetap orang yang sama. Aksara masih Aksaranya yang dulu. Mulai dari cara pria itu memperlakukannya, dari cara ia menyukai dataran yang lebih tinggi untuk menatap gedung-gedung kota Jakarta, sampai dari bagaimana cara pria itu tersenyum. Rasanya masih sama.

Daksa kecil perempuan itu berbalik, menatap Aksara yang ternyata sejak tadi memperhatikan punggungnya dengan seutas senyum manis. Sekon-sekon berikutnya, mereka isi untuk menatap satu sama lain dengan embusan angin sore yang menyapu kulit masing-masing. Beruntungnya tidak ada orang lagi di sini, luasnya atap rumah sakit hanya diisi oleh Aksara, Saranita, dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diungkapkan satu sama lain.

“Aku ... punya banyak pertanyaan.” Akhirnya Saranita bersuara, memecahkan keheningan yang menyelimuti keduanya. Gadis itu kembali memutar balik daksa untuk menatap bangunan lain yang dapat disapu oleh netranya. Sedangkan Aksara baru membawa langkah kaki yang kian memberat itu untuk berdiri di samping gadisnya. Ia melakukan hal yang sama, menatap seluruh bangunan dari atap rumah sakit. “Aksa,”

Pemuda bertopi merah itu menoleh, tatapan mereka lagi-lagi bertemu entah untuk yang ke-berapa kali untuk hari ini. “Tanyain aja, Sara. Aku jawab semuanya.

Sama. Sekali lagi, Aksara masih sama. Masih Aksara yang dengan siap menjawab seluruh kalimat tanya yang Saranita tidak mampu temukan jawabannya sendiri. Pertanyaan yang begitu asing namun selalu menjadi sarang atas seluruh rasa sakit di kepalanya.

“Kamu,” Saranita menggantung kalimatnya. Ia menjelajah masuk ke dalam netra kecokelatan milik kekasihnya untuk mencari sesuatu yang barang kali selalu pria itu sembunyikan darinya. Namun tetap saja. Saranita tidak mengerti. Tatapan Aksara begitu sulit untuk diartikan.

Bingungnya dibagi dua sama aku. Jangan bingung sendiri.

Saranita terkekeh dengan sedikit paksaan walau di dalam dirinya ada sedikit rasa penasaran. “Kamu kangen sama aku, nggak?” Pertanyaan bodoh itu, Saranita cukup menyesalinya ketika terlontar untuk beberapa detik. Jelas saja Aksara tidak merindu, sebab untuk mengingat dirinya saja pria itu tidak mampu. “Eh, jangan—”

Aku nggak tau pasti perasaan rindu itu kayak gimana, Sar, tapi kalau boleh jujur, ada sebagian perasaan aneh hari itu. Hari di mana kamu ke rumah untuk pertama kali setelah aku lupa sama kamu.

“Perasaan aneh kayak gimana maksudnya?” Aneh, tapi rasa senangnya begitu nyata ketika kalimat itu terungkap melalui pergerakan tangan Aksara. Saranita bahkan tidak mampu untuk sekedar menahan senyumnya barang satu detik. Tidak pernah rasanya ia sebahagia ini ketika dirindukan oleh seseorang.

Aneh aja. Tatapan kamu bikin aku ngerasa istimewa walaupun cuma satu detik, karena setelah itu rasanya asing. Hati aku sakit pas kamu berubah sedih.

Gadis bersurai sebahu itu terkekeh, “Ya, gimana nggak sedih? Kamu nggak kenal sama aku hari itu. Aku pengin marah, tapi aku tau kalau aku nggak punya hak untuk itu.”

Ada. Kamu punya hak dan perasaan kamu itu valid.” Aksara kembali menatap ke depan seolah sedang menghancurkan gedung tinggi yang menantang langit. Tatapan marah dengan mata yang memerah. Aksara marah pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya ia lupa dengan gadis kesayangannya. “Marah, marah aja, Sara. Pukul kalau perlu.” Tatapan Aksara kembali berlabuh pada Saranita yang berdiri di sebelahnya, meminta gadis itu untuk mengeluarkan amarahnya dengan segera. Namun tanpa disangka, Saranita justru menenggelamkan wajahnya di dada bidang pemuda itu, menghirup udara dengan rakus untuk menahan segala tangis yang dapat keluar kapan saja.

“Aku kangen kayak gini.” bisiknya yang tidak dengan jelas masuk ke dalam rungu Aksara.

Tanpa Saranita sadari, diam-diam Aksara justru menjatuhkan air mata dan menghapusnya dengan segera. Sebab ada bagian yang patah dalam diri Aksara ketika daksa kecil itu menubruknya cukup keras, kepingan hati yang patah itu berhamburan ke mana-mana. Tangannya bergerak untuk mengelus surai lembut gadisnya perlahan-lahan yang turun ke punggung. Jika saja Aksara bisa berbisik, ada banyak permohonan maaf yang ingin sekali terlontar dengan segera.

ad49b627-695c-4249-b74f-0fb588d8fea4

Metro mini yang mengantarkannya kembali.

Beberapa waktu lalu, rumah adalah tempat yang selalu Saranita hindari selama hidupnya. Namun saat ini, ketika netranya bertemu dengan milik Aksara di pelataran Sekolah membuat seluruh darah yang mengalir berubah menjadi hangat. Baru satu kali Saranita merasakan debaran hebat yang membuat kedua sudut bibirnya tidak berhenti menyunggingkan sebuah senyum.

