Jatuh cinta terasa nyata.
Mata Saranita terbuka perlahan ketika kebisingan yang berasal dari benda pipih di tangannya bergetar sekaligus berbunyi hebat. Nada dering dan nama seseorang di layar ponsel membuat rasa kantuknya lenyap begitu saja. Netranya beralih cepat ke arah jam dinding, kemudian helaan nafas terdengar setelahnya. Jemarinya bergerak untuk menggeser tombol hijau di atas layar, kemudian sedikit menjauhkan ponsel itu dari telinga ketika suara di seberang sana menyambutnya.
“Lo ketiduran, ya?!”
Tangannya yang bebas mengucak mata, kemudian daksa gadis itu kembali bersandar pada dinding di belakangnya. “Iya, gue ketiduran. Lo masih di atas?”
“Masih nanya?” decak Arsen kesal. Terdengar jelas di telinga Saranita ada dumalan kecil setelahnya. “Mau naik, nggak? Kalo nggak, gue turun.”
Kedua sudut di bibir Saranita tertarik ketika melihat respon dari Arsen yang justru berbanding terbalik dengan Aksara. Benar kata kebanyakan orang, anak kembar tidak selalu sama. Semuanya terbukti dari sifat dan bagaimana Arsen juga Aksara bersikap kepada orang lain. Kalau saja posisi Arsen saat ini sedang diisi oleh Aksara, pasti pria itu lebih memilih untuk mengungkapkan kalimatnya dengan tenang ketimbang meluapkan emosinya.
“Woi?!” pekik Arsen dari seberang sana. Dua kali sudah pria itu membuat Saranita terkejut hanya melalui panggilan suara. “Ada satu surat dari Aksara buat lo.” Kali ini Arsen mengeluarkan kalimatnya dengan nada rendah yang langsung diterima dengan manis di telinga Saranita.
“Sebentar, gue ke atas.” Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, gadis itu memutuskan panggilan sepihak. Kemudian berjalan untuk meninggalkan ruangan persegi itu.
Tidak ada dua menit, gadis bersurai legam itu sudah menapakkan kakinya di lantai dua. Netranya langsung menatap Arsen yang sedang sibuk dengan layar ponsel, kemudian mengalihkan pandang ketika dia datang.
“Sini, duduk!” Arsen menepuk bagian kursi di sebelah kiri, meminta Saranita untuk duduk di sana.
Saranita tidak mengindahkan kalimat Arsen, dia justru berjalan untuk duduk di ujung balkon. Netranya tidak lepas menatap pemandangan di hadapannya yang menyajikan Ibu Kota. “Lo pernah ketemu sama Aksara? Berdua?”
Arsen hanya diam, pria itu membaringkan tubuhnya di kursi tadi. Menatap langit-langit Jakarta yang malam ini dihamburi dengan bintang. Tangan pria itu melayang di udara, seolah-olah sedang menangkap satu bintang yang paling terang. Itu Bunda, pikirnya.
Lucu. Arsen tertawa sendiri. Bagaimana bisa dia menganggap bintang paling terang itu adalah Bunda? Padahal dia sendiri belum pernah melihat sosok Bunda kandungnya secara nyata. Semuanya begitu lucu.
“Kapan, Sen?” Tatapan Saranita teralih, membuat Arsen bangkit dari posisinya. Pria itu mengambil alih sedikit ruang kosong di sebelah kanan Saranita.
“Waktu mereka bohong sama lo.” jawab Arsen santai. Pria berkaus abu-abu itu melirik Saranita sekilas. Dia berdeham, karena menyadari ekspresi Saranita yang kebingungan atau kalimat sebelumnya. “Minggu kemarin, Bandung.”
Tidak ada respon apa-apa dari Saranita. Gadis itu sibuk mencerna ucapan Arsen tanpa mengalihkan pandangannya dari Ibu Kota yang ia lihat dari lantai dua yang sebenarnya adalah tempat di mana anak-anak kos menjemur pakaian. Beruntungnya di tempat itu ada satu kursi yang sebelumnya dijadikan Arsen tempat untuk merebahkan diri.
“Gue nggak tau hal ini boleh dikasih tau ke lo atau nggak, tapi menurut gue lo harus tau.” Arsen menatap Saranita dari samping, memerhtikan setiap sudut wajah yang dibingkai surai legam itu dengan teliti. “Mereka nggak bener-bener pergi ke Bandung, Sar.”
Kali ini Arsen berhasil menarik perhatian Saranita, ia menoleh dan terkekeh atas kalimat pria di sampingnya. “Ngaco. Ayahnya Aksara bilang sama gue, Arsen. Aksara nggak mungkin bohong.”
Arsen tidak akan berusaha keras untuk membuat gadis di sampingnya memercayainya dengan penuh. Pria itu hanya mengeluarkan satu lembar amplop dari saku celananya. Setelah itu mengikuti arah pandang Saranita, tidak memedulikan reaksi gadis di sebelahnya yang terlihat kebingungan dan ragu-ragu.
