Dialog tentang Asa.
“Sebenarnya saya nggak percaya sama kamu, Sen. Tapi keadaan seperti ini membuat saya percaya kalau kamu satu-satunya orang yang bisa jaga Saranita.“
Arsen memilih bungkam saat membaca kata demi kata yang Aksara tulis di kertas putihnya. Rasanya aneh bagi Arsen ketika ia harus berbicara banyak dengan orang yang memiliki wajah serupa dengannya. Seperti berbicara pada diri sendiri.
“Arsen,”
Tatapan dari netra elang milik Arsen beralih ke sumber suara yang baru saja memasuki ruang rawat Aksara dengan beberapa tas karton di tangannya. Dia Regantara, pria yang dua tahun terakhir Arsen ketahui bahwa ia adalah ayah kandungnya. Pria yang sejujurnya Arsen benci sekali.
“Kamu lapar?”
Arsen menggeleng sambil kembali mengalihkan tatapannya ke arah kertas putih yang berisi tulisan tangan Aksara. “Terus, gue harus ngapain?”
“Aksara nggak pernah minta kamu buat ngelakuin hal yang rumit, Arsen. Hanya jaga Saranita, itu saja.” Bukan Aksara yang menjawab, melainkan Regantara yang kini sudah berdiri di sampingnya sembari tersenyum kecil.
“Om, buat Arsen itu hal yang rumit.” Arsen mendesah hampir frustasi, karena tanpa sadar Aksara dan Regantara kini mengandalkan dirinya untuk menghadapi Saranita dan kejamnya dunia gadis itu. Padahal Arsen sendiri justru benci menjadi seseorang yang diandalkan untuk dirinya sendiri, dan sekarang justru ia harus bertanggung untuk hidup orang lain. Parahnya, orang itu Saranita.
Arsen berdiri, meletakkan kertas putihnya di atas nakas kemudian berniat untuk pergi. “Gue nggak bisa, Sa. Arsen nggak bisa, Om.” Kakinya membawa pria itu untuk pergi dari ruang persegi yang sekarang dipijakinya.
“Kalau kamu nggak bisa ngelakuin itu untuk Aksara, se-enggaknya kamu lakuin itu untuk diri kamu sendiri, Arsen. Saranita gadis yang bisa diandalkan untuk hidup kamu.” Kalimat Regantara membuat Arsen menghentikan pergerakan ketika jemarinya sudah meraih knop pintu ruangan. “Kamu bisa anggap ini permintaan terakhir saya, Arsen.” Genggaman jemari Arsen di knop pintu mengerat. Rahangnya juga mengeras karena kalimat terakhir dari Regantara cukup membuat dadanya terasa sesak. Namun, Arsen sama sekali tidak berputar. Ia tetap melanjutkan langkah kakinya untuk keluar dari ruangan yang membuat nafasnya terasa sesak.
Sementara Aksara menggenggam jemari Ayah, menatap netra kecokelatan itu penuh harap. Tangannya mulai bergerak perlahan dan tidak jelas.
“Ayah, kalau Arsen nggak bisa jaga Saranita, itu artinya Aksara harus sembuh, kan?“
Setelah satu menit kalimat itu dilontarkan, Regantara mengangguk. Ia cukup mengabaikan kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Dokter dua jam yang lalu perihal kondisi Aksara yang kian melemah. Semakin banyak dan sering hal-hal sederhana yang hilang dari ingatan Aksara. Bahkan saat ini, putranya itu tidak lagi menyimpan kenangannya bersama Regantara di kepalanya.
“Aksara begitu sayang dengan Saranita, ya?”
Aksara diam di atas pertanyaan yang keluar dari bibir Regantara. Pria itu menatap langit-langit ruang rawatnya sembari mengangkat kurva di bibirnya separuh. Saat ini ia tidak pernah mengerti seberapa besar rasanya untuk Saranita hari yang lalu, yang Aksara tahu, gadis itu butuh seseorang karena tanpa sadar ia telah menggantungkan dirinya pada Aksara.
