Sweet Pea

f7b7dd2b4063886aaed7e317539805e2
images about

Nah, kalau sweet pea biasanya punya arti selamat tinggal atau ucapan terima kasih. Kalau lo nggak mau putus sama pacar lo, mending jangan—” Kalimat Abin terhenti begitu saja ketika tatapannya beralih ke arah Saranita yang hanya diam tanpa mengalihkan pandang dari bunga mawar di hadapannya. “Sar,” Abin menggerakkan tangan Saranita.

Eh? Hah? Kenapa, Mas?” Gugup. Saranita langsung mengalihkan pandangan ke arah Abin yang sedang memperhatikannya dengan tatapan kebingungan. 

Pria berkaus abu itu meletakkan bunga yang sudah lima menit di genggaman ke atas meja. Kemudian beralih untuk mengambil alih ruang kosong di samping Saranita. Duduk di sana dan melabuhkan pandangannya ke arah bunga mawar, bunga yang juga menjadi  pelabuhan Saranita sejak dua puluh menit yang lalu.

“Mawarnya cantik, ya?”

Tanpa sadar Saranita mengangguk, setuju dengan kalimat tanya yang dikeluarkan oleh Abin. “Bunga yang Aksara kasih pertama kali di taman waktu itu.” Gadis itu tertawa getir di akhir kalimat, lalu mengalihkan tatapannya ke arah Abin yang masih menatap bunga mawar itu sambil tersenyum tipis. 

Saranita ingat, bagaimana Aksara begitu cemburu terharap pria di sampingnya ini ketika sedang bekerja di toko bunga. Waktu itu Aksara juga bilang, “Aku cemburu sama Mas Abin, tapi sayangnya aku nggak bisa apa-apa soalnya Mas Abin baik banget sama kamu. Kan aku udah janji untuk nggak musnahin orang-orang yang baik ke kamu.”

Kurva di bibir Saranita terangkat sedikit, kembali menatap bunga mawar di hadapannya seperti tidak ada waktu untuk berkedip. “Hari ini tepat bulan ke-enam. Gue kangen sama Aksara, Mas. Kangen banget, sampai rasanya gue sesak nafas sendiri kalau inget gimana cara dia senyum, gimana cara dia memperlakukan gue.” Sekilas Saranita menatap ke atap-atap toko bunga untuk sekedar menahan air yang sudah memenuhi matanya. “Sekarang nggak ada lagi yang peluk kalau kepala gue lagi berisik. Enggak ada lagi tulisan-tulisan sederhana yang bisa bikin gue bertahan satu hari lebih kuat. Enggak ada lagi Aksara, Mas Abin …”

Abin sama sekali tidak ada niat untuk mengeluarkan suaranya, ia membiarkan Saranita mengeluarkan seluruh perasaan yang sudah lama gadis itu pendam sendirian. Entah kenapa, rasanya begitu pilu sampai beberapa kali Abin ikut menghela nafasnya cukup keras guna mengganti udara yang berada di rongga dadanya karena begitu sesak. Kini tangan pria itu terangkat untuk mengelus puncak kepala Saranita, berharap sedikit demi sedikit membuang beban yang ada di sana. 

“Gue inget, pertama kali ketemu. Aksara suka lihatin mata gue tanpa jeda.” Saranita tertawa dengan suara yang tersumbat di akhir kalimat. Tangannya terangkat untuk mengusap kelopak mata dengan pergerakan yang mati-matian ia tahan agar tidak bergetar hebat. “Dia bilang, mata gue cantik. Terus ternyata, mata ini donasi dari Bundanya satu tahun yang lalu.“ 

Menjawab tatapan kebingungan yang dilontarkan oleh tatapan Abin, gadis bersurai legam itu tertawa kecil. “Dunia sempit banget, tapi kenapa nggak pernah bisa gue genggam, ya, Mas?”

“Sar,”

“Gue banyak belajar lewat Aksara, Mas.” Tangannya yang mulai bebas, kini beralih tugas untuk mengambil satu tangkai bunga mawar putih yang dikelilingi delapan tangkai mawar merah. 

Benda pipih di atas meja tiba-tiba saja berdering hebat ketika Saranita dan Abin sedang tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Mendapati hal itu, Abin menoleh, “Handphone lo?” Sambil mengambil ponsel berwarna putih itu, sedikit mengintip nama seseorang yang tertera di layar ponsel. “Arsen.”

Dahi Saranita mengerinyit, ia langsung mengambil alih ponsel di tangan Abin sedikit tergesa. “Arsen? Tumben?” Kemudian tangannya berangkat untuk menerima panggilan dari Arsen. Gadis itu menempelkan benda pipih miliknya di rungu kiri. “Halo, Arsen?”

“Lo mau ketemu Aksara?”

Hah?” Saranita kebingungan. Matanya berkedip beberapa kali guna mencerna kalimat Georgeno Arsen di seberang sana yang sedang berbicara menggunakan suara beratnya, khas seperti orang baru saja menangis. “Lo kenapa?”

Lo mau ketemu Aksara, kan, Saranita?” Pria itu menekan setiap kalimatnya dengan napas yang tidak beraturan menyapa alat pendengaran milik Saranita.

