Metro mini yang mengantarkannya kembali.
Beberapa waktu lalu, rumah adalah tempat yang selalu Saranita hindari selama hidupnya. Namun saat ini, ketika netranya bertemu dengan milik Aksara di pelataran Sekolah membuat seluruh darah yang mengalir berubah menjadi hangat. Baru satu kali Saranita merasakan debaran hebat yang membuat kedua sudut bibirnya tidak berhenti menyunggingkan sebuah senyum.
Dia, pria bertopi merah itu terasa seperti rumah. Senyum sederhananya selalu menghantarkan seluruh rasa hangat ke setiap denyut nadi Saranita. Tatapan netranya, menusuk sampai jantung yang berdetak begitu cepat. Embusan nafasnya sama seperti daksa yang Saranita selalu harapkan untuk bertahan lebih lama di Bumi ini.
“Kamu udah lama?” tanya Saranita begitu Aksara sampai tepat di hadapannya dengan hoodie biru tua yang menyempurnakan keteduhan wajahnya.
Aksara menggeleng, bolamata cokelatnya tidak pernah lepas dari tiap kedipan manik cantik milik Saranita. “Baru. Aku baru sampai.”
Selama mengenal Aksara, selama itu juga Saranita tidak pernah melihat tatapan kosong seperti yang pria itu perlihatkan siang ini. Kebisingan di sekitar seolah teredam oleh debaran yang diciptakan oleh masing-masing dari mereka.
“Kita mau ke mana, Sa?” Pertanyaan itu terlontar satu detik setelah Aksara menyambar jemari Saranita, menautkan dengan miliknya lalu membawa gadis itu duduk di bawah atap halte untuk menunggu metro mini.
Netra Saranita beralih ke sana-kemari, ia bingung ketika ada satu lagi metro mini yang singgah dan Aksara justru terdiam sambil menatap beberapa siswa lain berbondong-bondong masuk ke dalamnya. Padahal sudah metro mini ke-tiga setelah mereka berdua duduk di halte. Sekarang tersisa Aksara, Saranita, dan satu pedagang asongan yang sedang bersandar di tiang penyanggah halte.
“Aksa,” Saranita menggerakkan tangannya yang tergenggam erat oleh Aksara. Gadis itu berniat untuk melontarkan pertanyaan yang membuatnya sedari tadi kebingungan. Namun sebelum Saranita melanjutkan kalimatnya, Aksara sudah lebih dulu melepaskan genggaman mereka.
“Kita nunggu metro mini yang sepi aja, ya? Aku nggak mau kamu berdiri lebih lama di dalam metro mini, karena tujuan kita kali ini sepertinya lebih jauh dari pada rute rumah kamu.” Pria itu menjelaskan perlahan, berharap Saranita mengerti dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari sejak kecil.
Gadis berambut legam itu menoleh ke mobil hitam yang masih terparkir di pinggir jalan. “Itu mobil Ayah, kan? Kenapa kita nggak naik mobil aja?”
“Aku kepengin naik metro mini untuk hari ini.” Kurva itu terangkat dengan indah walau sebenarnya ia menangkap raut kebingungan yang ada di wajah milik gadisnya.
“Tiba-tiba?” Saranita menautkan alisnya, bingung.
Aksara menggeleng, “Aku nggak pernah tau Tuhan akan kasih waktu berapa lama lagi untuk tetap tinggal di—”
Pergerakan pria itu terhenti ketika Saranita dengan sengaja menarik tangannya karena kebetulan sekali metro mini dengan rute tujuan mereka sudah tiba. Saranita memejamkan mata sebelum akhirnya menarik Aksara masuk ke dalam kendaraan berwarna hijau itu. Ia bergerak, mencari dua kursi yang kosong untuk ditempati. Tidak terlalu belakang, juga tidak terlalu di bagian depan, akhirnya Saranita memutuskan untuk duduk tepat di sebelah jendela, ia menarik Aksara agar duduk di sampingnya dengan segera.
Kalimat yang belum sempat Aksara sampaikan di bawah atap halte tadi seketika memenuhi isi kepala Saranita, membuatnya lagi-lagi memejamkan mata. Saranita takut. Takut sekali. Genggaman tangannya semakin erat sampai rasanya ia tidak mau Aksara hilang.
Tangan Aksara yang bebas kini bergerak untuk merapikan surai legam kekasihnya. Ia menangkap raut kekhawatiran ketika gadis itu balik menatapnya. “Ada apa, Saranita?”