Dia, pria bertopi merah itu terasa seperti rumah. Senyum sederhananya selalu menghantarkan seluruh rasa hangat ke setiap denyut nadi Saranita. Tatapan netranya, menusuk sampai jantung yang berdetak begitu cepat. Embusan nafasnya sama seperti daksa yang Saranita selalu harapkan untuk bertahan lebih lama di Bumi ini.

“Kamu udah lama?” tanya Saranita begitu Aksara sampai tepat di hadapannya dengan hoodie biru tua yang menyempurnakan keteduhan wajahnya.

Aksara menggeleng, bolamata cokelatnya tidak pernah lepas dari tiap kedipan manik cantik milik Saranita. “Baru. Aku baru sampai.

Selama mengenal Aksara, selama itu juga Saranita tidak pernah melihat tatapan kosong seperti yang pria itu perlihatkan siang ini. Kebisingan di sekitar seolah teredam oleh debaran yang diciptakan oleh masing-masing dari mereka.

“Kita mau ke mana, Sa?” Pertanyaan itu terlontar satu detik setelah Aksara menyambar jemari Saranita, menautkan dengan miliknya lalu membawa gadis itu duduk di bawah atap halte untuk menunggu metro mini.

Netra Saranita beralih ke sana-kemari, ia bingung ketika ada satu lagi metro mini yang singgah dan Aksara justru terdiam sambil menatap beberapa siswa lain berbondong-bondong masuk ke dalamnya. Padahal sudah metro mini ke-tiga setelah mereka berdua duduk di halte. Sekarang tersisa Aksara, Saranita, dan satu pedagang asongan yang sedang bersandar di tiang penyanggah halte.

“Aksa,” Saranita menggerakkan tangannya yang tergenggam erat oleh Aksara. Gadis itu berniat untuk melontarkan pertanyaan yang membuatnya sedari tadi kebingungan. Namun sebelum Saranita melanjutkan kalimatnya, Aksara sudah lebih dulu melepaskan genggaman mereka.

Kita nunggu metro mini yang sepi aja, ya? Aku nggak mau kamu berdiri lebih lama di dalam metro mini, karena tujuan kita kali ini sepertinya lebih jauh dari pada rute rumah kamu.” Pria itu menjelaskan perlahan, berharap Saranita mengerti dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari sejak kecil.

Gadis berambut legam itu menoleh ke mobil hitam yang masih terparkir di pinggir jalan. “Itu mobil Ayah, kan? Kenapa kita nggak naik mobil aja?”

Aku kepengin naik metro mini untuk hari ini.” Kurva itu terangkat dengan indah walau sebenarnya ia menangkap raut kebingungan yang ada di wajah milik gadisnya.

“Tiba-tiba?” Saranita menautkan alisnya, bingung.

Aksara menggeleng, “Aku nggak pernah tau Tuhan akan kasih waktu berapa lama lagi untuk tetap tinggal di—”

Pergerakan pria itu terhenti ketika Saranita dengan sengaja menarik tangannya karena kebetulan sekali metro mini dengan rute tujuan mereka sudah tiba. Saranita memejamkan mata sebelum akhirnya menarik Aksara masuk ke dalam kendaraan berwarna hijau itu. Ia bergerak, mencari dua kursi yang kosong untuk ditempati. Tidak terlalu belakang, juga tidak terlalu di bagian depan, akhirnya Saranita memutuskan untuk duduk tepat di sebelah jendela, ia menarik Aksara agar duduk di sampingnya dengan segera.

Kalimat yang belum sempat Aksara sampaikan di bawah atap halte tadi seketika memenuhi isi kepala Saranita, membuatnya lagi-lagi memejamkan mata. Saranita takut. Takut sekali. Genggaman tangannya semakin erat sampai rasanya ia tidak mau Aksara hilang.

Tangan Aksara yang bebas kini bergerak untuk merapikan surai legam kekasihnya. Ia menangkap raut kekhawatiran ketika gadis itu balik menatapnya. “Ada apa, Saranita?

Gelengan kepala yang menjadi jawaban gadis itu ternyata tidak menjawab pertanyaan Aksara. “Tadi di halte ... Jangan ngomong kayak gitu lagi, Aksa.”

Aksara terkekeh tanpa suara. Ternyata gadis yang kata Ayah selalu menjadi nomor satu di hidupnya itu sedang punya kekhawatiran yang sama dengan dirinya. Aksara juga sama. Inginnya ia tetap di sini, bersama dengan orang-orang yang memberi kasih sayang tanpa jeda kepadanya. Namun Aksara tahu diri, karena saat ini kondisinya untuk mengingat Saranita pun ia tidak mampu. Apalagi jika ia harus mengingat makanan kesukaan gadis itu? Lalu bagaimana dengan hal-hal yang membuat gadis itu bahagia? Aksara tidak mampu mengingatnya.

Untuk kedua kalinya genggaman di tangan Aksara terlepas begitu saja. Ia beralih untuk merengkuh daksa Saranita, meletakkan dagu di atas kepala gadisnya sambil memejamkan mata. Tidak peduli dengan seorang Ibu-Ibu yang duduk di seberang kursi mereka, memerhatikan sejak dua menit yang lalu. Aksara terkekeh lebih dulu sebelum akhirnya mengecup puncak kepala Saranita satu kali. Melepaskan pelukan hangat itu kemudian mengeluarkan buku catatan yang ia simpan di saku bersamaan dengan penanya.

Calon istri saya sedang pengin dipeluk, Bu.

Setelah menulis kalimat itu, ia menyerahkan kertas yang sudah disobek kepada Ibu berumur hampir senja tadi.

