Keluhan ketiga seumur hidupnya.

on-Twitter-2

Getaran ponsel yang berada di atas meja membuat pria yang sedang duduk termenung itu mengalihkan pandangan. Netranya tidak lepas dari benda pipih yang masih tersambung dengan kabel. Tidak ada yang ia ingin lakukan, kecuali memerhatikan ponsel itu sampai layarnya kembali berubah menjadi warna hitam.

Aksara Pranata Wijaya, sudah hampir dua puluh menit ia hanya duduk termenung di meja belajar. Sesekali netra kecokelatan itu menerawang ke setiap sudut ruang kamarnya, dan berlabuh pada bingkai foto di atas meja. Tidak ada satu pun wajah yang ia ingat kecuali Regantara—Ayah. Untuk dua orang di sampingnya, Aksara benar-benar melupakan mereka.

Tangan pria itu bergerak untuk melepas kertas foto itu dari bingkainya, kemudian membaca tulisan di bagian belakangnya.

Satu-satunya wanita paling cantik di foto itu adalah Bunda. Di sebelah Bunda, pria yang memakai kemeja abu-abu itu adalah Ayah. Kalau di depan Ibu, anak laki-laki berumur tiga belas tahun itu Mas Bagas. Sedangkan di depan Ayah, anak laki-laki paling kecil berumur delapan adalah saya—Aksara.

Entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, ia kemudian bergerak untuk mengambil buku yang sedari tadi menarik perhatiannya. Buku yang disampul dengan beberapa foto, membuat Aksara termenung sebentar. Ia memerhatikan lamat-lamat foto gadis yang tidak asing di pandangannya itu. Setelah dua menit bergelut dengan rasa penasaran, kuasanya bergerak untuk membuka halaman pertama bukunya.

Saranita, itu kamu?

Saranita?” Aksara bertanya dalam hati. Tatapannya masih fokus pada satu halaman yang hanya diisi oleh tiga kata itu pada bagian tengah. Kemudian kuasanya kembali bergerak untuk membuka halaman selanjutnya.

Saranita Senja, seseorang yang selalu aku jadikan alasan untuk bertahan walau ia tahu, jiwaku akan mati sebelum fisik ku tidak lagi bernyawa.

Baru satu kalimat, tapi Aksara merasa kalau paru-parunya kian menyempit saat ini. Rasa sesak itu menjalar tanpa aba, membuatnya tidak dapat bernafas secara normal. Emosi dan rasa sesak itu bertabrakan, menyisakan rasa yang tidak mampu diartikan. Kalimat dan gambaran yang berada di halaman kedua buku itu mampu membuat Aksara mengepalkan jemarinya kuat.

Perempuan tadi itu Saranita Senja?” tanya Aksara pada dirinya sendiri. Pria itu bangkit dari kursinya, kemudian beranjak untuk mencari Ayah.

Saat ini baru pukul sepuluh malam, dan beruntungnya Ayah masih duduk di atas meja makan dengan laptop dan beberapa berkas yang menjadi pusat perhatiannya. Namun ketika suara langkah Aksara masuk ke dalam rungunya, pria hampir senja itu mengalihkan atensi.

Loh, Aksara belum tidur, Nak?” Regantara menutup laptop, kemudian bergerak untuk menyeka keringatnya sendiri.

Aksara duduk di hadapan Regantara, menatap Ayahnya itu tanpa kata. Pelan-pelan ia mendengar sebuah suara di kepalanya, suara yang baru saja dilontarkan kemarin sore oleh Dokter Brian. “Saya harap, Aksara bisa melewatkan hari seperti biasanya. Menjadi Aksara yang giat sekali belajar, Aksara yang sedikit keras kepala, dan Aksara .... Aksara yang punya alasan untuk tetap bertahan di Bumi ini.

“Aksara mimpi buruk, Nak?” Suara Regantara membuat putranya itu tersadar dari lamunan, kemudian mengalihkan pandangannya dari sana.

