Kebisingan yang Aksara tulis dengan tangannya sendiri.
Setelah sampai di dalam ruangan persegi yang sampai detik ini selalu menjadi tempat ternyaman kedua setelah pelukan Aksara, gadis bersurai legam itu menghela nafas. Langkah kakinya berjalan pelan-pelan untuk mendapati air mineral di atas nakas. Setelah itu netranya teralih pada tangan kirinya yang diisi oleh satu amplop berisi surat dari Aksara juga ponsel.
“Serius mimpi doang, ya? Yang tadi?” kata Saranita. Ia meletakkan amplop berisi surat itu di atas nakas, kemudian kembali memeriksa ponsel dan ruang obrolannya bersama Aksara. Namun tetap saja, seberapa kali gadis itu memeriksa, hasilnya masih sama. Tidak ada pesan balasan dari Aksara. Ruang obrolannya hanya diisi dengan pesan terakhirnya.
Setelah dua menit memandangi ruang obrolannya tanpa kata, Saranita mengambil amplop di atas nakas. Tangan gadis itu bergerak untuk membukanya ragu-ragu. Takut. Saranita begitu takut dan bingung dalam waktu yang bersamaan. Nafasnya ditarik dalam-dalam, kemudian mulai membaca satu persatu kata yang digoreskan menggunakan tinta berwarna hitam di atas kertas putih itu.
Halo, Saranita Senja, gadis yang memiliki arti segalanya di muka bumi. Gimana kabarnya, Sara?
Kalau surat ini sampai di tangan kamu, itu artinya aku lagi nggak ada bareng kamu, tapi aku selalu minta sama Tuhan buat kasih seluruh kebaikan yang ada di muka bumi untuk kamu.
Kedua kurva di bibir Saranita terangkat sedikit, membuatnya lupa akan debaran hebat yang menjalar di dalam dada. Padahal hanya selembar surat yang ditulis dengan rapi, dihias dengan gambar bunga di setiap sudut kertasnya dengan apik, tapi senyumnya tidak hanya singgah entah kenapa.
“Dia Aksara.” Di setiap kata yang Saranita baca pada paragraf pertama surat itu, ia merasakan ketulusan di dalamnya.
Kalau kamu baca surat ini, itu artinya kamu harus senyum sampai kata terakhir dalam kertas ini dibaca, ya?
Saranita geleng-geleng kepala, memilih untuk bersandar pada tembok di belakangnya. “Kalau sekarang aku senyum, emang kamu bisa lihat, Sa?”
Ya, aku emang nggak bisa lihat senyum kamu, sih. Se-nggaknya kamu bisa kasih senyum itu untuk Bumi, kan? Soalnya Bumi terasa lebih hangat kalau kamu bahagia.
Saranita terkekeh. Ada-ada saja.
Ayo senyum! Aku hitung, ya? Satu, dua, tiga!
Seperti ada kupu-kupu di dalam dadanya, kurva di bibir Saranita secara otomatis terangkat begitu sempurna. Jauh berbeda dengan pertama kali ia membaca surat ini pada paragraf pertama. “Aku udah senyum. Kamu mau apa lagi?”
Sar, aku di rumah sakit.
Satu kalimat yang baru saja dibaca ternyata mampu melenyapkan senyum manis itu tanpa tersisa. Saranita menjeda, netranya mengarah ke sana-kemari tanpa dipinta. Jantungnya seperti berhenti berdetak malam itu. Ternyata Arsen tidak berbohong soal minggu kemarin.
Sar, aku di rumah sakit. Bukan Bandung, bukan acara keluarga, bukan juga karena nggak dapat sinyal. Aku lupa naruh ponselku di mana, aku lupa kalau hari kemarin harus datang ke sekolah, aku lupa jalan ke sekolah. Kepalaku sakit.
Menjalani hari-hari bersama Aksara, tidak pernah satu kali pun Saranita mendengar pria itu mengeluh. Saranita bahkan sempat berpikir bahwa Aksara adalah manusia yang tidak ada batas lelahnya, tapi setelah membaca kalimat terakhir dalam paragraf itu, semuanya berubah. Saranita jadi begitu yakin, Aksara adalah manusia. Pria itu manusia yang dikirimkan oleh Tuhan secara khusus untuknya. Sebab Aksara datang ketika Saranita sedang tidak mencari apa-apa dalam hidupnya.