“AKSA!” protes Saranita saat mengetahui perlakuan Aksara yang dengan entah apa tujuannya menulis seperti itu. Kemudian ia berbisik, “kamu kenapa bohong?”

Habisnya, Ibu itu ngelihatin terus. Aku nggak suka dilihatin perempuan selain kamu. Nanti kamu cemburu.

Lagi-lagi Saranita berbisik, “Astaga! Itu Ibu-Ibu, Aksa. Mana mungkin aku cemburu sama Ibu-Ibu yang mungkin umurnya hampir lima puluh?”

Ya, tetap saja. Jaga perasaanmu itu nomor satu. Masalah itu Ibu-Ibu atau anak muda itu masih nomor sekian, Sara.

Astaga. Saranita kualahan, tapi ada bagian tenang yang seketika menjalar dalam tiap darah Saranita. Setidaknya, Aksara masih orang yang sama. Masih Aksara yang selalu memberinya kalimat panjang nan manis, masih Aksara yang keras kepala, juga masih Aksara yang perlakuannya bagaikan sabu yang selalu membuat Saranita candu.


Sekarang kaki dua anak adam itu menapaki tempat yang dimaksud oleh Aksara. Membuat gadis berambut sebahu itu kebingungan, ia menyipitkan netranya yang beredar ke seluruh penjuru tempat itu. Tidak menangkap apa-apa, kemudian kembali menatap pemuda yang kini justru melemparkan senyum ke arahnya. Saranita kira, Aksara akan membawanya ke tempat yang berbeda.

“Kenapa atap rumah sakit?”

Aksara mengangguk, “Tempat kesukaan aku sejak beberapa hari yang lalu. Sejak aku ngerasa sendirian, dan sejak ... aku lupa sama kamu.

Saranita membawa langkah kakinya untuk maju ke dinding sebatas pinggulnya, netra pekat itu kembali berjelajah untuk menatap satu persatu apa saja yang dapat ia lihat dari atas sini. Ternyata benar, Aksara tetap orang yang sama. Aksara masih Aksaranya yang dulu. Mulai dari cara pria itu memperlakukannya, dari cara ia menyukai dataran yang lebih tinggi untuk menatap gedung-gedung kota Jakarta, sampai dari bagaimana cara pria itu tersenyum. Rasanya masih sama.

Daksa kecil perempuan itu berbalik, menatap Aksara yang ternyata sejak tadi memperhatikan punggungnya dengan seutas senyum manis. Sekon-sekon berikutnya, mereka isi untuk menatap satu sama lain dengan embusan angin sore yang menyapu kulit masing-masing. Beruntungnya tidak ada orang lagi di sini, luasnya atap rumah sakit hanya diisi oleh Aksara, Saranita, dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diungkapkan satu sama lain.

“Aku ... punya banyak pertanyaan.” Akhirnya Saranita bersuara, memecahkan keheningan yang menyelimuti keduanya. Gadis itu kembali memutar balik daksa untuk menatap bangunan lain yang dapat disapu oleh netranya. Sedangkan Aksara baru membawa langkah kaki yang kian memberat itu untuk berdiri di samping gadisnya. Ia melakukan hal yang sama, menatap seluruh bangunan dari atap rumah sakit. “Aksa,”

Pemuda bertopi merah itu menoleh, tatapan mereka lagi-lagi bertemu entah untuk yang ke-berapa kali untuk hari ini. “Tanyain aja, Sara. Aku jawab semuanya.

Sama. Sekali lagi, Aksara masih sama. Masih Aksara yang dengan siap menjawab seluruh kalimat tanya yang Saranita tidak mampu temukan jawabannya sendiri. Pertanyaan yang begitu asing namun selalu menjadi sarang atas seluruh rasa sakit di kepalanya.

“Kamu,” Saranita menggantung kalimatnya. Ia menjelajah masuk ke dalam netra kecokelatan milik kekasihnya untuk mencari sesuatu yang barang kali selalu pria itu sembunyikan darinya. Namun tetap saja. Saranita tidak mengerti. Tatapan Aksara begitu sulit untuk diartikan.

Bingungnya dibagi dua sama aku. Jangan bingung sendiri.

Saranita terkekeh dengan sedikit paksaan walau di dalam dirinya ada sedikit rasa penasaran. “Kamu kangen sama aku, nggak?” Pertanyaan bodoh itu, Saranita cukup menyesalinya ketika terlontar untuk beberapa detik. Jelas saja Aksara tidak merindu, sebab untuk mengingat dirinya saja pria itu tidak mampu. “Eh, jangan—”

Aku nggak tau pasti perasaan rindu itu kayak gimana, Sar, tapi kalau boleh jujur, ada sebagian perasaan aneh hari itu. Hari di mana kamu ke rumah untuk pertama kali setelah aku lupa sama kamu.

“Perasaan aneh kayak gimana maksudnya?” Aneh, tapi rasa senangnya begitu nyata ketika kalimat itu terungkap melalui pergerakan tangan Aksara. Saranita bahkan tidak mampu untuk sekedar menahan senyumnya barang satu detik. Tidak pernah rasanya ia sebahagia ini ketika dirindukan oleh seseorang.

Aneh aja. Tatapan kamu bikin aku ngerasa istimewa walaupun cuma satu detik, karena setelah itu rasanya asing. Hati aku sakit pas kamu berubah sedih.

Gadis bersurai sebahu itu terkekeh, “Ya, gimana nggak sedih? Kamu nggak kenal sama aku hari itu. Aku pengin marah, tapi aku tau kalau aku nggak punya hak untuk itu.”