Gelengan kepala yang menjadi jawaban gadis itu ternyata tidak menjawab pertanyaan Aksara. “Tadi di halte ... Jangan ngomong kayak gitu lagi, Aksa.”
Aksara terkekeh tanpa suara. Ternyata gadis yang kata Ayah selalu menjadi nomor satu di hidupnya itu sedang punya kekhawatiran yang sama dengan dirinya. Aksara juga sama. Inginnya ia tetap di sini, bersama dengan orang-orang yang memberi kasih sayang tanpa jeda kepadanya. Namun Aksara tahu diri, karena saat ini kondisinya untuk mengingat Saranita pun ia tidak mampu. Apalagi jika ia harus mengingat makanan kesukaan gadis itu? Lalu bagaimana dengan hal-hal yang membuat gadis itu bahagia? Aksara tidak mampu mengingatnya.
Untuk kedua kalinya genggaman di tangan Aksara terlepas begitu saja. Ia beralih untuk merengkuh daksa Saranita, meletakkan dagu di atas kepala gadisnya sambil memejamkan mata. Tidak peduli dengan seorang Ibu-Ibu yang duduk di seberang kursi mereka, memerhatikan sejak dua menit yang lalu. Aksara terkekeh lebih dulu sebelum akhirnya mengecup puncak kepala Saranita satu kali. Melepaskan pelukan hangat itu kemudian mengeluarkan buku catatan yang ia simpan di saku bersamaan dengan penanya.
Calon istri saya sedang pengin dipeluk, Bu.
Setelah menulis kalimat itu, ia menyerahkan kertas yang sudah disobek kepada Ibu berumur hampir senja tadi.
“AKSA!” protes Saranita saat mengetahui perlakuan Aksara yang dengan entah apa tujuannya menulis seperti itu. Kemudian ia berbisik, “kamu kenapa bohong?”
“Habisnya, Ibu itu ngelihatin terus. Aku nggak suka dilihatin perempuan selain kamu. Nanti kamu cemburu.”
Lagi-lagi Saranita berbisik, “Astaga! Itu Ibu-Ibu, Aksa. Mana mungkin aku cemburu sama Ibu-Ibu yang mungkin umurnya hampir lima puluh?”
“Ya, tetap saja. Jaga perasaanmu itu nomor satu. Masalah itu Ibu-Ibu atau anak muda itu masih nomor sekian, Sara.”
Astaga. Saranita kualahan, tapi ada bagian tenang yang seketika menjalar dalam tiap darah Saranita. Setidaknya, Aksara masih orang yang sama. Masih Aksara yang selalu memberinya kalimat panjang nan manis, masih Aksara yang keras kepala, juga masih Aksara yang perlakuannya bagaikan sabu yang selalu membuat Saranita candu.
Sekarang kaki dua anak adam itu menapaki tempat yang dimaksud oleh Aksara. Membuat gadis berambut sebahu itu kebingungan, ia menyipitkan netranya yang beredar ke seluruh penjuru tempat itu. Tidak menangkap apa-apa, kemudian kembali menatap pemuda yang kini justru melemparkan senyum ke arahnya. Saranita kira, Aksara akan membawanya ke tempat yang berbeda.
“Kenapa atap rumah sakit?”
Aksara mengangguk, “Tempat kesukaan aku sejak beberapa hari yang lalu. Sejak aku ngerasa sendirian, dan sejak ... aku lupa sama kamu.”
Saranita membawa langkah kakinya untuk maju ke dinding sebatas pinggulnya, netra pekat itu kembali berjelajah untuk menatap satu persatu apa saja yang dapat ia lihat dari atas sini. Ternyata benar, Aksara tetap orang yang sama. Aksara masih Aksaranya yang dulu. Mulai dari cara pria itu memperlakukannya, dari cara ia menyukai dataran yang lebih tinggi untuk menatap gedung-gedung kota Jakarta, sampai dari bagaimana cara pria itu tersenyum. Rasanya masih sama.
Daksa kecil perempuan itu berbalik, menatap Aksara yang ternyata sejak tadi memperhatikan punggungnya dengan seutas senyum manis. Sekon-sekon berikutnya, mereka isi untuk menatap satu sama lain dengan embusan angin sore yang menyapu kulit masing-masing. Beruntungnya tidak ada orang lagi di sini, luasnya atap rumah sakit hanya diisi oleh Aksara, Saranita, dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diungkapkan satu sama lain.
