Rasa kelabu.

“Syif, temen sekelas lo yang duduk di kursi paling belakang itu udah jarang masuk, ya?”

“Siapa, sih, Kil?”

Perempuan tadi berdeham, “Itu, lho, yang itu ...”

“Aksara?”

Suara yang keluar dari kedua bibir gadis itu membuat Saranita menghentikan pergerakan, terlebih ketika nama Aksara disebutkan tanpa aba. Jemari kirinya yang bebas terkepal erat, menahan rasa yang entah kenapa tiba-tiba saja hadir dalam dirinya. Perasaan yang entah, ia sendiri pun tidak tahu.

“Oh, iya, Aksara. Dia ke mana, deh? Kok gue jarang liat?”

Gadis bersurai kecokelatan sepinggang itu mengangkat bahunya acuh, “Katanya, sih, pindah sekolah. Cuma gue nggak tau dia pindah kemana.”

Lawan bicaranya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti. Netranya beralih, menatap punggung gadis yang duduk sendirian tepat di meja yang berseberangan dengan mereka. “Sar,”

Saranita diam, tidak menoleh. Berpura-pura tuli adalah pilihannya ketika ada beberapa orang mulai bertanya perihal keberadaan Aksara. Sebab, Saranita sendiri tidak tahu dimana pria itu berada. Hari ini adalah tepat hari ke tiga puluh ia lewati sendirian tanpa Aksara, tanpa balasan pesan dari pria itu, tanpa kata-kata penyemangat di setiap paginya.

“Saranita,” Suara gadis yang diketahui bernama Raqueelia atau kerap disapa Kila itu sedikit meninggi, diselipi harapan agar Saranita mau menjawab rasa keingintahuan nya itu.

Kali ini Saranita menoleh, tapi kepalan di tangannya semakin menguat. “Apa?”

“Aksara pacar lo, kan?”

“Kenapa?”

Raqueelia menatap mata kosong milik Saranita kebingungan. Sejak duduk di kursi Sekolah Menengah Atas, Raqueelia selalu mendapat jatah untuk satu kelas dengan Saranita. Walau tidak begitu akrab dengan Saranita, ia sadar bahwa sejak satu bulan kemarin Saranita jelas berbeda. Akhirnya Raqueelia menggeleng dan memilih untuk memendam rasa ingintahu nya itu.

“Aksara pindah sekolah.” Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. Berharap dengan sangat Raqueelia mengerti atas jawaban tiga kata itu bahwa ia tidak lagi ingin ditanyakan perihal ini. Bukan. Bukan karena Saranita tidak ingin menjawab segala pertanyaan tentang Aksara, tapi bagaimana caranya Saranita ingin menjawab jika ia sendiri tidak tahu dimana keberadaan pria itu?

Raqueelia tersenyum dan mengangguk. “Oh, gitu.”

“Pindah kemana, Sar? Kok sayang banget, sih? Tahun ini kita harusnya lulus. Masa Aksara pindah?”

Saranita sempat bersyukur ketika Raqueelia memilih untuk memutus percakapan mereka, tapi rasa syukur itu tiba-tiba hilang ketika Syifa yang terlihat tidak peduli justru kembali bertanya perihal prianya.

“Kanada.” Saranita berdiri, hendak meninggalkan semangkuk soto yang baru saja diantar oleh Mas Adi. “Aksara pindah ke Kanada, Syif. Gue duluan, ya?” Tanpa permisi, Saranita berlari menuju perpustakaan yang berada di lantai tiga. Lantai yang jarang sekali dipijaki oleh murid-murid kecuali sedang ada tugas dari guru Bahasa Indonesia.

Kakinya melangkah perlahan, menuju rak buku yang terletak paling belakang. Saranita mengambil satu buku tentang astronomi, kemudian duduk tepat di pojok ruangan yang ditutupi oleh rak buku lain. Bukunya sama sekali tidak dibaca, hanya dibiarkan terbuka untuk menemani pikirannya yang kosong. Saranita bingung. Bingung dengan dunianya yang begitu rumit. Membuat pikirannya kusut seperti benang yang tidak pernah ia tahu dimana ujungnya.