Ada. Kamu punya hak dan perasaan kamu itu valid.” Aksara kembali menatap ke depan seolah sedang menghancurkan gedung tinggi yang menantang langit. Tatapan marah dengan mata yang memerah. Aksara marah pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya ia lupa dengan gadis kesayangannya. “Marah, marah aja, Sara. Pukul kalau perlu.” Tatapan Aksara kembali berlabuh pada Saranita yang berdiri di sebelahnya, meminta gadis itu untuk mengeluarkan amarahnya dengan segera. Namun tanpa disangka, Saranita justru menenggelamkan wajahnya di dada bidang pemuda itu, menghirup udara dengan rakus untuk menahan segala tangis yang dapat keluar kapan saja.

“Aku kangen kayak gini.” bisiknya yang tidak dengan jelas masuk ke dalam rungu Aksara.

Tanpa Saranita sadari, diam-diam Aksara justru menjatuhkan air mata dan menghapusnya dengan segera. Sebab ada bagian yang patah dalam diri Aksara ketika daksa kecil itu menubruknya cukup keras, kepingan hati yang patah itu berhamburan ke mana-mana. Tangannya bergerak untuk mengelus surai lembut gadisnya perlahan-lahan yang turun ke punggung. Jika saja Aksara bisa berbisik, ada banyak permohonan maaf yang ingin sekali terlontar dengan segera.

ad49b627-695c-4249-b74f-0fb588d8fea4

Keluhan ketiga seumur hidupnya.

on-Twitter-2

Getaran ponsel yang berada di atas meja membuat pria yang sedang duduk termenung itu mengalihkan pandangan. Netranya tidak lepas dari benda pipih yang masih tersambung dengan kabel. Tidak ada yang ia ingin lakukan, kecuali memerhatikan ponsel itu sampai layarnya kembali berubah menjadi warna hitam.

Aksara Pranata Wijaya, sudah hampir dua puluh menit ia hanya duduk termenung di meja belajar. Sesekali netra kecokelatan itu menerawang ke setiap sudut ruang kamarnya, dan berlabuh pada bingkai foto di atas meja. Tidak ada satu pun wajah yang ia ingat kecuali Regantara—Ayah. Untuk dua orang di sampingnya, Aksara benar-benar melupakan mereka.

Tangan pria itu bergerak untuk melepas kertas foto itu dari bingkainya, kemudian membaca tulisan di bagian belakangnya.

Satu-satunya wanita paling cantik di foto itu adalah Bunda. Di sebelah Bunda, pria yang memakai kemeja abu-abu itu adalah Ayah. Kalau di depan Ibu, anak laki-laki berumur tiga belas tahun itu Mas Bagas. Sedangkan di depan Ayah, anak laki-laki paling kecil berumur delapan adalah saya—Aksara.

Entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, ia kemudian bergerak untuk mengambil buku yang sedari tadi menarik perhatiannya. Buku yang disampul dengan beberapa foto, membuat Aksara termenung sebentar. Ia memerhatikan lamat-lamat foto gadis yang tidak asing di pandangannya itu. Setelah dua menit bergelut dengan rasa penasaran, kuasanya bergerak untuk membuka halaman pertama bukunya.

Saranita, itu kamu?

Saranita?” Aksara bertanya dalam hati. Tatapannya masih fokus pada satu halaman yang hanya diisi oleh tiga kata itu pada bagian tengah. Kemudian kuasanya kembali bergerak untuk membuka halaman selanjutnya.

Saranita Senja, seseorang yang selalu aku jadikan alasan untuk bertahan walau ia tahu, jiwaku akan mati sebelum fisik ku tidak lagi bernyawa.

Baru satu kalimat, tapi Aksara merasa kalau paru-parunya kian menyempit saat ini. Rasa sesak itu menjalar tanpa aba, membuatnya tidak dapat bernafas secara normal. Emosi dan rasa sesak itu bertabrakan, menyisakan rasa yang tidak mampu diartikan. Kalimat dan gambaran yang berada di halaman kedua buku itu mampu membuat Aksara mengepalkan jemarinya kuat.

Perempuan tadi itu Saranita Senja?” tanya Aksara pada dirinya sendiri. Pria itu bangkit dari kursinya, kemudian beranjak untuk mencari Ayah.

Saat ini baru pukul sepuluh malam, dan beruntungnya Ayah masih duduk di atas meja makan dengan laptop dan beberapa berkas yang menjadi pusat perhatiannya. Namun ketika suara langkah Aksara masuk ke dalam rungunya, pria hampir senja itu mengalihkan atensi.

Loh, Aksara belum tidur, Nak?” Regantara menutup laptop, kemudian bergerak untuk menyeka keringatnya sendiri.

Aksara duduk di hadapan Regantara, menatap Ayahnya itu tanpa kata. Pelan-pelan ia mendengar sebuah suara di kepalanya, suara yang baru saja dilontarkan kemarin sore oleh Dokter Brian. “Saya harap, Aksara bisa melewatkan hari seperti biasanya. Menjadi Aksara yang giat sekali belajar, Aksara yang sedikit keras kepala, dan Aksara .... Aksara yang punya alasan untuk tetap bertahan di Bumi ini.

“Aksara mimpi buruk, Nak?” Suara Regantara membuat putranya itu tersadar dari lamunan, kemudian mengalihkan pandangannya dari sana.

Enggak, Ayah. Ini lebih dari sekedar mimpi buruk.

“Aksara?” Suara Regantara bergetar, kuasanya beralih untuk memeriksa suhu tubuh Aksara tepat pada dahi. “Kepala Aksara sakit lagi? Obatnya bikin Aksara mual, ya?”