“Gue bukan tipikal orang yang cari validasi atas ucapan gue, Sar. Lo baca aja.” kata Arsen, masih dengan nada bicara yang begitu santai. Tidak ada kekhawatiran di tatapan matanya, walaupun jelas pikirannya begitu rumit. Arsen tidak bisa menjelaskan alasan pastinya, tapi rasanya ia juga kebingungan.
Saranita menatap amplop itu, mengambilnya dengan ragu-ragu. Setelahnya ia lebih memilih untuk menyimpan benda persegi itu di dalam sakunya, berniat untuk dibaca nanti ketika sudah sampai di kamarnya. Kini tatapannya teralih pada ponsel yang sejak tadi ia genggam, mencari kontak Aksara di sana. Senyumnya terbentang seluas Samudera ketika mengingat jawaban atas pesannya tadi. Namun nihil, ketika Saranita mencari kontak Aksara, tidak ada satu pesan pun yang dibalas oleh pria itu. Bahkan, pesan terakhirnya tidak terkirim dengan sempurna.
“Gue mimpi?” tanya gadis itu pada diri sendiri.
Saat suara Saranita masuk ke dalam rungunya, Arsen mengalihkan pandangan. “Gimana, Sar?”
Terkejut karena Arsen meresponnya tanpa dipinta, akhirnya Saranita menggeleng sebagai jawaban. Disusul dengan helaan nafas untuk mengawali detik yang mereka habiskan tanpa suara. Keduanya menatap langit, bergelut dengan isi kepala masing-masing.
“Perasaan lo ke Aksara sebesar itu, ya, Sar?”
Satu pertanyaan Arsen lagi-lagi membuat Saranita mengalihkan pandangannya. Gadis berkaus hitam itu menarik kedua sudut di bibirnya. “Gue ... gue juga nggak tau sebesar apa perasaan gue ke Aksara, gue bahkan nggak bisa hitung beratnya walaupun pakai kalkulator. Perasaan gue ke Aksara itu mutlak, nggak bisa dikalkulasi.” jawab Aksara tanpa ragu. Akhirnya dia terkekeh, “Lebay, ya?”
Pria di samping Saranita mengubah posisi duduk untuk sepenuhnya menghadap ke Saranita. “Gue nggak tau sih apa arti kata tulus yang sebenernya. Cuma besok-besok kayaknya lo harus bisa bedain yang mana lebay, dan mana yang tulus.”
“Tulus, ya?”
Arsen mengangguk pasti. “Gue liat lo nggak ada keraguan buat jelasin perasaan lo ke Aksara.” Dia tersenyum kecil, netranya masih fokus menatap Saranita dari samping.
“Gue tau lo nggak akan percaya ini, Sen, tapi sebelum kenal sama Aksara, gue nggak pernah ngerasain perasaan ini.”
Arsen mengangguk paham.
“Gue bahkan nggak tau apa itu cinta. Aksara dateng cuma bawa keyakinan atas perasaan sederhana yang bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Lo tau itu apa?” Saranita menoleh ke Arsen, “Cinta.”
Tertegun atas susunan kalimat Saranita, akhirnya Arsen memilih untuk membuang pandangan. “Gue nggak percaya cinta, Sar.”
“Lo bukan nggak percaya, Arsen. Lo cuma belum ketemu sama orang yang cuma lewat tatapan mata aja bisa jelasin kalau dia bangga punya lo.” kata Saranita. Di depan matanya ada Aksara yang sedang tersenyum, menatapnya penuh cinta. “Sesederhana itu.”
“Aksara beruntung banget.”
Saranita justru menggeleng atas kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Arsen. “Gue yang beruntung.” Nafasnya diembuskan secara perlahan, “Gue nggak bakal bisa jalan sejauh ini kalau bukan karena Aksara.”
Arsen diam, kembali membiarkan waktu berjalan untuk beberapa menit bersama keheningan. Pria itu menarik nafasnya, membayangkan apa yang terjadi jika sedari kecil ia hidup bersama keluarga yang sebenarnya. Bisa saja keberuntungan yang dimiliki oleh Aksara terbagi dua untuknya.
“Sen, jatuh cinta sama orang itu bukan cuma perkara lo apapun yang lo lakuin buat dia terasa gampang. Bukan.”
Arsen mendongak karena Saranita sudah berdiri di hadapannya, bersiap untuk kembali ke kamar. “Maksud lo?”
“Jangan sembarangan ngeletakkin hati lo, karena tanpa sadar lo bisa nyakitin diri lo sendiri atau bahkan orang yang bikin lo jatuh cinta.” Saranita juga tidak tahu dari mana kalimatnya berasal, tapi dia mampu menjelaskannya secara lisan.
“Jatuh cinta itu ketika lo bisa jadi diri lo yang sebener-benernya di hadapan orang itu.”