Setelah membiarkan pikirannya kosong beberapa menit, Saranita memilih untuk merogoh saku seragam sekolahnya. Mengambil ponsel dan mengaktifkan data. Tatapannya tidak pernah lepas dari benda pipih itu, berharap ada notifikasi yang dipenuhi oleh nama seseorang—tentu saja Aksara. Namun, seberapa lama Saranita menunggu, tidak ada jawaban apapun atas pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan pada Aksara melalui pesan. Lagi-lagi ia menghela nafas, melempar pelan ponselnya di atas meja.

“Kak,”

Saranita mendongakkan kepala, didapati Harsa yang sedang berdiri dengan cengigisan. Pria berpostur tinggi itu ikut duduk di samping Saranita, menyandarkan daksanya pada tembok bercat abu-abu. “Gimana?”

“Apanya?” Harsa kebingungan, pasalnya ia belum menyampaikan apapun kepada gadis bersurai legam di sebelahnya. Namun, tatapan Harsa berubah melunak ketika otaknya mulai menebak sesuatu. “Nanti malem kita ada jadwal nyanyi di Cafe. Bayarannya nggak begitu banyak, tapi kayaknya cukup untuk nambahin uang kost lo.”

“Kalian?”

Lagi. Harsa kebingungan lagi. “Kak, lo kalo ngomong jangan setengah-setengah bisa?” Nada bicaranya terdengar frustasi di rungu milik Saranita, membuat gadis itu terkekeh singkat. “Kalau uang bayar nyanyi di Cafe cukup untuk nambahin uang kost gue, kalian gimana?”

Harsa berdeham sambil menutup matanya, berharap Saranita tidak mengetahui jika ada sesuatu yang sedang disembuyikan. “Gue .... gue udah ngomong ke yang lain soal bayaran kali ini. Kita setuju untuk kasih ke lo semuanya.”

Saranita tertawa kecil, mengubah posisi duduknya untuk menatap Harsa yang sedang menutup kedua matanya. “Harsa. Jangan bohong.”

Mati gue.” jerit Harsa dalam hati. Kemudian membuka kedua matanya yang langsung ditatap penuh selidik oleh Saranita. “Gue nggak boho—”

“Lo sama yang lain itu bikin * Group Band*, nyanyi ke sana-sini ya untuk cari uang, kan? Bukan cari pahala.” desis Saranita sarkas. Membuat Harsa menolehkan kepalanya, netra itu menusuk tulus ke milik Saranita. Kali ini Harsa berani bersumpah, semakin ia menyelam di bolamata gadis itu, semakin banyak juga luka-luka yang tidak dapat ia baca maknanya. “Harsa, gue nerima tawaran lo sama yang lain itu bukan untuk dikasihani.”

“Kak,”

“Harsa.”

“Okay. Kita bagi-bagi hasilnya.” Final Harsa diakhiri dengan helaan nafas yang begitu panjang.


“Ayah tau, kan? Pertama kali Saranita ketemu sama istri Ayah yang baru? Saranita kacau,” Saranita menghela nafas, netranya menelusuri ruang tengah kosan yang tidak ada siapa-siapa. “Saranita beneran nggak mau, Yah. Saranita nggak mau kalau ketemu sama istri Ayah lagi, dan lepas kendali. Saranita nggak mau bikin malu Ayah di depan banyak orang kayak dulu.”

“Sar,”

Saranita menoleh, mendapati Arsen yang dibalut dengan jeans dan kemeja hitam kesukaannya. Telunjuknya ia letakkan di depan bibir, berharap Arsen tidak melanjutkan kalimatnya karena fokusnya kini ada di benda pipih yang menempel di rungu. “Ayah, udah, ya? Bukannya Saranita nggak mau ketemu sama Ayah, tapi Saranita belum siap. Tolong ngerti, ya?”