Aksara menggeleng untuk menyangkal beberapa pertanyaan Regantara. Anak itu menarik nafasnya, “Ayah, Saranita itu siapanya Aksara?

Di seberang Aksara, pria yang ia sapa sebagai Ayah itu mengembuskan nafasnya dengan lesu. Di bawah meja, kaki Ayah sedikit bergetar. “Saranita itu .... kesayangannya Aksara.”

Ayah, kenapa Tuhan ciptain Aksara beda kayak manusia-manusia lainnya?

“Karena Aksara istimewa.”

Aksara menunduk, menatap kakinya yang dibalut dengan sandal rumahan. “Ayah pernah dengar satu kali aja Aksara mengeluh perihal semua yang Tuhan berikan ke Aksara, terlebih tentang keistimewaan ini?

Tujuh belas tahun hidup bersama anak terakhirnya, hanya dua kali ia mendengar Aksara mengeluh. Bukan perihal keistimewaan yang Tuhan berikan padanya. Keluhan pertama, terlontar ketika anak itu tidak lagi masuk kelas unggulan di tahun keduanya Sekolah Menengah Pertama. Lalu keluhan kedua, keluhan itu terlontar ketika hari di mana Bunda pergi untuk selamanya.

Aksara berusaha terima kalau Aksara bisu dan tuli, tapi kenapa Tuhan kasih Aksara penyakit ini juga, Yah?” Pergerakan Aksara berhenti, air mata sialan itu mengalir begitu deras di depan Ayah. “Kenapa Tuhan bikin Aksara lupa sama satu-satunya alasan yang bisa membuat Aksara bertahan?

Rasanya hidup seperti tidak adil bagi Aksara, karena semuanya tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Jauh berbeda. Di saat manusia lain diciptakan untuk melalukan banyak hal, membuat berbagai macam memori di dalam kepalanya, tapi kenapa tidak untuk Aksara? Hal sesederhana itu pun, tidak dapat Tuhan berikan untuknya.

Lalu, lalu untuk apa Tuhan kasih Saranita sebagai alasannya bertahan di saat Aksara saja tidak mampu mengingat nama gadis itu?

“Enggak apa-apa. Aksara boleh ngeluh sesekali, tapi jangan nyerah, ya?” Regantara paham sekali apa yang ada di pikiran putranya. Ia berjalan untuk menghampiri Aksara, berjongkok di hadapan anak itu lalu menggenggam jemarinya. “Percaya sama Ayah, Aksara pasti bisa. Walaupun kita tahu banyak sekali orang yang gagal dalam penyakit ini, tapi Ayah percaya sama Aksara. Kita bisa memecahkan fakta kalau penyakit ini nggak bisa disembuhkan, ya? Percaya, ya, Aksara?”

Aksara ragu, terlebih ketika ia menatap netra Ayah yang dipenuhi dengan sebuah harapan. Sepuluh detik, Aksara masih tidak menemukan jawaban yang harus ia berikan untuk Ayah perihal kesembuhan atas penyakitnya.

Ayah, boleh Aksara ketemu dengan Saranita?

Regantara mengangguk tanpa ragu-ragu. “Besok pagi kita antar kesayangan Aksara pergi ke Sekolah, ya?”

Jemari yang menggenggam milik Aksara kini terlepas begitu saja, digantikan dengan pelukan hangat dari Ayah. Hati Aksara rasanya sudah tidak berbentuk, karena rasanya begitu campur aduk.

Kenapa saya diciptakan kalau untuk melupakan?

Kebisingan yang Aksara tulis dengan tangannya sendiri.

Setelah sampai di dalam ruangan persegi yang sampai detik ini selalu menjadi tempat ternyaman kedua setelah pelukan Aksara, gadis bersurai legam itu menghela nafas. Langkah kakinya berjalan pelan-pelan untuk mendapati air mineral di atas nakas. Setelah itu netranya teralih pada tangan kirinya yang diisi oleh satu amplop berisi surat dari Aksara juga ponsel.

“Serius mimpi doang, ya? Yang tadi?” kata Saranita. Ia meletakkan amplop berisi surat itu di atas nakas, kemudian kembali memeriksa ponsel dan ruang obrolannya bersama Aksara. Namun tetap saja, seberapa kali gadis itu memeriksa, hasilnya masih sama. Tidak ada pesan balasan dari Aksara. Ruang obrolannya hanya diisi dengan pesan terakhirnya.

Setelah dua menit memandangi ruang obrolannya tanpa kata, Saranita mengambil amplop di atas nakas. Tangan gadis itu bergerak untuk membukanya ragu-ragu. Takut. Saranita begitu takut dan bingung dalam waktu yang bersamaan. Nafasnya ditarik dalam-dalam, kemudian mulai membaca satu persatu kata yang digoreskan menggunakan tinta berwarna hitam di atas kertas putih itu.

Halo, Saranita Senja, gadis yang memiliki arti segalanya di muka bumi. Gimana kabarnya, Sara?

Kalau surat ini sampai di tangan kamu, itu artinya aku lagi nggak ada bareng kamu, tapi aku selalu minta sama Tuhan buat kasih seluruh kebaikan yang ada di muka bumi untuk kamu.

Kedua kurva di bibir Saranita terangkat sedikit, membuatnya lupa akan debaran hebat yang menjalar di dalam dada. Padahal hanya selembar surat yang ditulis dengan rapi, dihias dengan gambar bunga di setiap sudut kertasnya dengan apik, tapi senyumnya tidak hanya singgah entah kenapa.