Lapangan sekolah terasa membosankan. Upacara yang mengabiskan waktu empat puluh lima menit membuat gadis yang berdiri di barisan paling belakang itu jengah. Tangannya terangkat sebelah, membuat kepala sekolah menghentikan amanatnya di depan sana guna memberi ruang juga waktu agar gadis itu berbicara. Namun sudah satu menit, tidak ada satu kata pun yang dilontarkan dari bibir mungilnya.
“Ada apa, Saranita?” Ketika pertanyaan itu dilontarkan, semua pasang mata mencari seseorang yang menjadi pusat atensi kepala sekolah. Beberapa orang tidak heran jika kali ini Saranita kembali membuat ulah, sebab Aksara tidak di sini. Tidak ada lagi Aksara yang mampu membuat Saranita betah untuk berdiri di atas lapangan untuk mendengarkan kata demi kata amanat. Tidak ada lagi alasan terkuat gadis itu untuk berdiam diri tanpa membuat perkara.
“Amanatnya bisa disingkat aja, nggak, Pak? Panas.” Gadis itu mengeluh dengan suara yang begitu lantang, membuat semua manusia di lapangan membisu.
Kepala sekolah di depan sana jadi salah tingkah, kemudian menutup amanatnya dengan segera, karena tanpa sadar amanatnya sudah melebihi waktu yang ditentukan. Hal itu membuat guru Konseling berjalan menghampiri Saranita, dan meminta untuk menemuinya di ruang konseling.
Satu menit setelah upacara selesai Saranita berlari menuju kamar mandi. Ia masuk ke dalam satu bilik dan menguncinya. Air matanya mengalir begitu saja ketika pintu biliknya berhasil dikunci, sedangkan kedua tangan ia gunakan untuk menutup bibir, berharap meredam suara yang ia tahan mati-matian. Upacara membuat dadanya sesak. Setiap sudut sekolah membuat nafas Saranita berhenti sejenak, sebab selalu ada bayangan wajah Aksara di sana. Membuat Saranita semakin merindukan sosok yang entah ada dimana untuk detik ini.
Sejak ditinggalkan tanpa kata oleh pria itu membuat Saranita diam-diam mengingat kesalahannya. Namun sejauh ia berpikir, tidak ada kesalahan fatal di kali terakhir mereka bertemu. Petang itu Saranita hanya menabrakkan daksanya pada milik Aksara, menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu sampai ia tidak bisa tidur malam hari.
Tangan kanan Saranita beralih tugas, ia membawa ujung kerah seragam sekolahnya untuk dihirup dalam-dalam, berharap ada sisa wangi Aksara yang masih menempel di sana. Padahal seberapa kali pun ia mencoba, sudah tidak ada lagi yang tersisa.
“Kenapa kayak gini, sih, Aksara?”
Tiap detik dalam hari-harinya Saranita selalu bertanya pada diri sendiri, perihal apa yang membuat Aksara tidak lagi menemuinya. Padahal dulu, Aksara bahkan rela berdiri di depan rumah dan menantang air langit hanya untuk menebus sebuah kesalahan yang tidak begitu fatal. Saranita masih ingat, bagaimana bibir pria itu membiru dan tangannya yang mulai kaku. Saranita juga masih ingat, bagaimana ia menyalurkan sebuah kehangatan untuk membuat prianya bertahan dalam dinginnya angin malam. Saranita kira, hubungan yang tidak pernah ia rencanakan bersama Aksara akan bertahan lama. Atau bahkan setidaknya bertahan sampai hari kelulusannya tiba. Namun, ternyata Saranita salah. Hubungan itu tidak bertahan lama, tapi rasanya masih selalu sama. Bagaikan diberi formalin, perasaan Saranita untuk Aksara tidak pernah berubah sampai detik ini. Semuanya masih sama.
Di perjalanan pulang, Saranita memberanikan diri untuk melewati jalan yang sama. Jalan yang menjadi saksi bisu waktu Aksara pertama kali menggenggam jemarinya tanpa aba. Ingatan Saranita mulai mengulang kembali hari dimana Aksara tersenyum menenangkan ketika ia mengangkat telepon dari Ibu. Genggaman di tangannya seolah menyalurkan sebuah kekuatan yang padahal ia tidak mempunyai begitu banyak hal itu.