Satu detik setelah Saranita menutup panggilan dari Ayah, netranya menatap Arsen dari atas ke bawah sampai tiga kali. Pria itu terlihat berbeda, lebih berantakan dari biasanya. “Lo kenapa?”

Bukannya menjawab, pria berkemeja hitam itu justru menabrakkan dirinya pada daksa Saranita. Meletakkan wajahnya di selangka gadis itu tanpa kata juga suara. Berkali-kali Arsen menarik nafasnya, berharap udara tidak akan pernah habis. Tingkah Arsen perlahan membuat Saranita mengangkat tangannya, mengelus punggung pria itu lembut. “Hari ini berat, ya?”

Pertanyaan itu dilontarkan seolah ia sedang dalam keadaan baik-baik saja, seolah tidak ada yang mengganggu pikirannya, seolah hari ini adalah hari yang berjalan dengan baik dan sesuai keinginan. Padahal siapa yang tahu, bahwa hari ini berjalan begitu buruk untuk Saranita Senja. Gadis itu kebingungan, harinya kelabu sejak Aksara tidak lagi memberi kabar.

Beberapa menit setelah Arsen merasa cukup, pria itu melangkahkan kakinya mundur untuk memberi sedikit jarak antara ia dan Saranita. Arsen menatap netra Saranita dalam, berjelajah di kegelapan itu tanpa kata.

“Gue nggak tau apa masalah lo, Sen. Lo juga nggak harus percaya sama gue, tapi kalau boleh kasih pendapat, semua bakalan baik-baik aja setelah lo ngelewatin masalah ini.” Jemari Saranita yang bebas teekepal erat ketika ia mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selalu Aksara tulis di tiap halaman bukunya ketika Saranita sedang merasa tidak baik-baik saja.

“Sar,” Tangan Arsen terangkat sebelah, jemarinya menyisir surai legam milik Saranita untuk merapikannya agar gadis itu terlihat lebih anggun. “Maafin gue, ya?”

“Maksudnya?” Saranita tidak mengerti, alisnya bertaut menjadi satu. Rasanya ingin sekali Saranita meminta penjelasan lebih atas kalimat Arsen, tapi setelah pria itu menengadah untuk berusaha keras agar air matanya tidak tumpah, semua kalimat Saranita hilang begitu saja. Pasalnya baru pertama kali Saranita melihat Arsen runtuh di hadapannya seperti orang yang tidak lagi ingin hidup di dunia. Tatapan pria itu kosong, seperti tidak ada lagi alasan untuk berdiri kokoh di atas bumi.

“Sar,”

Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya. “Gue maafin. Sekarang lo istirahat, ya? Tenangin pikiran lo.” Kalimatnya membuat seluruh sendi di tubuh Arsen kaku. Jemari pria itu justru mengepal erat dan bergetar hebat. “Kalau udah tenang, lo bisa cerita ke gue.”

“Sar,” Arsen mati-matian berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. Namun pria itu gagal, dinding pertahannya runtuh seiring daksanya yang jatuh berlutut di hadapan kaki Saranita. Pria itu menangis, suaranya berkumandang sampai beberapa orang keluar dari masing-masing kamarnya—termasuk pemilik kos yang memiliki status sebagai Mamanya Arsen.

“Arsen, lo nggak perlu kayak gini.” Saranita berjongkok, membantu pria yang wajahnya memerah itu untuk duduk dan menenangkannya. “Lo nggak punya kesalahan fatal buat gue, Sen. Jangan kayak gini, jangan bikin gue sama yang lain bingung.”

“Sara,”

“Arsen.”

“Maaf. Kalau selama ini—”

“Arsen, istirahat, ya?”

5866916a2f4d61f161539d3cea1c64d4