“Dia Aksara.” Di setiap kata yang Saranita baca pada paragraf pertama surat itu, ia merasakan ketulusan di dalamnya.

Kalau kamu baca surat ini, itu artinya kamu harus senyum sampai kata terakhir dalam kertas ini dibaca, ya?

Saranita geleng-geleng kepala, memilih untuk bersandar pada tembok di belakangnya. “Kalau sekarang aku senyum, emang kamu bisa lihat, Sa?”

Ya, aku emang nggak bisa lihat senyum kamu, sih. Se-nggaknya kamu bisa kasih senyum itu untuk Bumi, kan? Soalnya Bumi terasa lebih hangat kalau kamu bahagia.

Saranita terkekeh. Ada-ada saja.

Ayo senyum! Aku hitung, ya? Satu, dua, tiga!

Seperti ada kupu-kupu di dalam dadanya, kurva di bibir Saranita secara otomatis terangkat begitu sempurna. Jauh berbeda dengan pertama kali ia membaca surat ini pada paragraf pertama. “Aku udah senyum. Kamu mau apa lagi?”

Sar, aku di rumah sakit.

Satu kalimat yang baru saja dibaca ternyata mampu melenyapkan senyum manis itu tanpa tersisa. Saranita menjeda, netranya mengarah ke sana-kemari tanpa dipinta. Jantungnya seperti berhenti berdetak malam itu. Ternyata Arsen tidak berbohong soal minggu kemarin.

Sar, aku di rumah sakit. Bukan Bandung, bukan acara keluarga, bukan juga karena nggak dapat sinyal. Aku lupa naruh ponselku di mana, aku lupa kalau hari kemarin harus datang ke sekolah, aku lupa jalan ke sekolah. Kepalaku sakit.

Menjalani hari-hari bersama Aksara, tidak pernah satu kali pun Saranita mendengar pria itu mengeluh. Saranita bahkan sempat berpikir bahwa Aksara adalah manusia yang tidak ada batas lelahnya, tapi setelah membaca kalimat terakhir dalam paragraf itu, semuanya berubah. Saranita jadi begitu yakin, Aksara adalah manusia. Pria itu manusia yang dikirimkan oleh Tuhan secara khusus untuknya. Sebab Aksara datang ketika Saranita sedang tidak mencari apa-apa dalam hidupnya.

Aku bohong lagi. Maaf, ya? Maaf kalau setelah ini, atau mungkin nggak ada lagi setelah ini, kalau aku bisa bertahan lebih lama di sini, maaf kalau aku sering bohong.

“Ada, Aksa. Bakalan ada setelah ini. Aku janji.” lirih Saranita dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Beberapa kali gadis itu menarik nafasnya yang memburu untuk sekedar menahan air matanya. Terkadang Saranita bahkan tidak peduli dengan dadanya yang terasa begitu berat, ia tetap menghabiskan tiap kalimat di atas kertas itu.

Bukan karena aku nggak mau kamu tau apa yang lagi aku lakuin, bukan karena aku nggak mau kamu ada di samping aku setiap waktu, bukan juga karena aku nggak mau bikin kamu khawatir.

Rasa sesak di dalam dada Saranita semakin membabibuta, membuat air matanya turun berlomba-lomba membasahi pipi. Dadanya bergerak naik dan turun, berlomba dengan tiap sekon waktu.

Bagian ujung kertas putih itu hampir saja robek ketika Saranita meremasnya erat. Ia berusaha menyalurkan seluruh rasa yang menjalar di dalam tubuh yang berlabuh pada bagian hatinya.

Aku cuma nggak mau bikin kamu nangis seperti sekarang, Saranita. Kamu lagi nangis, kan? Kalau iya, berarti aku harus jadi peramal terkenal di dunia. Kalau nggak, berarti aku terlalu percaya diri.

“Masih bisa bercanda, ya?” Kalimat itu terlontar bersamaan dengan kekehan untuk dirinya sendiri yang terlihat begitu menyedihkan.

Sar, kalau nanti aku udah nggak ada waktu lagi bareng kamu,

“Ada, Aksa. Kamu janji buat minta sama Tuhan untuk ambil nyawa kamu setelah aku, kan? Jadi, kalau mau pergi, biar aku duluan.” Saranita berkata seolah-olah ada Aksara di hadapan, sedang memerhatikannya tanpa berkedip.

Sar, kalau nanti aku udah nggak ada waktu lagi bareng kamu, atau parahnya aku udah lupa sama kamu, bahkan semua hal yang pernah kita lakuin, tolong masuk ke kamar aku untuk cari buku di dalam lemari. Buku yang disampul pakai foto kamu, foto makanan kesukaan kamu, foto kota yang pernah aku janjikan ke kamu—Surakarta, dan foto kita berdua. Buku yang segalanya berisi tentang kamu.

Tangis Saranita pecah ketika menyadari ada hal yang selalu ia sangkal di dalam kepalanya sejak tadi. Katanya, tidak ada kepergian yang disiapkan, tapi kenapa rasanya Aksara menulis surat itu seolah-olah ia ingin pergi ke tempat yang begitu jauh? Tempat yang Saranita tidak lagi pernah bisa menemuinya lagi.

Aku nulis surat ini bukan karena aku mau menyerah, Sara. Sama sekali bukan. Aku pernah bilang kalau aku bakalan selalu berusaha, aku bakalan selalu berjuang kalau tujuannya adalah kamu, kan? Itu yang lagi aku lakuin sekarang, tapi kamu tau, kalau setiap usaha atau setiap perjuangan, nggak selamanya berakhir di tujuan, kan?

