Sesuatu di depan kedai gelato.

“Tadi gimana? Lancar?” Samudera duduk di hadapan Pelangi. Tangannya meletakkan dua cup besar gelato.

Pelangi mengangguk, “tapi capek.”

“Namanya juga kerja, nggak ada yang nggak capek.” Katanya memperingati. Pemuda Adinata itu menyodorkan satu botol air mineral yang tadi dibelinya dari seorang Bapak tua di depan kedai.

“Bukan itu doang, sih.” Pelangi menerima botol mineral yang disodorkan oleh Samudera, meminum isinya separuh. “Ruangan bosku ada di lantai enam, sedangkan divisiku ada di lantai satu. Aku harus bolak-balik ke ruangannya untuk menujukkan beberapa design yang harus ia pilih.”

Samudera memakan gelatonya, menyisir rambut cokelat tuanya ke belakang. Poninya ia biarkan agak memanjang, tapi Pelangi jelas tau kalau si pria risih dengan itu.

“Tapi kamu naik lift, kan?”

Pelangi menggeleng dan membuat Samudera menghentikan pergelangan tangannya. “Jangan bilang kamu naik tangga?!”

Kaget.

Keduanya sama-sama kaget. Berbeda dengan Samudera yang kaget karena Pelangi memilih tangga sebagai jalurnya, gadis itu justru kaget karena suara Samudera yang tiba-tiba saja melengking.

“Pelangi, kenapa ada-ada aja, sih?” tanya Samudera sembari memerhatikan kaki jenjang milik Pelangi yang terbalut celana hitam panjang bergaris putih. Samudera menghela napasnya sedikit frustasi, “kalau ada yang mudah kenapa harus yang susah sih, Pelangi?”

Gadis yang sibuk dengan gelatonya terkekeh, “kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah?”

“Pelangi?”

“Iya?”

“Besok naik lift, ya?”

Gadis yang hendak memasukkan gelato ke dalam mulutnya jadi urung, “aku takut, Sam.”

“Kenapa?” Pria itu menjeda kalimatnya, “kamu... trauma?”

Anggukan Pelangi membuat Samudera sukses mendecak kesal, “kenapa pilih kantor itu?”

“Perusahaan itu membuka lowongan yang sesuai dengan jobdeskku.” jawab Pelangi ringan sambil sibuk menghabiskan santapan di depannya.

“Ada perusahaan lain yang mau terima kamu, pasti.” Ucap Samudera mantap. “Nanti kalau usaha saya sudah berjalan lancar, kamu kerja di kantor saya saja. Kamu yang handle semuanya— kebetulan saya harus kuliah di Bandung, jadi nggak ada yang urus di Jakarta.”

Si gadis hanya diam, sedikit meringis. Ia adalah tipikal manusia yang tidak suka diatur oleh siapapun. Apapun yang ingin ia lakukan, harus ia lakukan. Kata Bumi dulu, “lebih baik menyesal karena pernah mencoba, daripada menyesal karena tidak pernah mencoba.”

“Kenapa diam?” Samudera memecah keheningan yang terjadi.

Sedangkan Pelangi menatapnya sengit, “aku.nggak.suka.diatur!” katanya penuh penekanan.

Samudera mengacak rambutnya sendiri sambil berdecak. Kadang pria itu marah-marah sendiri, daritadi mulutnya mendumal ocehan-ocehan yang seharusnya tidak perlu didengarkan.

“Kalau kamu pingsan setelah mondar-mandir dari lantai satu ke lantai enam, gimana?” Dia menghentikan pergerakannya, memberi waktu Pelangi untuk menjawab.

“Nggak tau.”

Pria itu mendecak, lagi. “Saya tau persis perusahaan besar seperti itu nggak ada yang lewat tangga kecuali office boy atau girl. Dan mereka hanya lewat tangga sekitar dua atau tiga jam sekali, Pelangi.”

“Tapi itu perusahaan impianku sejak sekolah, Sam. Aku nggak mungkin ngundurin diri di saat aku baru banget di terima. Nggak lucu, sumpah.” balas Pelangi tak kalah kesal oleh Samudera.

“Yaudah terserah kamu maunya gimana. Saya nggak ada hak.” katanya lalu bangkit untuk membayar gelato lalu berjalan ke parkiran. Meninggalkan Pelangi yang masih sibuk mengaduk gelatonya yang sudah mencair.

“Sam!” Pelangi menepuk bahu pria yang sedang duduk di atas motor pamannya itu cukup keras. “Kamu kenapasih hari ini? Nggak jelas banget!”

Tatapan dinginnya berubah menghangat. Netra kecokelatan itu menatap gadis yang berdiri di depannya dalam. “Saya mau minta izin sama kamu.”

“Apalagi? Izin apa? Apapun yang mau kamu lakuin, yaudah lakuin. Ngapain minta izin sama aku?” balas si gadis masih terbakar emosi.

Samudera menghela napasnya, “izin menjadikan kamu sebagai tanggung jawab saya.”