“Aku ... punya banyak pertanyaan.” Akhirnya Saranita bersuara, memecahkan keheningan yang menyelimuti keduanya. Gadis itu kembali memutar balik daksa untuk menatap bangunan lain yang dapat disapu oleh netranya. Sedangkan Aksara baru membawa langkah kaki yang kian memberat itu untuk berdiri di samping gadisnya. Ia melakukan hal yang sama, menatap seluruh bangunan dari atap rumah sakit. “Aksa,”
Pemuda bertopi merah itu menoleh, tatapan mereka lagi-lagi bertemu entah untuk yang ke-berapa kali untuk hari ini. “Tanyain aja, Sara. Aku jawab semuanya.”
Sama. Sekali lagi, Aksara masih sama. Masih Aksara yang dengan siap menjawab seluruh kalimat tanya yang Saranita tidak mampu temukan jawabannya sendiri. Pertanyaan yang begitu asing namun selalu menjadi sarang atas seluruh rasa sakit di kepalanya.
“Kamu,” Saranita menggantung kalimatnya. Ia menjelajah masuk ke dalam netra kecokelatan milik kekasihnya untuk mencari sesuatu yang barang kali selalu pria itu sembunyikan darinya. Namun tetap saja. Saranita tidak mengerti. Tatapan Aksara begitu sulit untuk diartikan.
“Bingungnya dibagi dua sama aku. Jangan bingung sendiri.”
Saranita terkekeh dengan sedikit paksaan walau di dalam dirinya ada sedikit rasa penasaran. “Kamu kangen sama aku, nggak?” Pertanyaan bodoh itu, Saranita cukup menyesalinya ketika terlontar untuk beberapa detik. Jelas saja Aksara tidak merindu, sebab untuk mengingat dirinya saja pria itu tidak mampu. “Eh, jangan—”
“Aku nggak tau pasti perasaan rindu itu kayak gimana, Sar, tapi kalau boleh jujur, ada sebagian perasaan aneh hari itu. Hari di mana kamu ke rumah untuk pertama kali setelah aku lupa sama kamu.”
“Perasaan aneh kayak gimana maksudnya?” Aneh, tapi rasa senangnya begitu nyata ketika kalimat itu terungkap melalui pergerakan tangan Aksara. Saranita bahkan tidak mampu untuk sekedar menahan senyumnya barang satu detik. Tidak pernah rasanya ia sebahagia ini ketika dirindukan oleh seseorang.
“Aneh aja. Tatapan kamu bikin aku ngerasa istimewa walaupun cuma satu detik, karena setelah itu rasanya asing. Hati aku sakit pas kamu berubah sedih.”
Gadis bersurai sebahu itu terkekeh, “Ya, gimana nggak sedih? Kamu nggak kenal sama aku hari itu. Aku pengin marah, tapi aku tau kalau aku nggak punya hak untuk itu.”
“Ada. Kamu punya hak dan perasaan kamu itu valid.” Aksara kembali menatap ke depan seolah sedang menghancurkan gedung tinggi yang menantang langit. Tatapan marah dengan mata yang memerah. Aksara marah pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya ia lupa dengan gadis kesayangannya. “Marah, marah aja, Sara. Pukul kalau perlu.” Tatapan Aksara kembali berlabuh pada Saranita yang berdiri di sebelahnya, meminta gadis itu untuk mengeluarkan amarahnya dengan segera. Namun tanpa disangka, Saranita justru menenggelamkan wajahnya di dada bidang pemuda itu, menghirup udara dengan rakus untuk menahan segala tangis yang dapat keluar kapan saja.
“Aku kangen kayak gini.” bisiknya yang tidak dengan jelas masuk ke dalam rungu Aksara.
Tanpa Saranita sadari, diam-diam Aksara justru menjatuhkan air mata dan menghapusnya dengan segera. Sebab ada bagian yang patah dalam diri Aksara ketika daksa kecil itu menubruknya cukup keras, kepingan hati yang patah itu berhamburan ke mana-mana. Tangannya bergerak untuk mengelus surai lembut gadisnya perlahan-lahan yang turun ke punggung. Jika saja Aksara bisa berbisik, ada banyak permohonan maaf yang ingin sekali terlontar dengan segera.