Napas Saranita hanya berhenti di dada, kepalanya begitu pening.

Jadi kalau nanti aku gagal,

Brengsek!” teriak Saranita sambil melempar kertas dari Aksara ke sembarang arah. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, menelungkupkan wajah di atasnya untuk meredam suara tangis yang tidak dapat dikendalikan. “Harus berapa kali lagi gue kehilangan, Aksara? Harus apa lagi yang gue ikhlasin? Harus berjuang kayak apa lagi buat dapetin kata bahagia yang bahkan gue nggak pernah tau bentuknya kayak gimana?”

Sejak hidup di dunia, Saranita selalu penasaran dengan kata bahagia yang bahkan ia sendiri tidak pernah tau bentuk sederhana dari kata itu. Bahagia yang mutlak. Bahagia yang tidak lagi membuatnya takut akan kejadian-kejadian di hari selanjutnya, dan bahagia yang abadi. Di mana lagi Saranita harus mencari kalau sumbernya saja memilih untuk menyerah dan pergi?

“Jangan sekarang, Tuhan. Jangan besok, jangan lusa, jangan bulan depan, dan jangan tahun depan. Jangan Aksara, Tuhan ...”

bfb201a3-f5d9-451e-a50b-0d8a29538e02

Jatuh cinta terasa nyata.

IMG-20211111-100022

Mata Saranita terbuka perlahan ketika kebisingan yang berasal dari benda pipih di tangannya bergetar sekaligus berbunyi hebat. Nada dering dan nama seseorang di layar ponsel membuat rasa kantuknya lenyap begitu saja. Netranya beralih cepat ke arah jam dinding, kemudian helaan nafas terdengar setelahnya. Jemarinya bergerak untuk menggeser tombol hijau di atas layar, kemudian sedikit menjauhkan ponsel itu dari telinga ketika suara di seberang sana menyambutnya.

Lo ketiduran, ya?!

Tangannya yang bebas mengucak mata, kemudian daksa gadis itu kembali bersandar pada dinding di belakangnya. “Iya, gue ketiduran. Lo masih di atas?”

Masih nanya?” decak Arsen kesal. Terdengar jelas di telinga Saranita ada dumalan kecil setelahnya. “Mau naik, nggak? Kalo nggak, gue turun.

Kedua sudut di bibir Saranita tertarik ketika melihat respon dari Arsen yang justru berbanding terbalik dengan Aksara. Benar kata kebanyakan orang, anak kembar tidak selalu sama. Semuanya terbukti dari sifat dan bagaimana Arsen juga Aksara bersikap kepada orang lain. Kalau saja posisi Arsen saat ini sedang diisi oleh Aksara, pasti pria itu lebih memilih untuk mengungkapkan kalimatnya dengan tenang ketimbang meluapkan emosinya.

Woi?!” pekik Arsen dari seberang sana. Dua kali sudah pria itu membuat Saranita terkejut hanya melalui panggilan suara. “Ada satu surat dari Aksara buat lo.” Kali ini Arsen mengeluarkan kalimatnya dengan nada rendah yang langsung diterima dengan manis di telinga Saranita.

“Sebentar, gue ke atas.” Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, gadis itu memutuskan panggilan sepihak. Kemudian berjalan untuk meninggalkan ruangan persegi itu.

Tidak ada dua menit, gadis bersurai legam itu sudah menapakkan kakinya di lantai dua. Netranya langsung menatap Arsen yang sedang sibuk dengan layar ponsel, kemudian mengalihkan pandang ketika dia datang.

“Sini, duduk!” Arsen menepuk bagian kursi di sebelah kiri, meminta Saranita untuk duduk di sana.

Saranita tidak mengindahkan kalimat Arsen, dia justru berjalan untuk duduk di ujung balkon. Netranya tidak lepas menatap pemandangan di hadapannya yang menyajikan Ibu Kota. “Lo pernah ketemu sama Aksara? Berdua?”

Arsen hanya diam, pria itu membaringkan tubuhnya di kursi tadi. Menatap langit-langit Jakarta yang malam ini dihamburi dengan bintang. Tangan pria itu melayang di udara, seolah-olah sedang menangkap satu bintang yang paling terang. Itu Bunda, pikirnya.

Lucu. Arsen tertawa sendiri. Bagaimana bisa dia menganggap bintang paling terang itu adalah Bunda? Padahal dia sendiri belum pernah melihat sosok Bunda kandungnya secara nyata. Semuanya begitu lucu.

“Kapan, Sen?” Tatapan Saranita teralih, membuat Arsen bangkit dari posisinya. Pria itu mengambil alih sedikit ruang kosong di sebelah kanan Saranita.

“Waktu mereka bohong sama lo.” jawab Arsen santai. Pria berkaus abu-abu itu melirik Saranita sekilas. Dia berdeham, karena menyadari ekspresi Saranita yang kebingungan atau kalimat sebelumnya. “Minggu kemarin, Bandung.”

Tidak ada respon apa-apa dari Saranita. Gadis itu sibuk mencerna ucapan Arsen tanpa mengalihkan pandangannya dari Ibu Kota yang ia lihat dari lantai dua yang sebenarnya adalah tempat di mana anak-anak kos menjemur pakaian. Beruntungnya di tempat itu ada satu kursi yang sebelumnya dijadikan Arsen tempat untuk merebahkan diri.