Enggak, Ayah. Ini lebih dari sekedar mimpi buruk.

“Aksara?” Suara Regantara bergetar, kuasanya beralih untuk memeriksa suhu tubuh Aksara tepat pada dahi. “Kepala Aksara sakit lagi? Obatnya bikin Aksara mual, ya?”

Aksara menggeleng untuk menyangkal beberapa pertanyaan Regantara. Anak itu menarik nafasnya, “Ayah, Saranita itu siapanya Aksara?

Di seberang Aksara, pria yang ia sapa sebagai Ayah itu mengembuskan nafasnya dengan lesu. Di bawah meja, kaki Ayah sedikit bergetar. “Saranita itu .... kesayangannya Aksara.”

Ayah, kenapa Tuhan ciptain Aksara beda kayak manusia-manusia lainnya?

“Karena Aksara istimewa.”

Aksara menunduk, menatap kakinya yang dibalut dengan sandal rumahan. “Ayah pernah dengar satu kali aja Aksara mengeluh perihal semua yang Tuhan berikan ke Aksara, terlebih tentang keistimewaan ini?

Tujuh belas tahun hidup bersama anak terakhirnya, hanya dua kali ia mendengar Aksara mengeluh. Bukan perihal keistimewaan yang Tuhan berikan padanya. Keluhan pertama, terlontar ketika anak itu tidak lagi masuk kelas unggulan di tahun keduanya Sekolah Menengah Pertama. Lalu keluhan kedua, keluhan itu terlontar ketika hari di mana Bunda pergi untuk selamanya.

Aksara berusaha terima kalau Aksara bisu dan tuli, tapi kenapa Tuhan kasih Aksara penyakit ini juga, Yah?” Pergerakan Aksara berhenti, air mata sialan itu mengalir begitu deras di depan Ayah. “Kenapa Tuhan bikin Aksara lupa sama satu-satunya alasan yang bisa membuat Aksara bertahan?

Rasanya hidup seperti tidak adil bagi Aksara, karena semuanya tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Jauh berbeda. Di saat manusia lain diciptakan untuk melalukan banyak hal, membuat berbagai macam memori di dalam kepalanya, tapi kenapa tidak untuk Aksara? Hal sesederhana itu pun, tidak dapat Tuhan berikan untuknya.

Lalu, lalu untuk apa Tuhan kasih Saranita sebagai alasannya bertahan di saat Aksara saja tidak mampu mengingat nama gadis itu?

“Enggak apa-apa. Aksara boleh ngeluh sesekali, tapi jangan nyerah, ya?” Regantara paham sekali apa yang ada di pikiran putranya. Ia berjalan untuk menghampiri Aksara, berjongkok di hadapan anak itu lalu menggenggam jemarinya. “Percaya sama Ayah, Aksara pasti bisa. Walaupun kita tahu banyak sekali orang yang gagal dalam penyakit ini, tapi Ayah percaya sama Aksara. Kita bisa memecahkan fakta kalau penyakit ini nggak bisa disembuhkan, ya? Percaya, ya, Aksara?”

Aksara ragu, terlebih ketika ia menatap netra Ayah yang dipenuhi dengan sebuah harapan. Sepuluh detik, Aksara masih tidak menemukan jawaban yang harus ia berikan untuk Ayah perihal kesembuhan atas penyakitnya.

Ayah, boleh Aksara ketemu dengan Saranita?

Regantara mengangguk tanpa ragu-ragu. “Besok pagi kita antar kesayangan Aksara pergi ke Sekolah, ya?”

Jemari yang menggenggam milik Aksara kini terlepas begitu saja, digantikan dengan pelukan hangat dari Ayah. Hati Aksara rasanya sudah tidak berbentuk, karena rasanya begitu campur aduk.

Kenapa saya diciptakan kalau untuk melupakan?