Aku bohong lagi. Maaf, ya? Maaf kalau setelah ini, atau mungkin nggak ada lagi setelah ini, kalau aku bisa bertahan lebih lama di sini, maaf kalau aku sering bohong.
“Ada, Aksa. Bakalan ada setelah ini. Aku janji.” lirih Saranita dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Beberapa kali gadis itu menarik nafasnya yang memburu untuk sekedar menahan air matanya. Terkadang Saranita bahkan tidak peduli dengan dadanya yang terasa begitu berat, ia tetap menghabiskan tiap kalimat di atas kertas itu.
Bukan karena aku nggak mau kamu tau apa yang lagi aku lakuin, bukan karena aku nggak mau kamu ada di samping aku setiap waktu, bukan juga karena aku nggak mau bikin kamu khawatir.
Rasa sesak di dalam dada Saranita semakin membabibuta, membuat air matanya turun berlomba-lomba membasahi pipi. Dadanya bergerak naik dan turun, berlomba dengan tiap sekon waktu.
Bagian ujung kertas putih itu hampir saja robek ketika Saranita meremasnya erat. Ia berusaha menyalurkan seluruh rasa yang menjalar di dalam tubuh yang berlabuh pada bagian hatinya.
Aku cuma nggak mau bikin kamu nangis seperti sekarang, Saranita. Kamu lagi nangis, kan? Kalau iya, berarti aku harus jadi peramal terkenal di dunia. Kalau nggak, berarti aku terlalu percaya diri.
“Masih bisa bercanda, ya?” Kalimat itu terlontar bersamaan dengan kekehan untuk dirinya sendiri yang terlihat begitu menyedihkan.
Sar, kalau nanti aku udah nggak ada waktu lagi bareng kamu,
“Ada, Aksa. Kamu janji buat minta sama Tuhan untuk ambil nyawa kamu setelah aku, kan? Jadi, kalau mau pergi, biar aku duluan.” Saranita berkata seolah-olah ada Aksara di hadapan, sedang memerhatikannya tanpa berkedip.
Sar, kalau nanti aku udah nggak ada waktu lagi bareng kamu, atau parahnya aku udah lupa sama kamu, bahkan semua hal yang pernah kita lakuin, tolong masuk ke kamar aku untuk cari buku di dalam lemari. Buku yang disampul pakai foto kamu, foto makanan kesukaan kamu, foto kota yang pernah aku janjikan ke kamu—Surakarta, dan foto kita berdua. Buku yang segalanya berisi tentang kamu.
Tangis Saranita pecah ketika menyadari ada hal yang selalu ia sangkal di dalam kepalanya sejak tadi. Katanya, tidak ada kepergian yang disiapkan, tapi kenapa rasanya Aksara menulis surat itu seolah-olah ia ingin pergi ke tempat yang begitu jauh? Tempat yang Saranita tidak lagi pernah bisa menemuinya lagi.
Aku nulis surat ini bukan karena aku mau menyerah, Sara. Sama sekali bukan. Aku pernah bilang kalau aku bakalan selalu berusaha, aku bakalan selalu berjuang kalau tujuannya adalah kamu, kan? Itu yang lagi aku lakuin sekarang, tapi kamu tau, kalau setiap usaha atau setiap perjuangan, nggak selamanya berakhir di tujuan, kan?
Napas Saranita hanya berhenti di dada, kepalanya begitu pening.
Jadi kalau nanti aku gagal,
“Brengsek!” teriak Saranita sambil melempar kertas dari Aksara ke sembarang arah. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, menelungkupkan wajah di atasnya untuk meredam suara tangis yang tidak dapat dikendalikan. “Harus berapa kali lagi gue kehilangan, Aksara? Harus apa lagi yang gue ikhlasin? Harus berjuang kayak apa lagi buat dapetin kata bahagia yang bahkan gue nggak pernah tau bentuknya kayak gimana?”
Sejak hidup di dunia, Saranita selalu penasaran dengan kata bahagia yang bahkan ia sendiri tidak pernah tau bentuk sederhana dari kata itu. Bahagia yang mutlak. Bahagia yang tidak lagi membuatnya takut akan kejadian-kejadian di hari selanjutnya, dan bahagia yang abadi. Di mana lagi Saranita harus mencari kalau sumbernya saja memilih untuk menyerah dan pergi?
“Jangan sekarang, Tuhan. Jangan besok, jangan lusa, jangan bulan depan, dan jangan tahun depan. Jangan Aksara, Tuhan ...”