“Gue nggak tau hal ini boleh dikasih tau ke lo atau nggak, tapi menurut gue lo harus tau.” Arsen menatap Saranita dari samping, memerhtikan setiap sudut wajah yang dibingkai surai legam itu dengan teliti. “Mereka nggak bener-bener pergi ke Bandung, Sar.”

Kali ini Arsen berhasil menarik perhatian Saranita, ia menoleh dan terkekeh atas kalimat pria di sampingnya. “Ngaco. Ayahnya Aksara bilang sama gue, Arsen. Aksara nggak mungkin bohong.”

Arsen tidak akan berusaha keras untuk membuat gadis di sampingnya memercayainya dengan penuh. Pria itu hanya mengeluarkan satu lembar amplop dari saku celananya. Setelah itu mengikuti arah pandang Saranita, tidak memedulikan reaksi gadis di sebelahnya yang terlihat kebingungan dan ragu-ragu.

“Gue bukan tipikal orang yang cari validasi atas ucapan gue, Sar. Lo baca aja.” kata Arsen, masih dengan nada bicara yang begitu santai. Tidak ada kekhawatiran di tatapan matanya, walaupun jelas pikirannya begitu rumit. Arsen tidak bisa menjelaskan alasan pastinya, tapi rasanya ia juga kebingungan.

Saranita menatap amplop itu, mengambilnya dengan ragu-ragu. Setelahnya ia lebih memilih untuk menyimpan benda persegi itu di dalam sakunya, berniat untuk dibaca nanti ketika sudah sampai di kamarnya. Kini tatapannya teralih pada ponsel yang sejak tadi ia genggam, mencari kontak Aksara di sana. Senyumnya terbentang seluas Samudera ketika mengingat jawaban atas pesannya tadi. Namun nihil, ketika Saranita mencari kontak Aksara, tidak ada satu pesan pun yang dibalas oleh pria itu. Bahkan, pesan terakhirnya tidak terkirim dengan sempurna.

“Gue mimpi?” tanya gadis itu pada diri sendiri.

Saat suara Saranita masuk ke dalam rungunya, Arsen mengalihkan pandangan. “Gimana, Sar?”

Terkejut karena Arsen meresponnya tanpa dipinta, akhirnya Saranita menggeleng sebagai jawaban. Disusul dengan helaan nafas untuk mengawali detik yang mereka habiskan tanpa suara. Keduanya menatap langit, bergelut dengan isi kepala masing-masing.

“Perasaan lo ke Aksara sebesar itu, ya, Sar?”

Satu pertanyaan Arsen lagi-lagi membuat Saranita mengalihkan pandangannya. Gadis berkaus hitam itu menarik kedua sudut di bibirnya. “Gue ... gue juga nggak tau sebesar apa perasaan gue ke Aksara, gue bahkan nggak bisa hitung beratnya walaupun pakai kalkulator. Perasaan gue ke Aksara itu mutlak, nggak bisa dikalkulasi.” jawab Aksara tanpa ragu. Akhirnya dia terkekeh, “Lebay, ya?”

Pria di samping Saranita mengubah posisi duduk untuk sepenuhnya menghadap ke Saranita. “Gue nggak tau sih apa arti kata tulus yang sebenernya. Cuma besok-besok kayaknya lo harus bisa bedain yang mana lebay, dan mana yang tulus.”

“Tulus, ya?”

Arsen mengangguk pasti. “Gue liat lo nggak ada keraguan buat jelasin perasaan lo ke Aksara.” Dia tersenyum kecil, netranya masih fokus menatap Saranita dari samping.

“Gue tau lo nggak akan percaya ini, Sen, tapi sebelum kenal sama Aksara, gue nggak pernah ngerasain perasaan ini.”

Arsen mengangguk paham.

“Gue bahkan nggak tau apa itu cinta. Aksara dateng cuma bawa keyakinan atas perasaan sederhana yang bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Lo tau itu apa?” Saranita menoleh ke Arsen, “Cinta.”

Tertegun atas susunan kalimat Saranita, akhirnya Arsen memilih untuk membuang pandangan. “Gue nggak percaya cinta, Sar.”

“Lo bukan nggak percaya, Arsen. Lo cuma belum ketemu sama orang yang cuma lewat tatapan mata aja bisa jelasin kalau dia bangga punya lo.” kata Saranita. Di depan matanya ada Aksara yang sedang tersenyum, menatapnya penuh cinta. “Sesederhana itu.”

“Aksara beruntung banget.”

Saranita justru menggeleng atas kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Arsen. “Gue yang beruntung.” Nafasnya diembuskan secara perlahan, “Gue nggak bakal bisa jalan sejauh ini kalau bukan karena Aksara.”

Arsen diam, kembali membiarkan waktu berjalan untuk beberapa menit bersama keheningan. Pria itu menarik nafasnya, membayangkan apa yang terjadi jika sedari kecil ia hidup bersama keluarga yang sebenarnya. Bisa saja keberuntungan yang dimiliki oleh Aksara terbagi dua untuknya.

“Sen, jatuh cinta sama orang itu bukan cuma perkara lo apapun yang lo lakuin buat dia terasa gampang. Bukan.”

Arsen mendongak karena Saranita sudah berdiri di hadapannya, bersiap untuk kembali ke kamar. “Maksud lo?”

“Jangan sembarangan ngeletakkin hati lo, karena tanpa sadar lo bisa nyakitin diri lo sendiri atau bahkan orang yang bikin lo jatuh cinta.” Saranita juga tidak tahu dari mana kalimatnya berasal, tapi dia mampu menjelaskannya secara lisan.

“Jatuh cinta itu ketika lo bisa jadi diri lo yang sebener-benernya di hadapan orang itu.”