“Iya, mau. Lo nggak kenapa-napa, 'kan?” Dalam kebingungannya Saranita mengangguk, jawaban yang ia berikan ke Arsen juga tidak terucap begitu jelas. 

Sekarang lo di mana? Gue jemput, ya? Habis itu gue anter lo ke rumah Aksara.” Nada bicara Arsen kian melemah, namun suara napas pria itu semakin menggebu. 

“Arsen, lo okay, 'kan?”

Gue … okay. Sekarang share location lo, ya, Sar? Gue jemput.

Saranita tetap mengangguk walau ia tahu kalau Arsen tidak dapat melihat setiap pergerakannya. “Emang Aksara di mana, Sen?“ 

Di rumahnya.”

“Kata lo, rumahnya Aksara udah ditempatin sama orang lain?”

Arsen menarik napasnya dalam-dalam, guna bertahan hidup demi menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari bibir lawan bicaranya. Sebab Arsen tahu, Saranita benci sekali jika tidak mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. “Aksara pindah rumah.”

“Lo tau rumah Aksara yang baru?” Saranita bangkit dati posisinya. Netra kecokelatan itu berbinar indah, tanpa tahu bagaimana terpukulnya Arsen kala mendengar nada bicaranya yang sumringah. “Arsen? Lo tau rumah Aksara yang baru, 'kan?”

Di seberang sana, tanpa keragu-raguan Arsen mengangguk cepat. Jemari pria itu mengepal erat, seluruh rasa yang bergejolak di dalam dada berlabuh di sana. “Iya … gue tau.”

“Kok, lo nggak ngasih tau gue, sih?! Dasar, orang jahat!” Saranita terkekeh di akhir kalimatnya. Namun, sedetik kemudian kekehan itu tidak lagi menghiasi wajah cantiknya. “Gue harus bawa apa ke rumah Aksara, ya? Lo ada ide, nggak?“ 

Apa aja.

Saranita mendesah, malas untuk bertengkar dengan Arsen kali ini. “Eum … martabak untuk Om Regan? Atau, apa, ya?”

Nanti aja kita pikirin di jalan. Sekarang, kasih tau gue harus jemput lo di mana?“ 

“Di toko bunga yang deket rumah Ibu gue.”

Ngapain di sana?

Saranita terkekeh tanpa sadar. “Main aja. Gue kenal sama owner-nya.“ 

Yaudah. Gue ke sana.“ 

Anggukan dari Saranita menjadi penutup atas percakapan mereka berdua. “Hati-hati, Sen.”

Tidak mengerti kenapa, setelah panggilan diputus oleh Arsen, jantung Saranita berdetak cepat. Kedua bibirnya terangkat sempurna ketika tatapan itu bertemu dengan Abin yang juga menatapnya dengan senyum manis seolah-olah memberi ucapan kalimat bahagia atas rasa yang ada di salam dada Saranita. 

“Mas Abin, bikin mawar merah satu buket, ya!” pinta Saranita yang entah kenapa, rasanya ingin sekali memberikan bunga mawar putih yang cantik untuk prianya. 

Abin justru tertawa kecil, “Kok lo ngasih bunga, sih? Kan, harusnya Aksara.“ 

Di samping Abin, gadis bersurai legam itu mengedipkan sebelah matanya. “Mas, Aksara nggak segan-segan ngasih seluruh isi dunianya ke gue. Masa cuma buat ngasih dia bunga, gue nggak boleh?”

Dih.” Abin pura-pura bergidik ngeri. “Menjijikan!” Kemudian tertawa bersama dengan Saranita yang kini menghampiri bunga sweet pea di atas meja. Gadis itu memperhatikan setiap lekukan bunga mungil itu seperti tidak ada waktu untuk berkedip. Tiba-tiba teringat ucapan Abin tadi. Katanya, bunga sweet pea digunakan untuk mengucapkan terima kasih. 

“Permisi,“ 

Butuh waktu dua menit untuk Saranita memperhatikan penampilan Arsen yang beberapa hari terakhir menjadi sedikit berbeda. Arsen biasanya menggunakan jaket kulit hitam, seiras dengan warna motornya. Namun kali ini, ia justru memakai jaket bahan berwarna abu-abu yang membalut daksa kekar pria itu. Celananya, ia biasa menggunakan ripped jeans dengan warna hitam pekat, tetapi kali ini berbeda. Terlebih, kacamata dengan bingkai hitam yang bertengger di tulang hidungnya. 

“Aku hampir ngira kalau itu kamu, Sa …” Gadis itu berdesis lirih, tidak terdengar dengan jelas oleh Arsen maupun Abin. Ia kembali menarik kedua sudut bibirnya, “Cepet banget, Sen?”

“Iya. Kebetulan gue lagi di daerah sini juga.” jawab pria itu jelas. “Mau berangkat sekarang?”

Saranita mengangguk tanpa ragu, kemudian mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. Netra gadis itu tanpa sengaja kembali menatap sweet pea yang berada tepat di sebelah tasnya. “Mas Abin, sweet pea-nya dibuket juga, bisa, nggak?”

Abin tersenyum kecil, “Bisa. Mau dihias juga?”

“Iya, dihias biar cantik.“