Saranita masih berpijak di atas aspal yang sama. Aspal yang sudah tiga puluh hari tidak pernah ia sapa, karena setiap sudut jalan itu membuatnya kembali membuka memora ingatan perihal Aksara. Seluruh kota Jakarta dipenuhi oleh pria itu tanpa Saranita sadari.
“Sar,”
Seperti ilusi yang berubah menjadi nyata, atau bahkan halusinasi yang terasa begitu meyakinkan. Pria itu di sini. Pria dengan balutan kaus hitam dan jaket abu-abu kesukaannya di sini. Senyumnya terasa berbeda, namun bentuknya hampir sama. Dia—
“Sar, are you okay?“
Dia,
bukan Aksara. Melainkan Georgeno Arsen yang kali ini berpenampilan menyerupai Aksara. Dengan bingkai kacamata berwarna hitam yang melengkapi, dan jaket berwarna abu-abu yang dilipat sebatas siku.
“Lo ngapain di sini?” Arsen bertanya dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Terlebih ketika telunjuk Saranita tiba-tiba terangkat, menuju satu rumah bercat putih yang dipenuhi dengan beberapa orang di pelatarannya.
“Rumah Aksara. Gue mau ke sana, Sen.” Setelahnya, gadis itu kembali melanjutkan langkah kaki untuk mendekati beberapa orang dan sekedar bertanya.
Arsen sedikit gelagapan, ia berdiri di hadapan Saranita untuk sekedar menyekat langkah kakinya. Kedua tangan Arsen berlabuh di pundak Saranita, ia menatap netra legam itu penuh harapan. “Rumah Aksara udah dijual. Udah nggak ada siapa-siapa di sana.”
Masih berdiri di tempat yang sama, begitu pula tatapan Saranita yang tertuju pada rumah milik Aksara. Saat gadis itu memutuskan untuk menengadah, netranya bertabrakan dengan bolamata karamel yang dibingkai dengan kacamata milik Arsen. “Lo bohong, ya?”
“Kenapa gue harus bohong?”
Saranita mengangguk, pandangannya beredar ke segala arah. “Iya juga. Lo nggak mungkin bohong, kan?”
Setelah percakapan kecil itu, daksa Saranita mendadak kaku. Ada rasa penasaran yang menjalar di seluruh hatinya karena tiba-tiba saja terasa pilu. Namun, perasaan itu berusaha ia buang jauh-jauh agar di kesendiriannya tidak lagi terjatuh.
“Sar,” panggil Arsen ketika ia mendapati Saranita hendak memutar balik tubuhnya ke arah yang berlawanan dari rumah milik keluarga Aksara.
“Iya?” Saranita menyelam ke dalam netra milik Arsen, netra yang serupa dengan milik Aksara. Membuat Arsen mendadak salah tingkah dan menggeleng kaku. “Enggak.”
Gadis bersurai legam itu mengangguk dan tersenyum kecil sebelum akhirnya pamit untuk pulang. “Yaudah, gue balik, ya.”
“Bareng.” Dengan spontan Arsen mengeluarkan kata ambigu yang membuat Saranita menautkan alisnya. “Pulang ... pulang bareng maksudnya. Lo ke kos, kan?”
Seberapa keras Saranita berusaha untuk memercayai Arsen sepenuhnya perihal Aksara, tapi semakin banyak kecurigaan yang Saranita rasakan atas tingkah laku pria di hadapannya. Namun rasanya hari ini Saranita tidak ingin berpikir terlalu keras, sebab ia begitu lelah atas kenyataan.
“Tumben nggak bawa motor?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Saranita ketika ia dan Arsen berhasil masuk ke dalam metro mini.
Arsen gelagapan. “Itu ... motor gue ketinggalan di rumah Ajinaka.”
Saranita hanya mengangguk sambil membuang pandangannya ke arah jendela, memerhatikan setiap sudut kota yang membawanya untuk selalu ingat perihal Aksara.
“Sar,”
Saranita menoleh, penuh menatap pria di sampingnya. “Apa?”
“Mulai besok, berangkat sama pulang sekolah bareng gue, ya? Kalau mau ke mana-mana, ajak gue.”